Sabtu, 13 Februari 2010

MEMBUMIKAN PERENCANAAN UNTUK PERENCANAAN YANG MEMBUMI

... belum terlalu tua, makalah yang saya sampaikan dalam Seminar Nasional 50 Tahun Planologi di ITB beberapa bulan lalu ....

Abstrak

Otonomi daerah ibarat pisau bermata dua, satu sisi adalah kemurahan pemerintah pusat memberikan kesempatan kepada daerah untuk berkreasi dalam mensejahterakan masyarakatnya, sementara di sisi lain daerah menghadapi permasalahan kualitas sumber daya manusia pedesaan yang terlalu lama dinina-bobokan oleh perjalanan pembangunan bangsa ini.
Kabupaten Indramayu merupakan juru kunci IPM Provinsi Jawa Barat, salah satu faktor penentunya adalah pendidikan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Rata-rata pendidikan generasi dewasa hanya setara kelas IV SD. Untuk bisa membawa masyarakat seperti ini ke ranah perencanaan diperlukan pola tersendiri. Salah satu caranya adalah membumikan pemikiran intelektualisme perencanaan ke dalam lautan pola pikir masyarakat dengan tanpa mengurangi subtansi perencanaan itu sendiri.
Pengalaman melaksanakan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di 31 Desa dalam 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu Tahun 2006-2008 menunjukkan bahwa anggapan selama ini tentang keterbelakangan masyarakat ternyata keliru. Lokakarya dihadiri 45 orang dari berbagai unsur masyarakat, status sosial-ekonomi yang beraneka serta latar belakang pendidikan dari yang tinggi sampai buta huruf.
Pada kegiatan yang dibiayai UNICEF ini peserta dibagi dalam 5 kelompok. Metode andragogi mengantar mereka untuk menyadari persamaan harkat dan martabat diantara sesama. Masing-masing mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Peserta dibekali pengetahuan dasar tentang flu burung pada unggas, flu burung pada manusia dan pemberdayaan mayarakat. Dengan 3 format sederhana mereka dibawa untuk mengenali lebih jauh diri dan lingkungannya, menggali permasalahan yang ada dan mencari penyelesaian sesuai dengan potensi diri dan lingkungan dengan kegiatan yang realistik. Setiap format diakhiri dengan ekspose dan diskusi kelompok untuk mempertahankan pendapat dan saling mengisi. Pada sesi terakhir, tim kecil yang dipercaya mereka menyusun Rencana Aksi Desa dalam rangka pencegahan dan penanganan flu burung.
Perencanaan “dari, oleh dan untuk” masyarakat desa; dihasilkan, dilaksanakan, dievaluasi dan dipertanggungjawabkan serta dibiayai sendiri. Ketika praktek penyusunan perencanaan dibawa membumi maka akan dihasilkan perencanaan yang juga membumi, sesuai dengan kebutuhan serta potensi diri dan lingkungannya.


Kata-kata kunci : perencanaan, partisipatif, pemberdayaan, masyarakat, membumi, UNICEF, Kabupaten Indramayu.


Latar Belakang
Otonomi daerah ibarat pisau bermata dua, satu sisi adalah ketegasan dan kejelasan Pemerintah dalam memberikan kesempatan kepada daerah untuk berkreasi mensejahterakan masyarakatnya, sementara di sisi lain Pemerintah Daerah menghadapi kualitas sumber daya manusia masyarakatnya.
Dalam penilaian keberhasilan yang saat ini sering diukur dengan IPM (Indeks Pembangunan Manusia) maka Kabupaten Indramayu yang merupakan juru kunci IPM di Provinsi Jawa Barat. Sekalipun saat ini terdapat perkembanganan yang menggembirakan, pendidikan masyarakat masih memprihatinkan. Rata-rata lama sekolah (RLS) telah meninggalkan 6 tahun (tahun 2005 sebesar 6,28 tahun atau setera kelas 1 SMP), namun generasi yang lebih tua umumnya tidak pernah lebih dari setara kelas IV Sekolah Dasar.
Berbicara tentang masyarakat sesungguhnya adalah kumpulan individu yang kompleks. Pendidikan yang relatif rendah dan suasana kehidupan pedesaaan yang penuh kesahajaan bukan berarti keseragaman dalam berpola pikir. Ketika angka RLS menunjukkan angka 6,28 bukanlah berarti semua penduduk Kabupaten Indramayu semuanya telah menamatkan Sekolah Dasar. Angka tersebut merupakan rata-rata pendidikan yang ditempuh masyarakat secara keseluruhan. Tidak sedikit yang mencapai tingkat kesarjanaan, banyak yang putus di tengah jalan dan terdapat anggota masyarakat yang belum bisa baca-tulis. Keadaan semakin kompleks dengan beraneka-ragamnya pengalaman hidup yang juga berpengaruh terhadap pola pikir mereka.
Berbeda dengan para birokrat yang cenderung hidup dalam suasana keseragaman. Sekalipun terdapat beraneka jenjang pendidikan yang ditamatkan tetapi iklim kehidupan yang dijalani relatif sama. Dalam penyusunan perencanaan pembangunan misalnya, birokrat yang terdiri dari masyarakat lebih terdidik itu dikejar target untuk menghasilkan perencanaan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dan selesai tepat pada waktunya. Keadaan ini terulang setiap tahunnya tanpa perubahan yang berarti.
Kompleksitas masyarakat sesungguhnya merupakan potensi besar yang selama ini belum tergali. Bahkan keadaan ini cenderung dipandang sebagai potensi yang dapat menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu, sudah bukan rahasia lagi kalau pada penyusunan perencanaan pembangunan masyarakat sering tidak dilibatkan. Sekalipun sesuai dengan berbagi pedoman yang diterbitkan, partisipasi masyarakat selalu disebut dan dijadikan kunci keberhasilan pembangunan.
Dari tahun ke tahun dan berbagai perubahan pemerintahan, partisipasi masyarakat tetap menjadi jargon politis, sementara masyarakat terus menerus menjadi obyek pembangunan. Tidak mengherankan apabila banyak kegiatan pembangunan ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena masyarakat yang tahu potensi dan kebutuhan di wilayahnya tidak dilibatkan dalam penyusunan rencananya.
Musyawarah Pembangunan Desa/Kelurahan yang dikenal sebagai Jaring Asmara (Penjaringan Aspirasi Masyarakat) berjalan tidak sebagaimana mestinya. Sementara Musyawarah Perencanaan Pembangungan (Musrenbang) yang dilaksanakan di Kabupaten Indramayu pun tidak menjadi pemadu-serasi antara kebutuhan masyarakat dengan tugas pokok dan fungsi institusi terkait. Usulan dinas/instansi yang sudah dilengkapi dengan berbagai dokumen pendukung mendominasi berbagai kegiatan yang direncanakan selanjutnya. Hasil Jaring Asmara yang tidak lain sesungguhnya merupakan hasil kerja Kepala Seksi Pemberdayaan Masyarakat di tingkat kecamatan menjadi arsip di lembaga perencanaan daerah.
Terdapat kebuntuan untuk menjembatani keanekaragaman potensi masyarakat yang terkemas dalam pola pikir sederhana dengan kaidah keilmiahan yang diterapkan dalam praktek penyusunan perencanaan. Di sisi lain teori perencanaan pembangunan yang diterbitkan Pemerintah pun tidak selalu mudah untuk dipelajari, apalagi diterapkan jajaran birokrasi.
Pada beberapa program masalah ini diatasi dengan kehadiran konsultan manajemen dan sejenisnya. Mereka menjadi jembatan yang bisa mengatasi kebuntuan selama ini. Perannya tidak sedikit, bukan semata-mata menyusun rencana kegiatan secara partisipatif untuk kepentingan masyarakat setempat tetapi juga berperan penting dalam pemberdayaan masyarakat.
Namun demikian, kesenjangan antara konsultan manajemen dan masyarakat tidak dapat dihindari. Masyarakat dengan pola pikir praktis dan sederhana berhadapan dengan kelompok berpendidikan tinggi. Sebagai bagian dari masyarakat profesional mereka dituntut untuk menghasilkan konsep yang teruji secara ilmiah. Berbagai format dan perangkat lainnya yang sangat mudah dipahami dan dijalankan oleh konsultan manajemen, tidak demikian halnya dengan masyarakat. Konsekuensi dari terjadinya gap ini dapat dilihat ketika konsultan manajemen telah meninggalkan masyarakat. Kegiatan menjadi stagnan tanpa pendampingan.
Pengalaman melaksanakan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di 31 Desa dalam 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu Tahun 2006-2008 memberikan pelajaran yang sangat berarti. Metode andragogi mengantar 45 orang anggota masyarakat dari berbagai unsur untuk menyadari persamaan harkat dan martabat diantara sesama. Masing-masing mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Keanekaraman latar belakang masyarakat berpadu menjadi menjadi sebuah kekuatan yang sangat besar.
Melalui pendekatan yang merakyat, pemikiran peserta dituangkan dalam 3 buah format yang sederhana dan pada akhirnya menghasilkan sebuah rencana kerja yang disebut sebagai Rencana Aksi Desa dalam rangka pencegahan dan penanganan flu burung. Sebuah perencanaan “dari, oleh dan untuk” masyarakat. Dihasilkankan, dilaksanakan, dievaluasi dan dipertanggungjawabkan serta dibiayai secara mandiri.
Pelajaran yang dapat dipetik dari kegiatan tersebut adalah bahwa untuk bisa membawa mayarakat dengan segala kesederhanaannya ke ranah perencanaan diperlukan pola tersendiri. Salah satunya adalah membumikan pemikiran intelektualisme perencanaan ke dalam lautan pola pikir masyarakat, tentu saja dengan tanpa mengurangi substansi perencanaan itu sendiri. Ketika praktek penyusunan perencanaan dibawa membumi maka akan dihasilkan perencanaan yang juga membumi, sesuai dengan kebutuhan serta potensi diri dan lingkungannya.

Gambaran Umum Kabupaten Indramayu
Kabupaten Indramayu merupakan salah satu wilayah di Propinsi Jawa Barat yang letaknya di pesisir pantai utara Pulau Jawa. Berbatasan langsung dengan Laut Jawa dalam bentangan garis pantai sepanjang 114 km, menjadikan sebagian masyarakatnya hidup bergantung pada keramahan laut. Selain itu, di bagian selatan terdapat kekayaan hutan dan lahan pertanian yang menghampar. Tidak mengherankan kalau kabupaten ini menjadi salah satu lumbung pangan nasional.

Secara administrasi Kabupaten Indramayu terbagai dalam 31 kecamatan yang terdiri dari 302 desa dan 8 kelurahan. Batas wilayahnya adalah sebagai berikut :
Sebelah Selatan : Kabupaten Majalengka, Sumedang dan Cirebon
Sebelah Barat : Kabupaten Subang
Sebelah Utara : Laut Jawa
Sebelah Timur : Kabupaten Cirebon dan Laut Jawa

Lahan di Kabupaten Indramayu berkontur landai dengan ketinggian antara 0 - 100 meter di atas permukaan laut. Dari wilayah seluas 204.011 Ha sebagian besar merupakan lahan sawah (118.513 Ha). Keberadaan hamparan sawah ini didukung oleh adanya potensi 14 sungai yang berhulu di wilayah Kabupaten Indramayu.
Populasi penduduk Kabupaten Indramayu saat ini mencapai 1.717.793 jiwa yang terdiri dari laki-laki 875.126 jiwa dan 842.667 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. Sebagian lagi berprofesi sebagai pegawai pemerintah dan swasta serta pedagang.
Dari segi pendidikan, masyarakat Kabupaten Indramayu relatif tertinggal dibandingkan Kabupaten/Kota lainnya di Propinsi Jawa Barat. Rata-rata Lama Sekolah (RLS) baru mencapai 6,28 (data tahun 2005). RLS merupakan salah satu bagian dari indikator pendidikan dalam pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Padahal Indeks Pendidikan merupakan andalan dalam capaian angka IPM Kabupaten Indramayu dalam beberapa tahun ini.
RLS sebesar 6,28 tidaklah menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Indramayu tamat Sekolah Dasar secara keseluruhan. Saat ini masih banyak anak-anak usia sekolah yang tidak melanjutkan pendidikan ke SMP atau bahkan masih terdapat angka drop-out Sekolah Dasar. Penduduk yang lebih dewasa lebih banyak lagi yang tidak tamat Sekolah Dasar dan tidak sedikit generasi tua yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal.
Dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah maka tidak mengherankan apabila dalam berbagai kegiatan pembangunan masyarakat Kabupaten Indramayu hanya menjadi penonton., tetap menjadi obyek pembangunan sebagaimana biasanya.

Flu Burung di Kabupaten Indramayu
Banyaknya pesawahan yang ditunjang dengan aliran 14 sungai yang mengairi hampir sepanjang tahun sesungguhnya bukan hanya merupakan lahan subur bagi budidaya pertanian tetapi juga sangat berarti dalam pengembangan potensi peternakan. Jenis ternak yang sangat berkembang di wilayah ini adalah itik. Dengan populasi melebihi 1 juta ekor menjadikan Kabupaten Indramayu sebagai daerah penghasil itik terbesar di Provinsi Jawa Barat. Selain itu berkembang juga berbagai jenis ternak lainnya seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 1. Populasi Ternak di Kabupaten Indramayu

NO. JENIS TERNAK POPULASI (EKOR) KETERANGAN
1. Sapi potong 7.311
2. Sapi perah 1.981
3. Kerbau 2.033
4. Kambung 55.685
5. Domba 178.883
6. Ayam Buras (Ayam Kampung) 1.927.710
7. Ayam Ras Pedaging (Broiler) 1.274.863
8. Itik 1.373.579
Sumber : Dinas Pertanian dan Peternakan (Laporan Bulanan Bulan September 2009)

Secara umum semua ternak dipelihara secara tradisional, ternak ruminansia (sapi, kerbau, kambing dan domba) digembalakan kecuali beberapa usaha peternakan intensif skala keluarga dan ternak milik pesantren Mahd Al-Zaitun. Pemeliharaan unggas (ayam, itik) pun umumnya diliarkan, pengandangan sering diabaikan. Sebagian itik digembalakan agar bisa mencari pakan sendiri, mengejar panenan padi sampai keluar Kabupaten atau bahkan ke Propinsi Banten sekalipun. Ternak unggas yang dipelihara secara intensif hanyalah ayam ras (broiler dan petelur) serta sedikit itik. Cara pemeliharaan yang sangat sederhana pada mulanya tidak terlalu dipermasalahkan, masyarakat sekitar memakluminya. Sebagian besar memelihara ternak hanyalah sebagai usaha sampingan, sebuah tabungan yang dapat segera dijual apabila sewaktu-waktu dibutuhkan.
Tetapi permasalahan mulai muncul ketika wabah flu burung mulai melanda dunia dan memasuki setiap jengkal wilayah negara. Ternak unggas dianggap sebagai penular penyakit yang mematikan ini. Pemeliharaan ayam bukan ras (ayam buras) di perkampungan yang menyatu dengan penduduk yang padat menjadi permasalahan tersendiri. Sebagian ayam menghabiskan malam di atas pohon, tidak sedikit yang hidup bersatu dalam rumah pemiliknya (dikarungi dan disimpan di kolong ranjang), atau sebagian kecil lebih beruntung mempunyai kandang sendiri. Demikian halnya penggembalaan itik yang tidak pernah mengenal batas wilayah menjadi trade-mark bahwa Kabupaten Indramayu menjadi penghasil itik dan telurnya tetapi juga akan menjadi “pengekspor” virus flu burung.
Dengan kehidupan masyarakat yang jauh dari pertimbangan nilai-nilai kesehatan, apalagi kebiasaan hidup bersih dan sehat, yang berpadu dengan pemeliharaan unggas yang sama sekali memperhatikan aspek kebersihan dan kesehatan baik bagi unggas ataupun pemeliharannya, tidak mengherankan apabila perkembangan virus Flu Burung di Kabupaten Indramayu sedemikian cepat dan sangat sulit ditanggulangi. Penyebaran virus H5N1 pada unggas terus menyebar sekalipun beberapa program dilaksanakan secara intensif, seperti vaksinasi unggas dan penyemprotan kandang misalnya.

Tabel 2. Penyebaran Desa dan Kecamatan Positif Flu Burung di Kabupaten Indramayu Tahun 2005 – 2008

TAHUN JUMLAH DESA JUMLAH KECAMATAN UNGGAS YANG MATI KETERANGAN
2005 5 4 150
2006 35 18 1.271
2007 48 23 41.431
2008 13 10 986
2009 15 24 993

Perlu diketahui bahwa kejadian unggas terkena flu burung di Kabupaten Indramayu sebenarnya terjadi beberapa tahun sebelum Pemerintah mengumumkan secara resmi bahwa wabah flu burung telah masuk ke Indonesia. Laporan Tahunan Desa Sumbon Kecamatan Kroya mencatat bahwa pada akhir tahun 2003 telah terjadi kematian mendadak ribuan ayam ras petelur milik warga masyarakatnya dengan gejala yang mendekati flu burung, mati mendadak dan dada berwarna biru kehitaman. Dugaan aparat desa ini ternyata dibenarkan oleh petugas kesehatan hewan yang menangani kemitraan peternakan broiler, bahwa pada tahun 2003 perusahaannya mengalami kerugian yang tidak sedikit akibat kematian unggas dalam jumlah besar yang setelah diuji ternyata positif flu burung. Wabah ini terus berlanjut namun tetap menjadi rahasia perusahaan (informasi lisan diperoleh tahun 2008).
Program vaksinasi unggas milik masyarakat yang dilakukan mulai tahun 2005 ternyata bukan mengurangi penyebaran penyakit flu burung tetapi malah memperbanyak desa tertular. Hal ini bisa disebabkan oleh kurang terlatihnya petugas dalam penyuntikan dan penanganan vaksin yang digunakan. Latar belakang para vaksinator tersebut sebagian besar bukan dari peternakan, hanya mendapat pelatihan vaksinasi selama sehari dan langsung diterjunkan.
Tidak mengherankan kalau pada saat vaksinasi unggas masal ini terjadi kematian unggas yang mencapai ribuan ekor setelah divaksin. Umumnya diakibatkan oleh penanganan ternak setelah vaksinasi dan cara penyuntikan yang salah. Hanya sebagian kecil permasalahan ini yang berbuntut tuntutan ganti rugi, misalnya peternak itik yang kematian 527 ekor itik siap telurnya. Sementara yang lain dapat diberi pengertian oleh petugas yang bersangkutan, bahwa apabila kematian unggas terjadi maka hal itu berarti unggas yang bersangkutan telah terinfeksi virus flu burung sebelum dilakukan vaksinasi.
Program vaksinasi tahun 2006 yang diiringi dengan penyemprotan kandang yang dilaksanakan pada triwulan kedua dan ketiga dampaknya sangat terasa dalam meredam penyebaran virus flu burung pada tahun tersebut. Namun efektifitas vaksin tidak dapat mengurangi kematian pada triwulan pertama tahun berikutnya. Demikian juga vaksinasi unggas tahun 2007 dirasakan sangat kecil manfaatnya dalam mengurangi penyebaran virus pada tahun yang bersangkutan karena sudah terlambat.
Penyebaran virus Flu Burung juga ternyata sangat dekat dengan situasi alam, perubahan cuaca yang drastis di musim hujan menyebabkan daya tahan tubuh unggas berkurang dan air hujan menjadi media penyebaran virus yang sangat efektif. Hal ini diperparah dengan suasana mendung tanpa sinar matahari yang secara teori mampu mematikan virus H5N1. Tidak mengherankan apabila kematian unggas yang relatif banyak terjadi pada awal dan akhir tahun (Desember, Januari dan Februari). Pada akhir tahun tersebut efektifitas vaksin sudah tidak ada lagi dalam tubuh ayam sementara anggaran belum ada pada awal tahun.
Seperti diketahui, semesatinya vaksinasi unggas dilaksanakan sebanyak 4 kali. Efektifitas vaksin dalam tubuh unggas hanyalah 3 bulan saja. Namun keterbatasan anggaran, waktu dan tenaga serta ketersediaan vaksin sangat menjadi kendala. Sebagaimana aturan yang dikeluarkan Menteri Pertanian maka vaksinasi unggas hanya dilaksanakan terhadap peternakan rakyat atau yang lebih dikenal sebagai Sektor IV. Padahal pengalaman menunjukkan banyak ayam broiler milik perusahaan kemitraan dengan peternak lokal yang mati mendadak di kandangnya dalam jumlah yang sangat besar.
Pengakuan dari Petugas Kesehatan Hewan peternakan kemitraan sesungguhnya tidak akan keluar apabila kami tidak menemukan sendiri kejadian yang selama 5 tahun ditutupi dengan rapat tersebut. Jika saja tidak ada kejadian yang menggemparkan tentang adanya pasar ayam murah meriah di Desa Sukaslamet Kecamatan Kroya rahasia perusahaan ini tentu akan tetap tertutup rapat. Hal ini membuktikan bahwa anggapan Pemerintah yang menganggap peternakan intensif aman dari virus Flu Burung sangatlah keliru. Temuan selanjutnya menguatkan dugaan awal tersebut, beberapa kandang broiler yang diperiksa ternyata positif Flu Burung. Bahkan kejadian penjualan unggas yang ternyata positif Flu Burung secara diam-diam oleh peternak mitra yang tidak mau rugi ternyata terulang lagi di Desa Margamulya Kecamatan Bongas.
Pengakuan dari Pemerintah akan tidak amannya peternakan Sektor I, II dan III dari virus Flu Burung pada akhirnya muncul juga. Program penanggulangan flu burung pun berubah drastis, lebih diarahkan kepada perusahaan yang mengelola ternak dalam jumlah yang sangat besar dengan tenaga ahli yang cukup tersedia tersebut. Namun hal ini tidak akan mengobati luka yang diderita sebelumnya, akibat kebijakan yang salah banyak ternak milik masyarakat yang tak berdosa menjadi korban.
Akibat kebijakan yang mengkambinghitamkan unggas milik masyarakat sebagai penyebab penularan virus Flu Burung maka ketika 2 orang anak kakak-beradik warga Kampung Kapitu Desa Cipedang Kecamatan Bongas Kabupaten Indramayu meninggal dan posititif flu burung maka dunia mendesak dilakukan stamping-out (pemusnahan masal) terhadap unggas yang ada di kampung tersebut. Lingkungan pedesaan kumuh yang menyatukan antara unggas dan manusia menjadi saksi bisu dikuburnya ribuan unggas milik masyarakat.
Instruksi dari Direktur Jenderal Peternakan yang mengharuskan dilakukannya stamping-out jika terdapat unggas yang positif flu burung. Selang seminggu, pemusnahan unggas secara masal dilakukan di Desa Karangsong Kecamatan/Kabupaten Indramayu setelah terjadi kematian mendadak pada burung puyuh yang ternyata positif flu burung.

Tabel 3. Stamping-out Unggas di Kabupaten Indramayu

DESA/KECAMATAN AYAM ITIK BURUNG JUMLAH KET.
Cipedang, Bongas 3.511 4.613 655 8.779
Karangsong, Indramayu 848 236 1.824 2.908
JUMLAH 4.359 4.849 2.479 11.687

Setiap unggas, apapun jenis dan berapa pun umurnya, menurut perjanjian dengan Direktur Kesehatan Hewan yang ditegaskan dengan Keputusan Direktur Jenderal Peternakan diterima pertama kali, akan diganti dengan nilai Rp. 10.000,-/ekor. Namun ketika biaya untuk menanggulangi pemusnahan unggas masal ini sudah ditalangi oleh Pemerintah Kabupaten Indramayu, muncul peraturan baru yang mengatur biaya kompensasi dirubah berdasarkan jenis unggas, nilainya bervariasi, paling tinggi Rp. 10.000,-/ekor. Hal ini tentu sangat menyulitkan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu sebagai pelaksana stamping-out. Setelah 3 kali perubahan, akhirnya terbit aturan baru yang sesuai dengan kesepakatan semula.
Peraturan yang menjadi pedoman dengan mudah berubah seiring berjalannya waktu, keputusan stamping-out dirubah menjadi pemusnahan terbatas. Namun penyebaran virus flu burung semakin meluas, sebagian besar kecamatan di Kabupaten Indramayu pun dengan cepat terjadi kematian unggas secara mendadak dan positif flu burung.
Flu burung kembali menelan korban manusia di Kabupaten Indramayu. Pada pertengahan tahun 2007 seorang pelajar SMP meninggal dunia setelah melakukan praktek Pelajaran Biologi, melihat anatomi itik. Sesuai dengan aturan baru maka kejadian ini tidak lagi mendapat respon “segera stamping-out” seperti sebelumnya. Penyelidikan perjalanan penyakit ditelusuri sampai akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa ternyata itik yang digunakan praktek dibeli dari pedagang yang letaknya jauh dari tempat tinggal korban. Unggas di perkampungan nelayan pun selamat untuk meneruskan hidupnya.
Penanggulangan Flu Burung di Indonesia umumnya dan khususnya di Kabupaten Indramayu sesungguhnya tidak dapat mengandalkan kepada Pemerintah. Dua departemen yang berkaitan erat dengan urusan ini, Departemen Kesehatan dan Departemen Pertanian, sibuk dengan ego-sektoral yang sering ditampakkan di muka umum. Perang terbuk ini sungguh tidak terpuji, hanya menunjukkan bahwa keduanya sama sekali tidak peduli dengan penderitaan masyarakat secara keseluruhan, masyarakat unggas dan masyarakat manusia.
Ketidaksingkronan keduanya dapat dilihat dari berbagai peraturan yang dikeluarkan, masing-masing hanya mementingkan departemen yang diuruusnya tanpa memperhatikan bahwa jika bekerja dengan pihak yang lain hasilnya tentu akan maksimal. Beruntunglah bahwa pertempuran di pusat tidak menjadi teladan bagi Kabupaten Indramayu. Ketidaksinkronan dua departemen itu menjadi contoh bahwa ketika koordinasi tidak dijalankan maka yang timbul adalah kehancuran. Dinas Kesehatan, tetap bahu Dinas Pertanian dan Peternakan di Kabupaten Indramayu, berbagi informasi tentang kejadian Flu Burung baik pada unggas atau pun manusia serta berbagai kegiatan bersama menjadi kunci keberhasilan membawa masyarakat untuk berdaya mencegah dan menangani Flu Burung secara mandiri.
Jika ditarik garis merah maka terdapat hubungan yang signifikan antara sistem pemeliharaan unggas dan masyarakat pemeliharanya. Ketika unggas dipelihara dengan baik, dikandangkan dan diberi makan secukupnya tentu akan memberi imbalan keuntungan lain bagi pemiliknya, termasuk menyehatkan. Jika sebaliknya terjadi maka akan menjadi ancaman bagi kehidupan masyarakat yang bersih dan sehat. Ketika masyarakat membiasakan pola hidup bersih dan sehat serta unggas dipelihara secara baik dan benar maka akan terjadi jalinan kehidupan harmonis antara unggas dan manusia. Kuncinya tentu saja ada dalam diri masyarakat itu sendiri.




Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
Sebagaimana telah terjadi di beberapa negara lain, sejak tahun 2005 di Indonesia pun penyakit flu burung bukan lagi hanya menelan korban jutaan ekor unggas tetapi telah menelan korban manusia. Dari beberapa korban manusia ternyata sebagian adalah anak-anak. Tiga diantaranya adalah anak-anak usia sekolah di Kabupaten Indramayu.
Anak-anak lebih beresiko tertular flu burung mengingat daya tahan tubuhnya yang masih relatif lemah, sementara kebiasaan hidup bersih dan sehat masih belum bisa mereka lakukan secara mandiri. Di sisi lain, lingkungan relatif tidak bersahabat, pemeliharaan unggas tidak memperhatikan kebersihan dan kesehatan baik bagi manusia pemeliharanya ataupun unggas itu sendiri.
Itulah sebabnya UNICEF Kantor Cabang Bandung berinisiatif untuk membantu masyarakat dalam mencegah dan menangani flu burung, baik pada unggas ataupun manusia sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Wwabah flu burung dapat dicegah dan diatasi oleh masyarakat setempat, karena yang paling tehu tentang masyarakat (ternak dan manusia) serta potensi untuk mengatasinya adalah mereka sendiri.
Kegiatan bertajuk “Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung” pertama kali dilaksanakan di Indramayu untuk 2 (dua) desa. Satu di pedesaan dan satu lagi di sekitar perkotaan. Desa Cipedang Kecamatan Bongas dipilih mewakili daerah pedesaan karena di desa tersebut bukan hanya terjadi kasus positif flu burung pada unggas tetapi juga terdapat korban manusia 13 dan 14 Januari 2006). Sementara untuk mewakili perkotaan dipilih Desa Pekandanganjaya Kecamatan Indramayu yang jaraknya sekitar 5 km dari ibukota kabupaten.
“Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung” dimaksudkan untuk mencari model yang tepat dalam upaya mencegah dan menangani flu burung sesuai dengan potensi dan kemampuan masyarakat desa setempat. Model yang dilaksanakan diharapkan bukan hanya bisa diterapkan di desa setempat tetapi juga dapat berkelanjutan serta diikuti oleh masyarakat desa sekitarnya.
Kegiatan di dua desa sebelumnya dianggap berhasil memberdayakan masyarakat setempat sesuai dengan tujuan semula. Oleh karena itu, kegiatan yang sama dilanjutkan untuk seluruh kecamatan. Kriteria utama desa tempat lokakarya adalah pernah terjadi positif flu burung pada unggas atau manusia.
Lokakarya dilaksanakan di Balai Desa, tempat berkumpul yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Peserta terdiri dari 45 (empat puluh lima) yang seluruhnya harus merupakan orang yang tinggal di desa setempat. Peserta mewakili berbagai unsur yang ada di masyarakat, seperti Badan Perwakilan Desa (BPD), LPM (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat), Ketua RT, Ketua RW, Pamong Desa, Tokoh Agama, Tokoh Masyarakat, Tokoh Pemuda, Pendidik, Bidan Desa (Bides), Kelompoktani dan unsur lainnya, termasuk kelompok minoritas jika ada. Kepala Desa (Kuwu) tidak diikutkan sebagai peserta agar tidak terjadi bias yang disebabkan oleh perasaan “segan” dan “ewuh pakewuh” kepada beliau.
Pemilihan peserta dilakukan oleh aparat desa setempat yang ditetapkan dengan surat dari Kepala Desa (Kuwu). Hal ini menjadi penting karena peserta harus bisa hadir secara terus-menerus dan tidak diwakilkan selama 4 (empat) hari pelaksanaan lokakarya. Jika berhalangan dan tidak sanggup hadir secara kontinyu maka sejak awal Kepala Desa melakukan penggantian dengan calon peserta lainnya. Calon peserta terpilih membuat pernyataan tertulis tentang kesanggupannya hadir sesuai aturan yang berlaku.
Selain 45 orang peserta tersebut 4 (empat) anggota masyarakat lainnya dilibatkan sebagai panitia. Mereka membantu Panitia Kabupaten dalam melaksanakan tugasnya yang berkaitan langsung dengan keperluan sehari-hari, mulai dari konsumsi sampai kebersihan tempat lokakarya. Panitia Kabupaten terdiri dari unsur-unsur Dinas Pertanian dan Peternakan, Dinas Kesehatan dan Badan Perencanaan Daerah (Bapeda), bertugas mempersiapkan segala keperluan yang dibutuhkan pada saat lokakarya berlangsung.
Untuk memberi bekal pengetahuan dasar kepada masyarakat maka diperlukan narasumber yang bukan hanya menguasai keilmuan materi yang disampaikan tetapi juga mampu menyampaikannya dengan gaya dan cara yang bisa diterima masyarakat. Materi tentang Flu Burung pada Unggas disampaikan naraumber dari Dinas Pertanian dan Peternakan, sedangkan narasumber dari Dinas Kesehatan (dokter Puskesmas setempat) menyampaikan materi tentang Flu Burung pada Manusia. Camat setempat menyampaikan tentang Pemberdayaan Masyarakat dengan titik berat bahwa untuk mengatasi berbagai permasalahan yang ada khususnya wabah flu burung, maka hanya masyarakat setempatlah yang akan mampu mencegah dan menanggulanginya karena pada dasarnya mereka adalah orang yang paling tahu permasalahan pokok yang ada dan berbagai potensi untuk menyelesaikannya.
Lokakarya dilaksanakan dengan metode pembelajaran orang dewasa (andragogi), dilaksanakan dua arah dan diskusi. Dengan cara yang sederhana setiap peserta dituntun untuk berani mengemukakan pendapat dan mempertahankannya apabila diperlukan. Kegiatan yang dilaksanakan dari pagi hari sampai sore menjelang ini akan menjadi acara yang membosankan apabila dilaksanakan secara monoton, oleh karena itu berbagai permainan dan kegiatan selingan yang bermakna dilaksanakan baik berasal dari inisiatif peserta ataupun fasilitator.
Untuk bisa menjalankan kegiatan ini secara baik diperlukan tenaga yang mampu menjadi fasilitator. Fasilitator bukan hanya harus mampu menyelami kesadaran peserta akan pentingnya peran diri dan masyarakat lainnya tetapi juga bisa menjadi penghubung berbagai pendapat dan argumen yang satu dengan yang lain sering bertentangan sehingga diperoleh solusi yang dapat diterima semua pihak.
Fasilitator dalam kegiatan ini sebanyak 4 (empat) orang yang berasal dari Dinas Pertanian dan Peternakan (Petugas Kabupaten dan petugas dinas yang bertugas di kecamatan setempat), Badan Perencanaan Daerah serta Dinas Kesehatan (Petugas Penyuluh Kesehatan di Puskesmas setempat). Fasilitator yang berasal dari kecamatan merupakan tenaga yang telah dibekali training pemberdayaan masyarakat sebelumnya sehingga tidak terjadi perbedaan persepsi dengan fasilitator dari kabupaten.
Alat bantu yang digunakan dalam lokakarya ini berupa 3 macam format sederhana yang mudah dimengerti dan dikerjakan oleh masyarakat. Ketiganya bukan hanya berhubungan langsung dengan keseharian peserta tetapi juga saling kait-mengkait sehingga menuju pada satu sasaran, yaitu Rencana Aksi Desa. Sebuah rencana “dari, oleh dan untuk” masyarakat setempat dalam mencegah dan menanggulangi Flu Burung di desanya.
Biaya yang digunakan dalam acara yang berlangsung selama 4 (empat) hari penuh itu berasal dari donatur yang difasilitasi UNICEF Cabang Bandung. Pembiayaan diguanakan untuk berbagai keperluan, mulai dari uang pengganti transport bagi peserta, panitia, fasilitator dan narasumber, serta biaya konsumsi dan alat tulis kantor.

Kegiatan Lokakarya
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, lokakarya dilaksanakan selama 4 (empat) hari penuh tanpa diselingi jeda libur dan peserta harus dapat hadir sesuai dengan kesepakatan yang dibuat dengan Kepala Desa.
Pada hari pertama dilakukan acara pembukaan untuk menunjukkan bahwa acara tersebut merupakan acara resmi yang dilaksanakan oleh pihak kabupaten dengan dukungan penuh dari pemerintahan kecamatan dan desa setempat. Acara seremonial ini dilaksanakan singkat dan padat dengan tetap mengedepankan bahwa lokakarya yang dilaksanakan adalah acara milik masyarakat yang didukung penuh semua tingkatan pemerintahan yang ada serta tidak lupa terlaksana atas dukungan sebuah pihak yang sama sekali tidak mengenal mereka tetapi sangat peduli dengan masyarakat setempat, yaitu UNICEF. Penekanan yang terakhir adalah untuk menunjukkan bahwa apabila pihak luar yang tidak mengenal mereka saja begitu peduli, apalagi mereka sebagai masyarakat desa setempat.
Setelah dibuka secara resmi, acara dilanjutkan dengan dinamika kelompok yang mengajak semua peserta menuliskan 5 (lima) buah keunggulan yang dimiliki masing-masing. Setelah selesai dan dikumpulkan, fasilitator menyampaikan bahwa terdapat 5 X 45 atau 225 keunggulan yang bisa dijadikan kekuatan luar biasa untuk mencegah dan menangani flu burung di desa yang bersangkutan. Segala kekuatan itu bukan datang dari luar, tetapi ada di diri semua peserta.
Dengan berbagai kemampuan yang luar biasa itu maka peserta pun diberi keleluasaan untuk mengatur waktu kegiatan. Jadwal kegiatan yang dibuat panitia tetap menjadi acuan namun peserta berkewenangan mengubah kapan saat mulai, istirahat dan pulang. Juga cara menyiasati coffee-break agar penggunaan waktu lebih efektif dan efisien. Tata tertib yang akan diberlakukan selama lokakarya pun didiskusikan disertai dengan sanksi bagi yang melanggarnya, aturan ini berlaku untuk peserta maupun fasilitator. Pada umumnya peserta menghendaki kegiatan dimulai pukul 8.00 dan pulang pukul 17.00. Tetapi pada prakteknya, sekalipun jam mulai sesuai kesepakatan tetapi mereka pulang menjelang maghrib (pukul 18.00) karena terlibat diskusi dan berbagai kegiatan lainnya yang menyita perhatian mereka.
Materi narasumber dimaksudkan untuk menyamakan pengetahuan dasar bagi keseluruhan peserta, menyamakan pola pikir awal dan persepsi. Peserta dibekali materi tentang Flu Burung pada Unggas, Flu Burung pada Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat oleh para narasumber yang ditunjuk. Materi disampaikan dengan bahasa yang mudah dimengerti masyarakat. Bahasa ilmiah yang sangat dekat dengan kesehatan dan kesehatan hewan diganti dengan kata-kata yang mudah dipahami tanpa meninggalkan makna yang aslinya. Materi disampaikan dua arah diiringi dengan dialog interaktif yang memberi kesempatan peserta untuk mengemukakan pendapat dan mengekspresikan jati dirinya.
Acara dilanjutkan dengan dinamika kelompok yang mengajak peserta lebih saling mengenal. Peserta dan fasilitator menuliskan nama panggilan di kertas manila dan ditempelkan di dada. Mereka pun terlibat dalam perkenalan diri yang dirancang sedemikian rupa sehingga tidak ada kesan dipaksa ataupun terpaksa. Acara ini menjadikan satu anggota masyarakat dengan yang lainnya semakin saling kenal lebih dekat.
Secara acak, peserta dibagi menjadi 5 (lima) kelompok. Dengan menghitung diri dengan angka 1 sampai 5 maka terdapat 9 orang yang menyebut angka 1 dan juga angka lainnya. Kelompok dibentuk berdasarkan angka yang disebut peserta, masing-masing kelompok terdiri dari 9 orang anggota. Tugas fasilitator adalah mengamati latar belakang dari masing-masing peserta, jika terdapat ketimpangan yang besar maka atas persetujuan anggota kelompok menukar anggota dengan kelompok lainnya.
Ketidaksengajaan yang terjadi adalah bahwa ternyata beberapa peserta masih tidak bisa menulis, nama sendiri sekalipun. Hal ini bukan merupakan kendala tetapi suatu potensi yang dapat diramu menjadi kekuatan ketika mereka beradu argumen dengan peserta yang berpendidikan jalur formal. Hal lain yang terjadi adalah bahwa kebanyakan peserta tidak pernah memegang mikrofon sebelumnya, apalagi berbicara di depan forum. Disamping berbagai kekurangan yang dimiliki peserta terdapat kelebihan yang tersimpan, sementara di samping kelebihan para peserta pun terdapat bergagai kelemahan yang tidak disadari oleh dirinya sendiri sekalipun.
Pada akhir sesi peserta menuliskan kesan mereka selama mengikuti acara pada hari pertama dengan mencontreng salah satu gambar wajah denan ekspresi Sangat Senang, Senang, Biasa atau wajah cemberut yang menunjukkan rasa Bosan. Sementara panitia dan fasilitator mengakhiri pertemuan hari pertama dengan diskusi tentang jalannya lokakarya, berbagai pendapat dan saran untuk perbaikan serta strategi yang akan dilakukan besok harinya.
Pada hari kedua acara dibuka dengan memberi kesempatan kepada peserta menyampaikan ulasan tentang materi yang disampaikan oleh para narasumber sebelumnya. Pengetahuan mereka sangat berarti bagi pelaksanaan kegiatan selanjutnya, dan materi yang disampaikan oleh peserta ternyata lebih mudah dicerna oleh peserta lainnya.
Kemudian dilanjutkan dengan sebuah permainan yang menggugah masyarakat akan pentingnya berpikir dan berbuat sesuatu di luar kebiasaan. Kebiasaan yang dimaksud adalah jarangnya mereka berbuat sesuatu untuk kepentingan bersama, apalagi merencanakan sesuatu. Selain itu, kebebasan berpendapat yang sangat jarang terjadi. Pada kesempatan ini segala kebiasaan itu ditembus, dirubah dengan kebiasaan baru, kebebasan berpikir dan berpendapat. Terlepas dari benar atau salah pendapat tersebut, yang penting tidak melanggar norma yang berlaku di masyarakat.
. . .
. . .
. . .

Gambar 1. Permainan Sembilan Titik
Peserta diminta menghubungkan sembilan titik yang digambar fasilitator dengan tiga buah garis lurus tanpa terputus. Pada setiap lokakarya, selalu ada peserta yang sanggup menyelesaikan tugas ini. Pada beberapa kasus menghabiskan waktu yang cukup lama dan diskusi yang sangat serius. Kemudian peserta diminta pendapatnya tentang makna yang dapat diambil dari permainan sederhana tersebut. Banyak pendapat dikemukakan namun dua hal yang digaris-besarkan adalah dalam lokakarya ini peserta bebas berpendapat namun harus selalu patuh pada koridor yang berlaku di masyarakat.
Dalam kaitan dengan pencegahan dan penanganan flu burung maka permainan ini memberi makna bahwa peserta boleh mengkritisi berbagai kegiatan dan kebijakan yang diterapkan pemerintah sekalipun, namun harus tetap ingat akan rambu-rambu yang ditetapkan. Paling tidak, kebebasan pengkritisan yang dilakukan adalah demi tercapainya tujuan bersama yang baik bagi keseluruhan masyarakat desa.
Setelah dibukanya pemikiran peserta untuk bebas mengemukakan pendapat maka fasilitator memberikan Format I tentang berbagai kegiatan yang telah dilaksanakan, sedang dilakukan dan yang akan dilakukan. Masing-masing kegiatan disertai dengan pelakunya. Peserta berdiskusi sesuai dengan kelompok dan menuangkan hasilnya pada kertas koran yang disediakan. Setelah itu, masing-masing perwakilan peserta menyampaikan hasil diskusinya dan ditanggapi oleh peserta dari kelompok lain secara bergiliran. Setiap anggota kelompok diberi kesempatan untuk menyampaikan jawaban atas pertanyaan yang masuk.







Tabel 4. Format I : Kegiatan Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
KEGIATAN PEMERAN KEGIATAN PEMERAN KEGIATAN PEMERAN


Format sederhana ini menjaring berbagai pendapat dari peserta tentang beberapa kegiatan yang mereka ketahui dilakukan baik oleh petugas pemerintahan atau masyarakat setempat dalam kaitan mencegah dan menangani flu burung. Permainan sembilan titik memberi mereka kemampuan untuk merasa bebas mengemukakan pendapat sepanjang tidak melenceng dari koridor, kegiatan yang berkaitan dengan flu burung.
Setelah kelima kelompok menyampaikan hasil diskusinya dan ditanggapi semua peserta maka fasilitator mengantar peserta kepada permainan pokok yang kedua, sebuah teka-teki sederhana yang membawa mereka harus berpikir.

PEDAGANG SIAL

Ani membeli kaos di kaki lima seharga Rp. 8.000,- dan membayarnya dengan dua lembar uang Rp. 5.000,-an. Pedagang kaos tidak mempunyai uang receh untuk kembalian sehingga menukarkan satu lembar uang Rp. 5.000,-annya dengan lima pecahan Rp. 1.000,-an kepada tukang sate. Setelah itu, pedagang kaos memberi kembalian kepada Ani.
Tidak berapa lama, tukang sate datang dengan marah-marah dan mengembalikan uang Rp. 5.000,-an tadi, yang ternyata palsu. Pedagang kaos pun menggantinya dengan uang Rp. 5.000,-an yang ada di tangannya.
“Aduh, aku rugi !” Kata pedagang kaos menyesali kebodohannya.
Pertanyaan : Berapa kerugian yang diderita pedagang kaos ?
Gambar 2. Teka-teki “Pedagang Sial”

Ketika pertanyaan sederhana ini disampaikan kepada peserta maka berbagai pendapat bermunculan. Mereka diberi kesempatan untuk mendiskusikannya dalam kelompok kemudian menyampaikan hasil diskusinya ke hadapan kelompok lain. Umumnya hasil diskusi kelompok memberi jawaban yang berbeda satu dengan yang lainnya. Ada yang berpikir sangat sederhana sehingga tidak bisa dijelaskan, ada juga yang sangat detail sehingga terlalu panjang untuk disampaikan.
Untuk membuktikan kebenarannya maka fasilitator mengajak peserta untuk praktek langsung dengan bahan seadanya, bisa uang benar ataupun hanya kertas yang ditulis dengan angka nominal uang. Dari peragaan sederhana dibuktikan bahwa sesungguhnya kerugian yang diderita pedagang kaos adalah Rp. 5.000,- yaitu uang palsu yang harus diterimanya itu.
Sesungguhnya bukan benar atau salahnya jawaban peserta yang diharapkan dari permainan ini, tetapi makna yang terkandung di dalamnya yang menurut peserta antara lain “perlu jeli”, “harus teliti”, “harus kompak” dan sebagainya. Makna permainan ini akan menjadi bekal kepada Format II yang lebih menghendaki pemikiran yang teliti dan kekompakan kelompok dalam berdiskusi.




Tabel 5. Format II : Permasalah dalam Kegiatan Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
NO. MASALAH SEBAB AKIBAT ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH


Pelajaran yang diberikan melalui dua parmainan sebelumnya, sembilan titik dan pedagang sial mengajak peserta untuk berani mengemukakan pendapat, lebih teliti dan jeli namun tetap ingat pada koridor pembahasan yang membatasi. Beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pencegahan dan penanganan flu burung diidentifikasi, ditarik garis sebab dan akibatnya. Kemudian dicarikan alternatif pemecahan masalah yang mungkin dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut.
Diskusi kelompok yang dilakukan sering menyebabkan peserta lupa dengan jadwal yang disepakati bersama, fasilitator pun tidak berhak mengingatkan tentang waktu yang terus berjalan sepanjang peserta masih menghendakinya. Adzan maghrib sering menjadi pengingat untuk segera mengakhiri diskusi dan mengumpulkan kertas koran yang ditulisnya kepada fasilitator.
Pada kesempatan ini muncul berbagai pendapat kritis masyarakat tentang kinera petugas pemerintahan. Namun petugas yang telah mendapatkan peltihan pemberdayaan masyarakat ini justeru bangga dengan berbagai macam koreksi terhadap kinerja dirinya selama ini dan tetap bekerja dengan baik sebagai fasilitator dalam lokakarya tersebut.
Seperti pada hari sebelumnya, sambil meninggalkan ruang diskusi para peserta menuliskan kesan yang dirasakannya sepanjang mengikuti lokakarya pada hari kedua ini. Panitia dan fasilitator pun mengakhiri pertemuan dengan diskusi tentang jalannya lokakarya, berbagai pendapat dan saran untuk perbaikan serta strategi yang akan dilakukan besok harinya.
Hari ketiga diawali dengan ulasan tentang hasil diskusi Format I, perwakilan peserta yang berani tampil menyampaikan ulasan diberi penghargaan berupa hadiah. Acara dilanjutkan dengan pemaparan hasil diskusi kelompok oleh perwakilan peserta untuk mendapat tanggapan dari kelompok lain. Wakil peserta yang menyampaikan Format II harus berbeda dengan sebelumnya. Setiap satu kelompok selesai melakukan pemaparan maka kelompok lainnya diberi kesempatan untuk mengajukan saran, pendapat atau beberapa pertanyaan. Jawaban terhadap pertanyaan dilakukan oleh anggota kelompok, diutamakan mereka yang sebelumnya belum berkesempatan bicara.
Sebelum memasuki Format III tentang Rencana Aksi Kelompok, peserta dicerahkan dengan sebuah permainan yang mendorong mereka untuk bisa memanfaatkan segala potensi yang ada di dalam diri dan lingkungannya sendiri dalam mencegah dan menanggulangi flu burung. Di lapangan terbuka, peserta berbaris rapi sesuai dengan kelompoknya. Permainan “Berpanjang-panjangan” dengan aturan bahwa dalam waktu 2 (dua) menit, peserta harus menjadi bagian yang sambung-menyambung tak terputus. Sepanjang-panjangnya dengan memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya. Kelompok yang dapat membuat barisan yang terpanjang adalah pemenangnya.
Pada waktu yang sangat terbatas itulah anggota kelompok diberi kesempatan bertindak cepat dan cermat. Fasilitator mengingatkan mereka untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki. Anggota kelompok yang cerdik akan segera melepas atribut yang menempel di badannya, mulai ikat pinggang, sepatu, kaos kaki, celana panjang, baju dan sebagainya. Permainan ini selalu menjadi bagian paling menarik dan tidak pernah terulang sehingga tidak ada peserta yang dengan sengaja membawa tali atau bahan lainnya.
Makna dari permainan dibahas dengan peserta, keberanekaragaman pendapat peserta menandakan permainan yang baru saja dilakukan sangat berarti. Makna yang tersirat dari permainan ini adalah agar peserta dapat berpikir cepat dan bertindak cermat dalam menyelesaikan masalah dengan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya. Tidak mengandalkan pihak manapun, termasuk aparat pemerintah sekalipun.
Format III dibuat berdasarkan kepada dua hasil diskusi kelompok sebelumnya, Format I dan Format II yang telah dilengkapi dengan hasil diskusi dengan kelompok lain, terutama adalah kolom “Alternatif Pemecahan Masalah” pada Format II.

Tabel 6. Format III : Rencana Aksi Kelompok dalam Rangka Pencegahan dan Penanganan Flu Burung
PEMERAN WAKTU (BULAN)
NO. KEGIATAN RT/
RW DE-
SA KEC. KAB. I II III KET.
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4


Kegiatan yang direncanakan haruslah realistis, dapat dilaksanakan oleh masyarakat dengan memanfaatkan segala potensi yang ada di desanya. Baik potensi sumber daya manusia, kemampuan pendanaan ataupun kekayaan lingkungan yang mendukungnya. Hal ini tentu sesuai dengan pesan yang tersirat dalam permainan berpanjang-panjangan yang dilakukan sebelumnya.
Pemeran utama kegiatan yang direncanakan adalah peserta lokakarya bersama masyarakat desa lainnya, apabila diperlukan pemeran tambahan dapat dilibatkan pihak RT dan RW, Aparat Desa, pemerintahan kecamatan dan petugas dari kabupaten baik institusi kesehatan maupun kesehatan hewan. Waktu pelaksanaan rencana dibuat 3 (tiga) bulan yang dibagi detail dalam mingguan.
Setiap kelompok membuat satu Rencana Aksi Kelompok dan dituangkannya dalam kertas koran. Dipaparkan kepada keseluruhan peserta untuk mendapat tenggapan dari 4 (empat) anggota kelompok lainnya. Rencana Aksi Kelompok dari masing-masing kelompok yang telah diperbaiki merupakan bahan dasar menyusun Rencana Aksi Desa dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung.
Seperti pada hari sebelumnya, setiap peserta mengakhiri pertemuan dengan mengisi kolom kesan yang telah disediakan. Kemudian panitia dan fasilitator mendiskusikan beberapa materi yang dapat dijadikan bahan pelajaran untuk langkah perbaikan selanjutnya.
Hari terakhir diawali dengan ulasan dari masing-masing kelompok tentang kandungan Format III yang telah dilengkapi dengan hasil diskusi dengan kelompok lain sehari sebelumnya. Setelah kelima kelompok selesai memaparkan ulasannya maka dari setiap kelompok dipilih 2 orang untuk menjadi wakil yang nantinya akan membahas Rencana Aksi Desa. Keputusan tentang wakil dari masing-masing kelompok diserahkan kepada anggota kelompok.
Ke-sepuluh orang pilihan anggota kelompok tergabung dalam Tim Kecil berdikusi menyusun Rencana Aksi Desa berdasarkan hasil Format II dari ke-lima kelompok. Tidak menutup kemungkinan muncul kegiatan yang sama sekali baru, yang terpikirkan oleh mereka pada saat diskusi Tim Kecil.
Hasil diskusi Tim Kecil dipresentasikan kepada para peserta untuk mendapatkan tanggapan dan perbaikan yang kemudian menjadi Rencana Aksi Desa yang disepakati bersama. Rencana Aksi Desa merupakan kumpulan rencana kegiatan yang akan dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan bersama anggota masyarakat desa lainnya dalam mencegah dan menangai flu burung.
Rencana Aksi Desa adalah rencana “dari, oleh dan untuk” masyarakat desa secara keseluruhan. Sebuah rencana yang digali dari berbagai permasalahan dan potensi yang ada di desa, dihasilkan oleh anggota masyarakat pilihan yang hadir dalam lokakarya serta dilaksanakan dan dipertanggungjawabkan untuk kepentingan segala lapisan masyarakat desa itu sendiri (contoh tertera pada Lampiran 1).
Dengan hantaran tiga format sederhana sebelumnya maka dibalik kesederhanaan pola pikir masyarakat Kabupaten Indramayu ternyata dapat dihasilkan beberapa rencana kegiatan yang realistis, bisa dilaksanakan sesuai dengan potensi yang ada di desa setempat. Bahken beberapa kegiatan yang direncanakan tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Sebagai contoh adalah sosialisasi flu burung di tempat hajatan, kutbah Jum’at dan sebagainya.
Setelah Rencana Aksi Desa disepakati maka peserta dihadapkan kepada permasalahan, siapa yang bertanggungjawab akan terlaksananya rencana tersebut. Dengan dipimpin oleh salah satu peserta maka disusunlah organisasi pelaksana kegiatan. Nama organisasi pelaksana diserahkan kepada peserta, beberapa nama yang dipilih peserta diantaranta Tim Tanggap Flu Burung, Tim Pelaksana Pencegahan dan Penanganan Flu Burung, dan lain-lain.

Evaluasi Rencana Aksi Desa
Sampai akhir tahun 2008 telah dilaksanakan Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung di 31 Desa dalam 30 Kecamatan di Kabupaten Indramayu. Dengan demikian maka di setiap kecamatan telah ada satu desa yang menjadi lokasi lokakarya, kecuali di Kecamatan Kandanghaur sebanyak 2 (dua) desa serta Kecamatan Sukagumiwang sama sekali belum ada.
Bila dilihat sepintas maka berbagai kegiatan yang direncanakan peserta lokakarya di setiap desa hampir serupa. Kegiatan yang paling banyak direncanakan adalah sosialisasi flu burung. Perbedaanya terletak pada lokasi dan cara sosialisasi yang akan dilakukan. Beberapa desa melaksanakannya berdasarkan batas wilayah seperti RT dan RW, Blok, Kampung dan lain-lain. Beberapa desa melaksanakan melalui lembaga keagamaan seperti pengajian rutin ibu-ibu atau bahkan menjadi bagian dari khutbah Jum’at. Selain itu dapat juga menembus batas perwilayahan seperti dilakukan melalui siaran radio lokal dan hajatan yang diadakan masyarakat desa.
Beberapa kegiatan yang direncanakan dalam Rencana Aksi Desa di 31 Desa tersebut adalah sebagai berikut :
1. Sosialisasi Flu Burung Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)
2. Pembuatan POSKO Flu Burung
3. Pendataan unggas dan pemiliknya
4. Gerakan operasi bersih (opsih)
5. Pentas seni budaya tentang flu burung
6. Pemutaran film tentang flu burung
7. Pembuatan spanduk tentang flu burung
8. Pelatihan vaksinasi
9. Penyemprotan kandang
10. Vaksinasi unggas
11. Lomba kandang sehat dan unggas sehat
12. Demo pengolahan daging unggas dan telur ayam
13. Pembuatan kandang percontohan
14. Penertiban unggas liar
15. Pemusnahan unggas terkena virus flu burung
16. Pembuatan Peraturan Desa tentang tatacara pemeliharaan ternak unggas
17. Evaluasi dan pelaporan kegiatan

Dari semua rencana yang dibuat peserta lokakarya hampir semuanya dapat dilaksanakan dengan baik sesuai dengan rencana (98 %). Bahkan beberapa desa merencanakan kegiatan lanjutan untuk 3 bulan berikutnya. Tetapi tidak sedikit peserta lokakaya yang tidak melanjutkan dengan rencana kegiatan baru. Namun demikian, sekalipun secara formal mereka tidak lagi membuat rencana bersama tetapi pola hidup bersih dan sehat telah melekat dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan yang tidak dapat dilaksanakan adalah pembuatan Peraturan Desa yang mengatur kegiatan yang berkaitan dengan penceghan dan penanganan flu burung. Pembuatan peraturan tersebut ternyata harus mengacu kepada peraturan yang lebih tinggi, misalnya Peraturan Bupati atau Peraturan Daerah. Hal ini tentu saja harus melalui proses yang panjang dan pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan.
Sekalipun beberapa peserta adalah unsur pemerintahan desa namun ternyata mereka tidak semuanya mengerti tentang tata tertib pembuatan Peraturan Desa. Keadaan ini juga bisa terjadi jika aparat desa tidak dapat mempertahankan pendapatnya pada saat diskusi dilaksanakan.

Lokakarya dan Lokakarya
Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung merupakan cikal bakal beberapa kegiatan lainnya. Tiga kegiatan lain yang berkaitan dengan Flu Burung diluncurkan di Kabupaten Indramayu adalah :
1. Integrasi Flu Burung dalam Pelajaran Sekolah
2. Pencegahan dan Penanganan Flu Burung melalui Kader Posyandu
3. Pencegahan dan Penanganan Flu Burung melalui PKK
Untuk menyusun rencana strategi yang akan dijalankan ketiga kegiatan tersebut dilakukan lokakarya. Sebagai alat bantu digunakan format-format yang dimodifikasi dan disesuaikan dengan kepentingannya. Khusus unuk kegiatan Integrasi Flu Burung dalam Pelajaran Sekolah dilakukan dengan tim fasilitator dari Kabupaten Sukabumi yang lebih dahulu menjalankannya.
Pelajaran berharga dari Kabupaten Sukabumi ditindaklanjuti dengan lokakarya untuk pada Guru, Kepala Sekolah dan Pengawas sehingga mereka mempunyai bekal yang mencukupi untuk menyebarkan informasi tentang Flu Burung selanjutnya. Para kader ini pun melaksanakan tugasnya dengan baik, informasi tentang Flu Burung disosialisasikan kepada para guru lainnya pada pertemua di tingkat kecamatan.
Intergrasi Flu Burung dalam Pelajaran Sekolah bukanlah semata-mata memasukan materi Flu Burung pada beberapa pelajaran tetapi juga menerapkan kehidupan hidup bersih dan sehat dalam kehidupan siswa di sekolah. Hal yang paling sederhana adalah kebiasaan cuci tangan. Sekolah-sekolah menyediakan tempat cuci tangan yang dibuat tanpa perlu biaya berarti, dari kaleng cat atau bahan bekas lainnya.
Selain itu, imajinasi siswa pun dikembangkan dengan berbagai lomba yang berkaitan dengan Flu Burung seperti lomba menggambar poster Flu Burung. Untuk bisa menghasilkan poster yang baik, maka peserta harus benar-benar tahu tentang Flu Burung, baik pada manusia maupun unggas.
Kader Posyandu yang merupakan ujung tombak menuju keluarga sejahtera versi Badan Keluarga Berencana adalah kumpulan individu yang sangat dekat dengan masyarakat menuju kesejahteraan dari sisi lain. Oleh karena itu, informasi tentang Flu Burung akan mudah sampai kepada masyarakat dengan perantaraan mereka.
Dimulai dari pembekalan di tingkat kabupaten, dilanjutkan dengan pembekalan kader di dua kecamatan percontohan. Kader yang dilatih inilah yang menyebarkan Pola Hidup Bersih dan Sehat secara langsung kepada masyarakat. Kiranya keberhasilan para kader di Kecamatan Indramayu dan Kecamatan Balongan dapat menjadi pertimbangan bagi UNICEF untuk menjalankan kegiatan sejenis di kecamatan lainnya di Kabupaten Indramayu.
Selain itu, kader PKK yang ada di setiap desa merupakan ujung tombak keberhasilan program pemerintah. Oleh karena itu tidak ada salahnya apabila pendekatan terhadap mereka dilakukan juga dalam mencegah dan menangani flu burung khusunya dan umumnya menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat dalam kehidupan sehari-hari.
Kegiatan diawali dengan lokakarya penyusunan rencana strategis yang akan dilaksanakan di setiap kecamatan. Para peserta adalah isteri para Camat dan Tim PKK Kabupaten Indramayu. Setelah lokakarya, mereka mensosialisasikan Flu Burung kepada para kader PKK Desa setempat. Pendekatan melalui ibu-ibu ini sangat efektif dalam mengubah perilaku hidup masyarakat menuju kesehatan, sehat bagi dirinya dan juga lingkungannya.

Dampak Lokakarya
Pada Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung yang memakan waktu 4 hari itu, sesungguhnya intinya adalah memberdayakan masyarakat dalam menuju kehidupan yang bersih dan sehat. Mereka disadarkan bahwa sesungguhnya banyak cara untuk menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat sesuai dengan potensi yang ada dalam diri dan lingkungannya.
Lokakarya yang semula direncanakan untuk 2 (dua) desa pada akhirnya dibiayai UNICEF untuk 31 desa menunjukkan bahwa pelaksanaan lokakarya secara proses dapat dipertanggungjawaban. Sementara dampak lokakarya dapat dilihat dari perilaku kehidupan bersih dan sehat yang diterapkan oleh masyarakat yang menghasilkan perpaduan kehidupan yang harmonis antara unggas dan manusia. Unggas yang dipelihara dengan baik dan benar serta sehat akan menghasilkan manfaat yang menyehatkan masyarakat pemiliknya.
Pendekatan yang ditempuh dengan berbagai cara dalam pencegahan dan penanganan flu burung yang teraktualisasi dalam Perilaku Hidup Bersih dan Sehat di kehidupam masyarakat menunjukkan hasil yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari penyebaran virus Flu Burung pada unggas yang berkurang drastis pada tahun 2008 lalu. Demikian juga kasus positif Flu Burung pada manusia tidak lagi terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Hasil lokakarya bukan hanya menjadi milik peserta lokakarya dan masyarakat desanya tetapi juga berdampak kepada masyarakat desa sekitarnya. Hal ini sangat mudah dilakukan mengingat hasil lokakarya adalah hal-hal sederhana yang bisa dilakukan oleh siapapun, keseluruhan anggota masyarakat.
.

Kesimpulan dan Saran
Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penananan Flu Burung di Kabupaten Indramayu memberikan pelajaran bahwa kesederhanaan pola pikir, keterbatasan pendidikan dan berbagai kekurangan yang ada dalam masyarakat tidak dapat dipandang sebelah mata. Karena semua itu merupakan potensi besar untuk diramu menjadi kekuatan dalam menghadapi berbagai permasalahan yang terjadi. Sebab merekalah yang mengetahui pokok permasalahan dan upaya yang paling tepat mengatasi dengan segala potensi yang tersedia di desanya. Persoalan pokoknya terletak pada kemauan para perencana untuk bisa membumikan buah pemikiran ilmiahnya ke dalam bahasa yang mudah dimengerti dan dilaksanakan masyarakat tanpa mengurangi kaidah bakunya.
Selain itu untuk mencegah dan menangani flu burung khususnya dan umumnya menuju Pola Hidup Bersih dan Sehat dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti Integrasi Flu Burung dalam Pelajaran Sekolah, melalui Kader Posyandu dan kader PKK.
Untuk penyusunan perencanaan dengan instrumen sederhana seperti yang digunakan pada okakarya flu burung dapat digunakan untu kepentingan perencanaan pembangunan ataupun perencanaan lainnya, dengan sedikit penyesuaian. Kesederhanaan prinsip dan instrumen yang digunakan sehingga mudah dimengerti masyarakat dan yang lebih penting lagi adalah dapat dilanjutkan proses pelaksanaan perencanaannya oleh masyarakat secara mandiri.

Penutup
Banyak pengalaman yang saya petik dari kehidupan bersama teman-teman UNICEF, salah satunya adalah bagaimana menghargai harkat dan martabat orang sebagaimana mastinya. Olh karena itu, atas segala kesempatan yang diberikan untuk berkiprah dalam kegiatan yang difasilitasi UNICEF, saya sampaikan terimakasih. Salam salut saya khusus untuk Pak Steve, salam hormat buat Pak Agus, salam jabat erat untuk Mba Hesti, Mba Menik, Mba Santi dan rekan UNICEF lainnya. Juga slam hangat untuk mitra dari BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, Dinas Kesehatan dan BAPPEDA Kabupaten Indramayu. Spsesial kenangan terindah bagi rekan-rekan seperjuangan di Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Indramayu.
Pengalaman yang tertuang dalam tulisan ini masih terlalu sedikit dibandingkan dengan manfaat yang telah dirasakan, terutama oleh saya pribadi dan tentu saja rekan-rekan serta masyarakat Kabupaten Indramayu pada umumnya. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau pengalaman ini juga dimodifikasikan untuk berbagai kepentingan program dan kegiatan lain yang bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

GURUH SANG GURU

GURUH SANG GURU

Sangat sulit dimengerti bahwa ketika saya kembali untuk pertama kalinya untuk bertugas di tempat kelahiran, ternyata terlalu banyak kejanggalan. Berbagai sarana yang mahal seperti fasilitas air bersih dan beberapa sarana vital lainnya terbengkalai sampai tidak pernah dipakai, karena memang lokasinya jauh dari hunian masyarakat. Sarana perhubungan seperti jalan misalnya, kampung halaman saya tetap terisolir seperti sewaktu saya kecil dulu. Keadaan ini diperparah dengan minimnya pengusaha yang mau berkorban kendaraan di jalan yang tidak layak untuk dilalui.
BAPEDA merupakan tempat saya bertugas untuk pertama kali, sungguh beruntung karena di instansi inilah segala perencanaan pembangunan digodog. Di instansi yang semula saya bayangkan sebagai gudang para pemikir ini sesuatu terungkap dengan gamblang sebagai pengalaman pertama.
Pada waktu itu awal peralihan perencanaan anggaran dari sistem lama ke peraturan yang baru. Banyak perubahan, tetapi itulah yang menyebabkan saya sangat tertantang. Singkat cerita, saya membuatkan semua RKA di Bidang Ekonomi. Tiba-tiba Sekretaris Panitia Anggaran memanggil para calon Pimpinan Pelaksana (Pinlak), tetapi karena mereka sedang keluar, saya pun mewakili.
“Apa sich jabatan kamu ?” Tanyanya tiba-tiba, begitu saya memasuki ruang beliau. “Kamu golongan berapa?” Lanjutnya tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.
Sungguh dua pertanyaan yang menurut saya hanya patut ditanyakan para kolonial kepada pribumi pemilik negeri ini ratusan tahun yang lalu! Aneh saja, di zaman merdeka masih ada pejabat yang masih mempermasalahkan golongan dan jabatan untuk sekedar menanyakan apakah RKA yang harus dibuat sudah selesai atau belum.
Ternyata hal itu bukanlah satu-satunya pengalaman pahit, beberapa pejabat pun masih mempermasalahkan status sosial seakan merupakan penentu segalanya. Saya hanya berpikir, kalau kepada sesama birokrat saja mereka memandang sebelah mata, apalagi kepada masyarakat umum yang harus dilayaninya ?
Semakin lama saya di BAPEDA, makin banyak kejanggalan yang terjadi. Perencanaan Partisipatif sebagaimana diharapkan untuk dapat menjaring aspirasi masyarakat hanyalah teori belaka. Metode ini tertulis di berbagai aturan dan petunjuk pelaksanaan tetapi tidak pernah direalisasikan.
Tidak mengherankan kalau hasil penjaringan aspirasi di tingkat kecamatan yang telah direkap dalam bentuk buku tebal pun hanya menjadi penghias lemari. Hal ini tidak lain karena perencanaan masyarakat tidak sesuai dengan rencana kegiatan dari Dinas/Instansi terkait yang telah dilengkapi berbagai dokumen pendukungnya. Hasil penjaringan aspirasi akhirnya tertumpuk tebal penuh dengan jaring laba-laba.
Pengalaman semakin pahit ketika bertugas di kecamatan, baru saja datang memenuhi SK Bupati sudah ditagih SPJ berbagai dana yang turun ke desa. Hutang SPJ ternyata bukan kali pertama tetapi menjadi agenda rutin, salah satu sebabnya adalah karena para Sekretaris Desa yang semestinya membantu Kepala Desa membuat SPJ, tidak pernah bisa melaksanakan tugasnya. Alasannya sangat masuk akal, tidak pernah tahu-menahu soal kegiatan yang dilaksanakan dengan dana tersebut. Apalagi soal dananya, rahasia Kepala Desa.
Memang mengejutkan, siapapun tidak tahun menahu soal kegiatan yang langsung ditangani pihak desa. Lebih-lebih masyarakat yang memang sudah sering menjadi korban pembangunan. Bahkan ada yang lebih parah, beberapa Kepala Desa memang sudah menjaminkan dana dari APBD itu untuk mendapatkan hutang pribadi di BPR kecamatan.
MUSRENBANGDES juga sangat sulit dilaksanakan, kepercayaan yang rendah kepada Kepala Desa menyebabkan masyarakat enggan menghadiri undangannya. Apalagi perencanaan secara partisipatif, tidak pernah terjadi. Kebanyakan masyarakat yang hadir pun tidak lagi mau berpendapat karena sudah bosan akan rencana dan rencana yang tidak pernah ada wujudnya, sementara para perangkat desa relatif arogan. Arena penyusunan rencana lebih sering menjadi tempat curhat dan adu mulut antara pendukung dan penentang Kepala Desa. Hasilnya akhirnya dapat diduga, hanya pendapat Kaur Pembangunan di desa semata.
Semakin gamblanglah jawaban atas berbagai kejanggalan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu terjadi. Semenjak perencanaan, kehadiran masyarakat cuma untuk tandatangan absen saja. Soal aspirasi sudah diwakili oleh orang-orang tertentu. Tetapi bukan rahasia lagi kalau sudah menjadi alasan klasik, bahwa pembangunan yang gagal adalah akibat dari partisipasi masyarakat yang kurang.
Tentu saja sebagai orang baru saya sempat bertanya lebih jauh, mengapa hal ini bisa terjadi di salah satu kabupaten suatu propinsi paling dekat dengan pusat kekuasaan ? Bukankan Jawa Barat sebagai penopang ibukota negara dalam visi dan misinya ingin menjadi daerah terdepan dan termaju ?
Pertanyaan itu sebenarnya sudah terjawab jauh-jauh hari, karena pada tahun 2000 saya mendapat pendidikan Perencanaan Pembangunan Nasional selama 7 (tujuh) bulan di Universitas Indonesia. Salah satu materi kursus yang diselenggarakan BAPPENAS itu adalah tentang perencanaan partisipatif. Alhamdulillah, dosen yang mengajar tidak bisa memenuhi 8 sesi yang menjadi kewajibannya karena untuk materi itu para peserta tidak lagi memerlukan dosen, pengajar atau guru. Dalam hal perencanaan partisipatif kami hanya memerlukan seorang fasilitator yang bisa menuntun peserta nantinya menerapkan metode ini dengan baik dan benar.
Dua pelatihan perencanaan partisipatif berikutnya pun sangat mengecewakan. Pelatihan Perencanaan Partisipatif Bidang Pertanian Bagi Petugas yang dilaksanakan Balai Latihan Penyuluh Pertanian di Lembang dilaksanakan selama lima hari. Sebenarnya, dari judulnya saja sudah dapat diduga bahwa pelatihan ini adalah partisipatif. Betul juga, tidak ada yang mengaku sebagai pelatih, dosen atau guru. Semua menyebut dirinya fasilitator.
Seakan seperti koor, semua berucap di awal perkenalan, “Nanti kami para fasilitator hanya menghantar peserta mencapai tujuan. Jadi bapak/ibu lah yang aktif.” Alhamdulillah, mereka pun berhasil mengajarkan teori partisipatif tanpa memberi kesempatan kepada kami untuk berpartisipasi.
Pelatihan Perencanaan Bidang Kesehatan Secara Partisipatif pun pernah saya ikuti di Bapelkes Salaman – Magelang. Pelatihan ini menjadi sangat menarik bagi saya secara pribadi, sehingga selama sepuluh hari sangat serius. Mungkin karena terlalu serius, akhirnya saya tidak menemukan sedikitpun metode partisipatif dilakukan. Full satu arah, sekalipun seperti pelatihan sebelumnya mereka menyebut diri sebagai fasilitator. Bukan guru apalagi dosen, tetapi yang berlangsung adalah kuliah semata.
Sungguh saya sempat frustasi dengan tiga pengalaman yang mengerikan itu. Bagaimana suatu perencanaan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat sementara para calon fasilitatornya saja hanya mendapatkan teori perencanaan partisipatif dengan sangat dangkal ? Saya yakin mereka yang hanya mendapatkan pelatihan-pelatihan seperti di atas tidak dapat menggiring masyarakat untuk berpartisipasi, bahkan untuk mengungkapkan pendapat yang selama dipendamnya sekalipun.
Beruntunglah sekalipun saya sudah tidak tercatat lagi sebagai karyawan BAPEDA, pada tahun 2005 saya mendapat kesepatan mengikuti TOT Perencanaan Partisipatif Bidang Kimpraswil, dasar dan lanjutan. Dalam dua kali pelatihan para calon pelatih itulah saya mendapatkan kesan terindah. Bukan hanya siap menjadi fasilitator tetapi juga seperti tujuan pelatihan itu, yakin bisa melatih fasilitator.
Keberuntungan memang sedang menempel di badan, tidak berapa lama peluang untuk menerapkan hasil pelatihan pun terwujud. Sebuah rencana besar bernama Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung terbuka untuk dilaksanakan di Indramayu. Di balik seremnya kata ‘Lokakarya’ terdapat tantangan ‘Pemberdayaan Masyarakat’ yang sangat menarik. Dua kata/suku kata itu selama ini seakan jauh satu sama lain. Tentu diperlukan keseriusan tersendiri baik dalam perencanaan dan pelaksanaan, apalagi pertanggungjawabannya.
Tetapi semua itu seakan menjadi mudah ketika bertemu dengan tim dari UNICEF Perwakilan Bandung. Kekompakan tim saja sudah menjadi inspirasi bagi saya untuk berbuat hal yang sama, kerja tim, bukan sendiri dalam kepusingan. Penjelasan yang terbuka dan gamblang serta satu bahasa dengan tanpa menutup terjadinya perbedaan pendapat adalah suatu pelajaran yang sangat berharga. Penampilan sederhana, low profile tanpa menghilangkan kesan serius dan kerja keras merupakan paduan serasi yang selama ini sungguh sulit ditemui.
Itulah sebabnya perencanaan lokakarya pun menjadi sangat mudah dan cepat terealisasi. Akhir tahun 2006 adalah genderang awal perencanaan partisipatif diterapkan dalam menyusun Rencana Aksi Desa (RAD) dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Flu Burung. Beruntunglah saya tidak sendiri, selain rekan-rekan dari BAPEDA yang sudah terlatih melaksanakan metode partisipatif juga beberapa teman dari Dinas Pertanian dan Peternakan pun pernah mengikuti pelatihan serupa yang dilaksanakan lembaga bergengsi seperti FAO.
Bukan sombong kalau saya berpendapat bahwa pada saat pertama kali lokakarya pun kami sudah bisa jalan penuh. Tetapi sungguh pengalaman dari rekan fasilitator UNICEF adalah sesuatu yang sangat berharga. Perpaduan keduanya menjadikan tim pelaksana lokakarya menjadi sangat siap mengantar peserta untuk menghasilkan produk intelek dari masyarakat awam yang merupakan kelas yang selama ini selalu dilupakan.
Kalau pelajaran tak langsung saja sudah sedemikian bermanfaat, maka dugaan sementara bahwa pelajaran langsungnya tentu akan jauh lebih mengena. Namun, pertemuan terasa sangatlah sulit. Beruntunglah pada lokakarya di desa yang kedua, Pak Steve Aswin berkenan hadir. Kesahajaan yang sudah tergambar dari para anggota tim sebelumnya benar-benar gamblang dan jelas. Anggapan adanya kesan angker yang menjadi modal utama seorang pemimpin sama sekali tidak nyata.
Pertemuan pertama di lokasi lokakarya sungguh amat berkesan, semua seakan menjadi mudah dibuatnya. Suara beratnya membuat rangkaian keruwetan di awal melangkah menjadi kecil dan akhirnya lenyap secara bertahap. Bahkan di kepala segera muncul berbagai rencana baru untuk semakin memanfaatkan metode perencanaan partisiparif ini untuk program pencegahan dan penanganan flu burung yang lebih luas.
Sungguh di luar dugaan, bahasa yang digunakan sedemikian mengena dan menyentuh segala lapisan. Gaya dan bahasanya membuat lawan bicara terkesima. Saya yakin, satu-satunya pendengar yang tidak mengerti kata-katanya adalah orang yang tidak dapat mendengar. Kebetulan tidak satupun diantara kami yang demikian. Seorang Pimpinan Perwakilan lembaga dunia yang berperilaku sebagaimana masyarakat biasa dan bicara dengan bahasa membumi adalah suatu kelainan di antara masyarakat yang masih mengagungkan status sosial sebagai kebanggaan.
Pelajaran penting juga dipetik oleh para peserta lokakarya, selain bangkitnya semangat untuk bersama-sama mencegah dan menangani flu burung sebagaimana umumnya, satu hal yang paling penting adalah pelajaran kepribadian. Setinggi apapun jabatan, sebesar apapun penghargaan dan status sosial yang dimiliki, sekaya apapun kita, sesungguhnya kita tidak dapat hidup dalam kesendirian. Kebersamaan adalah kunci kenyamanan hidup, dan kenyamanan itu tercipta ketika kita menjadi bagian dari sesama. Untuk menjadi bagian dari sesama maka diperlukan empati yang tinggi, sanggup menerima dan mau memberi dengan kerelaan hati.
Kerendahan hati telah membuai perasaan peserta untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam kebersamaan. Tidak ada yang lebih pandai, karena di balik kepandaiannya masih tersisa hal-hal yang tidak diketahui. Tidak ada juga yang bodoh karena dibalik ketidaktahuannya terdapat banyak pengalaman yang tidak dimiliki orang lain. Tidak ada yang lebih kaya, karena diantara harta kekayaannya ada hak si kurang empunya. Tidak ada yang miskin karena sesungguhnya mereka diberi karunia yang tidak akan dimiliki mereka yang berharta. Empati yang tinggi mengantar semua peserta menghasilkan rencana sekelas hasil para intelektual, dari, oleh dan untuk mereka dan masyarakat desanya.
Tim UNICEF Perwakilan Bandung lengkap dengan pemimpinnya menjadi insiprasi tersendiri bagi pengelola dan peserta lokakarya. Kepercayaan kemandirian yang diberikan adalah sesuatu yang membanggakan namun kehadirannya secara pribadi tentu selalu diharapkan, karena tidak pernah meninggalkan kesan ketergantungan.
Lokakarya dan lokakarya serta terus lokakarya, tanpa terasa sudah di 31 desa kami menyulap kata yang menyeramkan itu menjadi kegiatan yang mengasyikan tanpa mengurangi kualitas hasil yang diharapkan. Bahkan pengetahuan dan keterampilan mencegah dan menangani flu burung pun merambah ke sekolah. Para guru menularkan apa yang didapat dalam gaya dan bahasa sebagaimana kami menuntun mereka, tidak sekedar komunikasi satu arah sebagaimana biasa dilakukan. Anak-anak pun menyampaikannya kepada anggota keluarga, termasuk ibu dan bapaknya.
Lokakarya, lokakarya dan lokakarya. PKK dan ibu-ibu adalah target empuk berikutnya. Pengetahuan dan keterampilan ditularkan dengan cara yang enak dilakukan, dari mulut ke mulut. Juga acara resmi yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan tingkatan di bawahnya.
Lokakarya dengan metode perencanaan partisipatif yang semula saya anggap tidak akan bisa terlaksana di Indramayu, ternyata sedemikian sederhana dan mudah dilaksanakan. Mungkin perlu dana tambahan, waktu yang lebih longgar dan yang paling penting adalah kemumpunian fasilitator yang menghantar jalannya kegiatan. Faktor yang terakhir tadi tidak terlepas dari keteladanan yang dilakukan oleh seorang pimpinan.
Kalaulah metode perencanaan partisipatif ini juga diterapkan pada perencanaan pembangunan yang lain, tentu berbagai kejanggalan pelaksanaan pembangunan dapat sedikit demi sedikit berkurang. Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat dihindarkan. Pemanfaatan dana pembangunan oleh pribadi atau golongan bisa dikoreksi oleh masyarakat sebagai kelanjutan dari perilaku transparansi.
Kalau metode perencanaan partisipatif ini diterapkan di Indramayu, suatu harapan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan tercapai. Tanpa pemborosan anggaran, sedikit mungkin kebocoran, dan yang paling penting adalah keterlibatan masyarakat dalam mempertanggungjawabkan.
Kalau metode perencanaan partisipatif berjalan sebagaimana mestinya, masyarakat Bhumi Wiralodra akan bangkit dari ketidakberdayaan untuk membela diri sebagai pihak yang selalu disalahkan kalau terjadi kegagalan pembangunan. Tidak berlaku lagi alasan klasik birokrat, “Partisipasi masyarakat rendah !”
Kalau perencanaan partisipatif sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat maka tidak perlu lagi seorang pejabat menganggap diri paling hebat, karena sehebat-hebatnya beliau tetap saja hanya seorang abdi masyarakat. Diantara masyarakat, status sosial tidak lagi menjadi pembeda untuk dipertentangkan, tetapi merupakan faktor yang saling lengkap-melengkapi untuk mencapai tujuan hidup bersama.
Kalau metode perencanaan partisipatif diterapkan sebagaimana berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai perencanaan pembangunan yang berlaku, maka kami akan mengenang gelegar Guruh-mu, Sang Guru
Terimakasih Pak Steve Aswin, selamat menikmati kehidupan selanjutnya dengan penuh kesenangan dan kebahagiaan.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

"KABUPATEN INDRAMAYU"

.... Sebuah harapan dan cerita 10 tahun lalu ....

“Kabupaten Indramayu” yang menjadi judul tulisan ini sengaja diberi tanda petik, karena wilayah yang dimaksud bukanlah Kabupaten Indramayu yang ada sekarang atau pernah direncanakan atau bahkan terpikirkan sekalipun.

Seperti diketahui, pada kepemimpinan Adang Suryana yang kemudian juga dilanjutkan masa Ope Mustofa pernah terbesit munculnya wilayah baru di sebelah barat Indramayu dengan nama Kabupaten Kandanghaur, Kabupaten Haurgeulis ataupun Kabupaten Indramayu Barat. “Kabupaten Indramayu” yang dimaksud dalam tulisan ini sama sekali lain dengan opini yang sempat masuk dalam agenda sidang para anggota dewan itu.

“Kabupaten Indramayu” bukanlah suatu wilayah belahan dari Kabupaten Indramayu yang ada sekarang setelah dihitung-hitung sampai buntung dengan berdasarkan sumberdaya alam khususnya sumber minyak dan gas, atau dengan patokan luas wilayah yang terbentang dari barat ke timur itu. Tetapi menengok asal muasal alias babak-babakan bin babad-babadan.

Secara ilmiah, hal ini sulit dibuktikan. Bukan hanya karena ketiadaan bukti tertulis, masing-masing narasumber pun lebih banyak ketidaksamaannya dalam menuturkan sebagai imbas subyektivitas.

Berbeda dengan ide-ide pemekaran wilayah Kabupaten Indramayu terdahulu yang memerlukan kajian rumit dan mahal, walaupun ujungnya gagal diterapkan, maka kaji-babad ini langsung saja membelah Kabupaten Indramayu berdasarkan pembabak-nya.

Sebelah timur Sungai Cimanuk yang menembus tepian Mesjid Agung dan Pendopo sekarang, seterusnya ke utara adalah babakan Raden Singalodra yang dikenal sebagai Wiralodra I, putera Bagelen yang dikenal sebagai pendiri Indramayu. Menyeberang jembatan kokoh yang tidak lagi berfungsi sebagainamana layaknya sebuah jembatan itu, karena sebenarnya saat ini lebih menghemat dana kalau diganti jembatan beton pendek atau diurug sama sekali, di sebelah barat Sungai Cimanuk membentang areal yang luas hasil karya Nyi Endang Darma.

Ironisnya, nama Indramayu yang sekarang tidak lain diambil dari nama pembabad wilayah barat Sungai Cimanuk itu. Sehingga tidak terlalu berlebihan bila wilayah tersebut menjadi sebuah daerah otonom maka yang lebih berhak mempatenkan diri sebagai Kabupaten Indramayu.

“Kabupaten Indramayu” merupakan wilayah yang sangat luas. Dari Sungai Cimanuk di timur sampai lika-liku bentangan Salamdarma yang majadi titik balik perbatasan dengan Kabupaten Subang. Luasnya mencapai 158.161,00 Ha atau meliputi 77,5 % dari keseluruhan wilayah Kabupaten Indramayu sekarang (204.011,00 Ha). Secara administrasi, terbagi 16 kecamatan dalam 193 desa yang dipadati oleh 997.837 jiwa sehingga rata-rata kepadatan penduduk setiap desa sebanyak 5.170 jiwa atau terdiri dari hampir 1.500 keluarga/desa.

Kecamatan paling besar adalah Haurgeulis, Cikedung, Sindang, Losarang dan Kroya yang luasnya masing-masing 25.409 Ha, 23.086 Ha, 17.358 Ha, 12.755 Ha dan 11.132 Ha. Bila dihitung lebih lanjut, maka dua kecamatan yang disebut pertama saja lebih luas daripada luas keseluruhan depalan kecamatan yang ada di sebelah timur Sungai Cimanuk. Hal ini menunjukkan bahwa pengembangan wilayah barat masih sangat diperlukan.

Bentangan pantai dari bekas muara pertemuan Sungai Cimanuk dengan bibir pantai memipir Eretan dan seterusnya ke barat sebelum sampai ke Pantai Pondok Bali, hamparan sawah nan luas di setiap celah antar pekarangan yang dijadikan tempat hunian serta kerimbunan hutan yang menjadi pembatas dengan wilayah Kabupaten Subang dan Sumedang, membuka tantangan untuk terus maju tanpa ragu dengan modal sumberdaya alam yang lengkap. Sementara itu di deretan lempeng isi buminya pun terselip banyak minyak dan gas.

“Kabupaten Indramayu” memang harus berbenah, wilayah kecamatan yang super luas sudah saatnya dimekarkan. Mendekatkan aparat pelaksana tersebut dengan masyarakat. Menyempitkan celah ketidak-kenalan antara masyarakat dengan unsur pemerintahan. Lima kecamatan yang disebutkan di atas adalah prioritas yang harus dimekarkan.

Demikian juga desa-desa yang padat penduduk, sudah saatnya para Kuwu makin didekatkan dengan masyarakat. Apalagi kalau jangkauan antar kampung merupakan kendala tambahan karena luasnya wilayah desa.

Adalah kesia-siaan kalau hal ini tidak ditindaklanjuti dengan kualitas pembangunan yang menyentuh masyarakat. Sebab itulah nyawa otonomi daerah, sekalipun banyak Bupati menterjemahkannya sebagai mengejar PAD. Di kabupaten manapun di negeri ini PAD tidak pernah cukup untuk membiayai Belanja Rutin, apalagi Belanja Pembangunan.

Ke-sangat-luasan “Kabupaten Indramayu” mungkin adalah sebab selama ini pembangunan Kabupaten Indramayu belum bisa menyentuh kepedalamannya. Banyak antar kampung yang hanya bisa dicapai dengan jalan setapak ketika musim kemarau. Beberapa desa warganya tidak berdaya harus berteriak “hamdallah” ketika pada musim hujan para kontraktor menyemai aspal di jalanan sampai akhirnya mengelupas dipanen ban-ban yang menginjaknya.

Tidak heran kalau di sebelah barat Sungai Cimanuk ada anekdot yang sangat menggelikan, bahwa orang buta dan tuli sekalipun akan segera tahu ketika mereka memasuki wilayah “Kabupaten Indramayu” itu.

Meniti hutan jati dari Buah Dua ke Ujung Jaya dan seterusnya, tanpa diberitahu telah menyeberangi Sungai Cikamurang sekalipun maka Bang Suli segera tahu kalau dia telah memasuki Indramayu. Apalagi kalau dibawa belok kiri menembus hutan jati menuju Pabrik Penyulingan Kayu Putih lewat jalan propinsi yang lebih layak disebut sebagai kubangan kerbau. Bang Suli dengan tanggap akan segera merasakan iklim aspal Indramayu ketika ke-ngelentrengan laju kendaraan yang ditumpangi dari Subang telah melewai jembatan panjang menjadi pembatas wilayah.

Sangat sulit dimengerti, tapi itulah kenyataan. Kualitas aspal atau pengerjaan dalam satu jalur jalan saja sudah berbeda. Berbagai pihak menuduhnya sebagai ketidak-adilan Pemerintah Propinsi Jawa Barat. Peng-anaktirian akibat perbedaan budaya yang sangat kentara. Banar tidaknya hal ini, perlu kajian lebih lanjut.

Dalih yang mungkin tepat adalah karena jalan jalan yang menembus Hutan Cikawung itu statusnya Jalan Propinsi. Namun ternyata Bang Suli akan lebih tahu lagi posisinya kalau pulang dari Bandung via Subang dan Bantarwaru menembus hutan sampai Cikandung atau bahkan belok kiri ke Sanca. Kondisi kedua jalan itu jauh lebih memprihatinkan sekalipun hampir setiap tahun diguyur anggaran perbaikan.

Jalan Kabupaten yang lain tidak berbeda nyata nasibnya, kecuali antara Larangan sampai Tugu via Lelea. Selain jalur itu, jangan harap bisa melaju dengan sedan ber-bemper rendah.

Akankah ketimpangan yang ada di sebelah barat juga merupakan wujud dari keanaktirian yang diterapkan pengambil kebijakan yang bermarkas di babadan Raden Aria Wiralodra ? Mudah-mudahan, tidak. Di sebelah timur Sungai Cimanuk pun banyak jalanan desa yang masih jauh dari layak untuk disebut jalan. Tidak jauh di belakang Kantor Bupati terdapat daerah yang lebih tepat disebut masih perawan kalau tidak disebut ketinggalan diantara kemajuan kota di dekatnya.

Mungkin yang diperlukan segera adalah pendekatan antara pengambil kebijakan dengan masyarakat yang juga merupakan stakeholders sekaligus penikmat pembangunan. Dimulai dari pemekaran-pemekaran wilayah terkecil sampai akhirnya bukan tidak mustahil terlahir “Kabupaten Indramayu” sesuai dengan pekarangan babakan Nyi Endang Darma ditambah tanah maskawin bangsawan Sumedang yang ditipunya mentah-mentah.

“Kabupaten Indramayu” tentu harus belajar dari Kabupaten Indramayu sekarang, namun tidak boleh mencontek atau bahkan menjiplak mati. Misalnya dalam hal tata-organisasi harus disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan serta menyelaraskan dengan kemampuan keuangan. Gedung-gedung dan perkantoran yang ada dimanfaatkan secara maksimal, tidak langsung membuat yang baru dan megah menawan. Itulah sebabnya harga pendirian “Kabupaten Indramayu” tidak perlu menyentuh triliunan rupiah sekalipun nilai perwujudannya jauh lebih tinggi dari pada Rp. 9 triliun !

Jabatan Wakil Bupati seperti yang diatur pada Pasal 56 UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah sungguh belum diperlukan “Kabupaten Indramayu”. Apalagi kalau jabatan politis itu diisi oleh seseorang yang semula harus rela jadi bahan pijakan jalan politis seorang Calon Bupati untuk mendapat dukungan dari golongan atau partai politik tertentu. Sehingga ketika mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati, dibalik kemesraan pasangan tersebut cenderung terjadi gontok-gontokan atau bahkan rontok-rontokan. Keadaan ini tentu saja sangat merugikan masyarakat “Kabupaten Indramayu”, selain pemborosan anggaran belanja rutin yang sangat banyak.

Badan Kepegawaian Daerah (BKD) merupakan prioritas utama yang harus ada dalam tatanan organisasi di “Kabupaten Indramayu”. Penempatan para karyawan sesuai dengan kemampuan, the right man on the right place, hanya akan terwujud apabila badan yang satu ini kuat dan independen.

Sekretariat DPRD memang sangat diperlukan, namun baik eselonering maupun besarnya organisasi diseseuaikan dengan kebutuhan. Dua lapis eselonering sudah cukup, urusan detail jadi tanggungjawab eselon IV, di atas mereka adalah Sekretaris Dewan.

Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) lebih diperlukan “Kabupaten Indramayu” yang baru lahir dari pada Badan Perencanaan Daerah (Bapeda). Tidak perlu meniru-niru Propinsi Jawa Barat karena memang tidak perlu. Mengurusi masalah pembangunan saja perlu sumberdaya yang sangat handal, apalagi kalau dibebani perencanaan rutin. Biarkan hal terakhir di-handle Bagian Keuangan di Sekretariat Daerah. Oleh karena itu Bappeda bukanlah Badan Pembuangan Pegawai Daerah yang berisi orang-orang afkiran dari Dinas/Instansi lain !

Dinas Kehutanan sangat diperlukan untuk membangun dan menghidupkan serta mengoptimalkan bidang kehutanan yang membentang luas sepanjang perbatasan di sebelah selatan. Demikian juga hutan bakau di daerah utara harus mendapatkan perhatian tersendiri sebelum abrasi mencabik Jalan Nasional yang sampai saat ini merupakan kebanggaan.

Sub Dinas Pariwisata pun jadi bagian penting untuk mengoptimalkan dayaguna wisata bahari dan pantai, wana wisata serta wisata spiritual. Oleh karena itu perlu ditempatkan pada posisi yang tepat, tidak harus bernaung di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan sehingga lebih sering harus sekolah lagi daripada mengerjakan tugas dan fungsinya secara optimal.

Sub Dinas Pendidikan Agama di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan bukan hanya tidak harus ada tetapi segala kerjaan dan meja serta personilnya dibiarkan cukup bermarkas di Kantor Departemen Agama yang masih merupakan instansi vertikal.

“Kabupaten Indramayu” mungkin belum perlu Kantor Informasi Penyuluh Pertanian (KIPP), sebab selain menambah beban keuangan daerah juga akan lebih bermanfaat kalau para penghuni kantor itu menjadi bagian tak terpisahkan dari Dinas Pertanian misalnya. Dulu memang KIPP merupakan sumber pemasukkan dana yang mengucur dari Direktorat Penyuluhan, di era otonomi daerah malah menjadi beban yang memberatkan.


Perusahaan Daerah perlu dikaji untung-ruginya, PD BPR yang membuyatak namun buraksantak dari segi per-bank-an tentu tidak perlu diperpanjang umurnya di “Kabupaten Indramayu”. Biarkan mekanisme ini menjadi jalan hidup pihak swasta, mereka berkompetisi untuk akhirnya muncul yang terbaik. Terunggul dalam pelayanan, terindah bagi nasabah dan ter-survive untuk masa depan para karyawannya. Adalah pelajaran yang sangat berharga mata kuliah PD BPR Kabupaten Indramayu, yang setiap tahun disuntik dana ini-itu namun tidak pernah tumbuh sehat atau bahkan makin rentan terhadap penyakit.

Lain halnya dengan PD Pasar, “Kabupaten Indramayu” tentu sangat mengharapkan kehadiran perusahaan ini untuk bisa menggali secara maksimal potensi pasar yang menghampar. Tentu saja sagat keliru kalau harapannya hanya mencukur rezeki pedagang yang sudah kepanjangan, service kepada mereka pun dapat semakin sesuai kebutuhan dengan makin dekatnya sumber pelayanan.

Peraturan Daerah yang paling mendesak di “Kabupaten Indramayu” adalah penertiban becak. Tidak usah mengulangi Kabupaten Indramayu yang ibukotanya harus lama mati menjelang senja. Bahkan bertahun-tahun lamanya, Sang Ibukota tidak terjamah angkutan kota yang murah meriah. Indramayu menjadi kota termahal di bidang transportasi karena kemana-mana harus dengan sopir pribadi, abang becak !

Sebagai wilayah baru yang harus mulai bergerak dari dasar maka para pejabatnya pun harus mau merangkak dari balik meja di perkantoran yang sederhana dengan hanya mendapatkan tunjangan jabatan sebagaimana ditetapkan secara nasional. Mereka tidak memperoleh Tunjangan Observasi, Tunjangan Penunjang Kegiatan atau sejenisnya yang besarnya tidak jauh beda atau bahkan lebih dari tunjangan jabatan. Juga tidak ada jatah untuk Tunjangan Daerah bagi staf dan karyawan lainnya. Karena bagi sebuah daerah otonom baru, pengeluaran semacam itu adalah pemborosan Belanja Rutin yang luar biasa besarnya.

Banyak daerah lain telah membuktikan bahwa tanpa pemberian penghasilan tambahan itu keefektifan tetap terjaga. Beberapa daerah yang memberikan pengeluaran rutin itu, kalau tidak disebut sebagai pemborosan, kinerjanya begitu-begitu juga. Kebocoran dana pembangunan tetap terjadi di sana-sini atau bahkan mejadi-jadi.

Mungkin hal ini terjadi karena adanya persepsi “uang isteri” dan “uang suami”. Gaji, tunjangan dan penghsilan lain yang sama-sama dinikmati pejabat selevel atau tertera pada tanda terima resmi dan diterima secara rutin adalah “uang isteri”. Sedangkan “uang suami” adalah penerimaan lain-lain dan tentu saja bisa untuk belanja lain-lain serta dihasilkan dari sumber lain-lain. Oleh karena itu pemberian tambahan tunjangan pada akhirnya tidak juga berinteraksi positif terhadap kinerja dan tetap selaras dengan kebocoran dana lain-lain.

Perguruan Tinggi merupakan lembaga pendidikan yang sudah sangat mendesak. Namun keberadaanya bukanlah sebagai pencetak ijazah dengan berbagai programnya mulai dari kelas reguler, extension sampai hanya action-action-an. Kontrol terhadap kualitas lulusan sangat diperlukan agar mutu mereka tidak sebatas atas-kuali ! Bukan juga sarjana siap pakai yang bila selesai dipakai harus dibuang di tong sampah.

Lembaga Pendidikan Pasca Sekolah Menengah “Endang Darma Ayu” tidak langsung ujug-ujug jadi sebuah universitas dengan berbagai fakultas dan berjibun jurusan tetapi berkiprah sebagai penyiap para lulusan Sekolah Menengah yang karena keterbatasan modal keintelektualannya belum bisa lulus UMPTN. Pembekalan dan pemantapan baik dari segi pelajaran maupun arah dan tujuan jurusan yang disesuaikan dengan minat dan kemampuan, agar setelah lulus dari perguruan tinggi tidak menjadi sarjana bermental tinggi yang bisa menggerogoti atau hanya lincah menyelinap di ketek bantal dan kasur.

Lulusan perguruan tinggi favorit yang dihantar atau yang langsung diterima merupakan modal dasar terbentuknya Universitas Endang Darma Ayu. Jumlah fakultas dan jurusan benar-benar disesuaikan dengan kemampuan sumberdaya yang ada, kebutuhan lulusan keahlian tertentu yang belum bisa ditanggulangi diserahkan kepada yang sudah layak. Hanya ada satu program kuliah, reguler ! Tidak pernah terbesit untuk membuka program extension kalau akhirnya hanya akan meluluskan sarjana aksen yang jauh dari siap action. Cita-cita terakhirnya bukanlah menjadi universitas massal yang mencetak intelektual dengan cap “asal” apalagi pencetak pemegang ijazah “aspal”.

“Kabupaten Indramayu” bukanlah tandingan Kabupaten Indramayu, bukan juga mitra karena memang sampai sekarang belum ada. Namun “Kabupaten Indramayu” adalah wahana tilik-tilikan dan intip-intipan bagi Kabupaten Indramayu untuk menggapai kesejahteraan yang dulu pernah ditinggalkan dan harus segera diraih kembali sebagaimana diamanatkan Raden Aria Wiralodra, “Indramayu Mulih Harja”.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

OTONOMI DAERAH TUKANG SATE

.... Sewindu lalu, tulisan ini dimuat di RADAR Cirebon ....


Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, sudah sejak zaman penjajahan Belanda wewenang ini sudah pernah diatur. Demikian juga ketika Jepang berkuasa seumur jagung sampai akhirnya Indonesia menikmati dan mengisi kemerdekaan. Kesemuanya merupakan proses yang berkesinambungan dan menunjukkan adanya keinginan untuk melaksanakan desentralisasi yang rasional dan setapak demi setapak mengarah kepada moderernisasi pemerintahan dan administrasi negara.

Namun, sampai umur republik ini menembus angka emas ternyata otonomi daerah hanya selalu berkutat di perpustakaan dan lembaga pengkajian. Untuk menetapkan prioritas pembangunan saja selalu terjadi gotot-gototan. Memang tidak pernah ada akhir untuk belajar, tetapi ada saatnya untuk penerapan sehingga otonomi yang di-koar-kan bukan terus jadi wacana yang lama kelamaan akan menjadi bencana.


Otonomi di Zaman Penjajahan

Dua penjajah yang pernah menguasai Nusantara memperkenalkan otonomi dalam kekuasaannya. Seabad lalu, di Hindia Belanda berlaku Decentralisatie Wet 1903 yang kemudian diundangkan sebagai Ordonansi Dewan-Dewan Daerah (Locale Raden Ordonantie) dalam Lembaran Negara (Staatblad) 1905 No. 181.

Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut hanyalah pelengkap penderita, karena yang diterapkan justeru lebih berbau sentralistik. Oleh karena itu setelah hampir dua dekade hanya menjadi bahan kajian, undang-undang itupun diganti dengan Bestuurshervormingswet 1922 dengan peraturan pelaksanaannya berupa Province Ordonantie yang memuat ketentuan tentang pembentukan daerah otonom propinsi, Regenschaps Ordonantie yang mengatur pembentukan daerah otonom kabupaten dan Stadsgementee tentang pembentukan daeraj otonom kotapraja di Jawa dan Madura.

Ketika Nippon mendarat, maka berdasarkan peraturan yang berlaku saat itu, yaitu Peraturan Pemerintah Pendudukan Jepang, Osamu Sirei No. 27 tahun 2602 (1942), pulau Jawa dibagi dalam beberapa keresidenan. Pemerintahan di bawah keresidenan adalah Kotapraja dan Kabupaten. Kabupaten terdiri dari beberapa Kecamatan dan selanjutnya terbagi dalam desa/kelurahan. Dengan demikian jabatan Gubernur dihapuskan karena tidak ada lagi pemerintahan propinsi.

Ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kedua kolonial ini, yaitu bahwa undang-undang yang telalui perdebatan panjang lebar sekalipun lebih layak masuk rak perpustakaan dan bila kekuasaan pada suatu pemerintahan berganti maka yang terbaik adalah mengganti undang-undang buatan pendahulunya sama sekali.

Lika-liku Otonomi Daerah di Negara Merdeka

Berselang jam setelah proklamasi dikumandangkan, para Pendiri Bangsa pun memproklamasikan ketentuan yang mengatur pemerintahan daerah sebagaimana terdapat pada Pasal 18 UUD 1945.

Sehari setelah UUD 1945 ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengeluarkan ketetapan bahwa untuk sementara NKRI terbagi dalam 8 propinsi. Daerah propinsi dibagi menjadi beberapa Keresidenan. Kedudukan Kota, Daerah Swapraja dan sebagainya masih diberlakukan untuk sementara waktu. Bila ditarik dengan zaman sebelumnya, maka pembagian wilayah ini merupakan kombinasi dari tinggalan Belanda dan Jepang.

Namun 3 bulan kemudian, dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 maka sebelum pemerintah propinsi menjalankan tugas dan fungsinya atau bahkan berbenah diri, keberadaannya pun dihapus. Sebagai Daerah Tingkat I adalah Keresidenan dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.

Upaya peniadaan propinsi sebagai daerah otonom adalah sejalan dengan Konsepsi Hatta yang menyatakan bahwa, “Institut propinsi otonom itu adalah semata-mata bikinan pemerintah negeri Belanda. Dan dengan tidak berpikir panjang, kita telah meneruskan saja ciptaan Belanda itu. Akan tetapi walaupun bikinan Pemerintah Belanda, kalau ia ternyata baik, tiada halangan untuk kita teruskan. Tidak demikian halnya dengan institut propinsi otonom.”

Namun pada perkembangannnya, upaya penyempurnaan desentralisasi dan otonomi daerah semakin jauh dari konsepsi yang dilontarkan Bung Hatta. Ironisnya, saat itu beliau masih duduk di kursi Wakil Presiden mendampingi Bung Karno. UU No. 1 Tahun 1945 pun digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang pada pasal 1 ayat (1) dari undang-undang tersebut menyatakan dengan tegas adanya 3 tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil), Nagari, Marga, dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri.

Jadi menurut undang-undang ini Desa disejajarkan dengan Kota Kecil sebagai Derah Tingkat III di bawah Propinsi dan Kabupaten atau Kota Besar yang masing-masing sebagai Daerah Tingkat I dan II.

Ketika Republik Indonesia menjadikan UUDS 1950 yang menganut faham liberalisme sebagai landasan materiil maka undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru pun diberlakukan. UU No. 1 Tahun 1957 ini masih membagi wilayah NKRI menjadi 3 tingkatan daerah otonom, yaitu : Daerah Tingkat ke-I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya; daerah Tingkat ke-II, termasuk Kotapraja dan Daerah Tingkat ke-III.

Sekalipun tidak ditegaskan bahwa Daerah Tingkat ke-III yang dimaksud adalah Desa seperti UU yang digantikannya namun dari memori penjelasan umumnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Daerah Tingkat ke-III itu adalah Desa atau kesatuan masyarakat hukum sejenis dengan nama lain (Sujamto, 1984).

Suasana hati Bung Hatta tentu risau dengan hal ini sehingga menuangkannya dalam tulisan berjudul Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957 sebagaimana dikutip The Liang Gie, 1971 dalam Sujamto, 1984), “Apabila susunan otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan mengurus terlalu banyak tersangkut di atas dan sedikit yang sampai ke bawah. Dalam ketentuan yang semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat daripada otonomi itu akan terletak di propinsi. Dalam keadaan semacam ini otonomi kabupaten bisa terjepit. Lambat-laun orang di daerah memandang propinsi itu sebagai suatu konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya menjadi propinsi tersendiri.”

Dengan berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka dipandang perlu mengadakan perubahan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dengan mengganti undang-undang tersebut, terutama untuk menghilangkan kelemahan-kelemahannya dan menyesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang akhirnya melahirkan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana undang-undang sebelumnya maka UU No. 18 Tahun 1965 ini pun menganut adanya 3 tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah ingkat II dan Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.

Untuk mempersiapkan terbentuknya Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III maka diterbitkan juga UU No. 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun sampai akhir hayatnya, undang-undang ini tidak pernah terlaksana sama sekali.

Seiring dengan perubahan iklim politik ke pemerintahan Soeharto, maka undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah yang baru pun diberlakukan. Prinsip otonomi seluas-luasnya yang selama ini dianut oleh UU tentang pemerintahan daerah sebelumnya dihapus begitu saja dan digantikannya dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.

Dari sudut politis, mudah dipahami bahwa perubahan prinsip dan orientasi yang terlihat dari UU No. 18 tahun 1965 ke UU No. 5 Tahun 1974 tersebut akan menempatkan azas desentralisasi dan otonomi daerah pada posisi yang dipandang tidak akan membahayakan keutuhan Negara Kesatuan, yang berdasarkan UUD 1945 dengan doktrin Wawasan Nusantara (Pamudji, 1990).

UU No. 5 Tahun 1974 juga menganut 2 tingkatan daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sebutan Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan itu bukanlah daerah otonom, akan tetapi sebutan untuk wilayah administratif. Otonomi daerah pun dititikberatkan di Daerah Tingkat II.

Namun apa mau dikata, sampai seperempat abad berlakunya undang-undang ini otonomi daerah seperti yang diharapkan masih sangat jauh dari tercapai. Ketergantungan terhadap pemerintah pusat sedemikian besar, terutama dalam hal dana. Demikian juga kekhawatiran yang pernah disinyalir Bung Hatta benar-benar terjadi. Otonomi di Daerah Tingkat II hanyalah sebuah wacana yang dalam pelaksanaannya terjepit belas kasih Daerah Tingkat I.

Ketika gelombang reformasi bergulir, impian otonomi luas kembali bergelora. Pemerintahan Habibie menjawabnya dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Korbannya tidak tanggung-tanggung, Timor-Timur yang dibesarkan dengan dana triliunan rupiah dan dilindungi dengan ribuan nyawa akhirnya berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka !

Ibu Pertiwi menangis namun cakaran di tubuhnya tidak juga usai. Aceh minta otonomi khusus demikian juga Papua, hak dan kewajiban pun lebih leluasa daripada kedudukan Timor-Timur sebagaimana tercantum pada Aturan Peralihan UU No. 22 Tahun 1999. Kalau sudah demikian, dapat diduga kelanjutannya.

Efek dari pemberlakuan otonomi daerah saat ini sedemikian terasa, bukan pada kemajuan daerah seperti yang diharapkan tetapi pada fanatisme yang menuju jurang perpecahan. Pemerintah Kabupaten dan Kota sedang dapat angin kemenangan sementara propinsi seakan dipandang sebelah mata.

Tidak heran kalau pada akhirnya para Gubernur sakit gigi dan berusaha dengan berbagai cara mengobatinya. Demikian juga para Bupati dan Walikota tidak akan rela giginya yang kuat dan sehat dicabut begitu saja. Oleh karena itu, ketika isyu revisi UU No. 22 tahun 1999 digulirkan maka kecurigaan diarahkan kepada Gubernur yang ingin kembali mencakarkan kukunya.

Sudah dapat dipastikan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 akan bernasib sama dengan para pendahulunya. Meratap sedih menyaksikan tangan dan kakinya bergentayangan tak terkontrol, menunggu ajal.

Ternyata lebih dari setengah abad para negarawan Indonesia merdeka ini mengambil mata kuliah otonomi, tidak juga lulus baik ujian lokal apalagi ujian negaranya. Entah sampai mereka harus terus tekun di atas meja sekalipun tidak pernah lulus ujian apalagi menerapkan ilmu yang diperoleh.


Penutup

Dalam dunia tukang sate, undang-undang yang mengatur otonomi daerah ibarat arang yang membara, negeri yang dibangunnya diibaratkan daging yang tertusuk lidi dan para tukang sate merupakan pelaku penentu lezatnya sate yang dihasilkan.

Pemerintahan Orde Lama yang harus berhadapan dengan berbagai intrik adalah bara api pemanggangan yang secara bergantian disiram bensin, solar, minyak tanah dan sebangsanya. Daging yang di atasnya bukan hanya kepanasan tetapi juga keasapan. Tukang sate terus membolak-balik tusukan tetapi sate yang dipanggang sulit mencapai matang, tetap mentah, hanya warna dan baunya yang berubah. Mereka yang berkeyakinan bahwa sate setengah matang ini bisa membangkitkan gairah pun sulit untuk bisa menyantapnya.

Belajar dari kegagalan pendahulunya, Orde Baru memasang langseng di atas perapian. Api membara, air di langseng mendidih dan daging sate pun matang. Enak rasanya, bisa dinikmati mulai oleh rakyat kecil sampai pejabat. Tapi tetap bukan sate seperti yang diharapkan, tidak ada rasa gosong bekas terlalap api. Hanya daging kukusan !

Euphoria reformasi adalah angin yang kencang bertiup, arang makin membara. Tukang sate kebingungan, api melahap daging yang teriak minta dibalik. Menyantap lidi yang sudah menghitam. Sate yang dihasilkan kelewat matang bahkan terlalu naif untuk masih dapat disebut sebagai sate. Tikus lapar pun sudah tidak bergiming, bau dagingnya saja sudah lenyap. Bagaimana bisa disebut sate ?

Pemerintahan Megawati pun tidak sanggup menjadi tukang sate yang baik, bahkan hendak balik ke teknik kukus warisan Putera Kemusu.

Ternyata proses pembelajaran yang sudah teramat panjang ini masih belum bisa menjadikan impian arang membara tertiup hempasan kipas membakar minyak daging yang menggelora, sedangkan tukang sate membolak-baliknya dengan sabar dan telaten. Sate yang nikmat disantap siapa pun yang berkenan.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH