Selasa, 01 Juni 2010

BAHAYA UREA UNTUK TERNAK

Tahun 1980-an, ketika pemerintah mengimpor sapi perah secara besar-besaran, negeri subur makmur gemah ripah loh jinawi ini pun merasa kekurangan rumput berkualitas. Alternatif termudah yang ditempuh saat itu adalah “meningkatkan” kualitas jerami padi yang secara kuantitas ketersediaannya tidak pernah kekurangan, dengan teknologi yang dikenal sebagai urease ataupun amoniase.

Penulis lebih memilih istilah urease karena di Indonesia, untuk melakukan amoniase pun cara mendapatkan amoniak yang paling mudah adalah dengan memperlakukan panas dan tekanan tertentu terhadap larutan urea sebagaimana ditemukan nutrisionis Jerman Bergner (1974) ataupun yang dilakukan Van der Merme (1976) di Afrika Selatan.

Urease yang diperkenalkan merupakan proses pengolahan jerami padi menjadi hijauan berkualitas untuk pakan sapi perah dengan menggunakan urea (yang oleh kebanyakan masyarakat Indonesia hanya digunakan untuk tanaman). Urea dicampur air dengan perbandingan tertentu, disiramkan ke jerami yang sudah disusun kemudian ditutup plastik kedap udara selama waktu tertentu (metode Dolberg, 1981). Alternatif lain adalah dengan memberi panas dan tekanan tertentu sehingga larutan urea menguapkan gas amoniak, uapnya yang berbau sengak diserap oleh tumpukan jerami padi di sekelilngnya. Proses ini dilakukan dalam kontainer kedap udara (metode yang dilakukan Bergner dan Van der Merme serta diperbaiki pada tahun 1981 oleh Coredesse).

Peternak sapi perah pun dibekali ilmu “ghaib” untuk menyulap jerami padi yang semula hanya hangus dibakar di pesawahan menjadi pengganti rumput hijau yang semakin sulit diperoleh. Tidak lupa kontainer pun dikirimkan kepada koperasi peternak sapi perah. Dengan berbagai upaya tersebut, kiranya pemerintah makin optimis bahwa dalam beberapa tahun setelah itu imbangan antara susu impor dan produk dalam negeri mencapai 50 : 50.

Para peternak sapi perah sangat antusias mempraktekan ilmu barunya. Pakan hijauan tidak akan ada masalah lagi ketersediaannya sepanjang musim. Namun, ketika hijauan berkualitas hasil urease ini diberikan kepada sapi yang sedang laktasi maka produksi susunya tiba-tiba berkurang. Makin hari makin sedikit sampai beberapa dinataranya harus berhenti sebelum masa kering tiba.

Jerami padi berkualitas tinggi juga dengan bangga mereka diberikan kepada sapi jantan yang sedang digemukan (fattening). Sapi-sapi jantan FH yang sedang dalam proses akhir pemeliharaan penggemukan pun beberapa diantaranya menemui ajal setelah beberapa hari urinenya kuning kemerahan sampai benar-benar keluar darah segar.

H. Abdoeri (almarhum) yang waktu itu menjabat sebagai ketua GKSI Cirebon pun segera menghentikan penerapan teknologi baru tersebut. Urease ternyata tidak seindah hasil penelitian Dr. Ir. Abdel Komar di Perancis. Bagusnya kesimpulan hasil riset di laboratorium ternyata berakibat fatal setelah diterapkan begitu saja di lapangan.

Atep, seorang peternak sapi perah di Desa Sukasari Kecamatan Pangalengan pun mengalami nasib serupa. Pada awal tahun 1990-an, anggota KPBS tersebut hanya bisa mengurut dada ketika beberapa ekor sapi laktasi andalannnya tiba-tiba produksi susunya turun drastis. Salah satunya bahkan sakit-sakitan dan terpaksa ditolong Pak Jagal. Saat itu, sapi perahnya mendapatkan awetan hijauan berprotein tinggi, silase jagung yang dibuat dengan tambahan larutan urea.

Kejadian belum lama pun terjadi di peternakan domba milik pesantren, Peternakan Domba Al-Mustaghfirun Desa Jatimulya Kecamatan Terisi Kabupaten Indramayu. Lebih dari 35 % domba yang dipeliharanya terkapar secara bertahap setelah penggunaan UMB selama 2 – 6 bulan, 75 ekor harus menemui ajal dari total populasi 200 ekor. Ahmad Syifa, teknisi yang menangani peternakan tersebut mengatakan bahwa gejala yang muncul diare akut, bahkan disertai dengan perdarahan. Kalau sudah demikian, maka paling lambat 4 hari kemudian harus dikebumikan di liang lahat masal.

Jauh-jauh sebelum praktek-praktek mematikan itu berlangsung menelan banyak korban, para mahasiswa Fakultas Peternakan IPB selalu mendapat perhatian agar terjebak dalam masalah karena tertipu oleh nutrisi semu. Hasil penelitian laboratorium, selalu dan akan selalu menghasilkan adanya perbaikan nitrisi terhadap bahan makanan ternak yang diberi larutan urea.

Protein, nutrisi terpenting dan relatif mahal ini menjadi begitu murah dan mudah didapat dengan pemberian urea. Bahan pakan pun secara laboratorium menunjukkan berbagai perbaikan. Serat kasar yang sulit dicerna rumen pun menjadi lebih bisa bermanfaat setelah melalui proses urease.

Hasil penelitian pengolahan jerami padi IR 38 dengan pemberian urea 4 % bukan hanya meningkatkan protein kasar secara drastis tetapi juga meningkatkan daya cernanya 50 % lebih baik, serat kasar bahkan menunjukan perbaikan daya cernanya lebih dari itu. Perbaikan juga terjadi pada daya cerna bahan kering dan bahan organik. (Komar, A, 1984 : 51).

Sekali lagi, mahasiswa mendapatkan amanat yang harus dipegang teguh bahwa sekalipun hasil kerja di laboratorium menunjukkan berbagai keindahan tetapi harus hati-hati dalam penerapannya di lapangan. Penggunaan protein semu tersebut telah menunjukkan berbagai bahaya. Misalnya, sapi laktasi tiba-tiba turun drastis produksinya, menyebabkan kemandulan, dan lain-lainnya. Masalah sosial-budaya peternak yang tidak setinggi manusia laboratorium memperparah keadaan, angka kematian tidak dapat dihindarkan.

Sejalan dengan bekal dari Kampus Rakyat, seorang nutrisionit dari Kansas University, Profesor Keith Bolsen, pada awal tahun 1990-an mengatakan bahwa, “Penggunaan urea untuk ternak, dengan metode dan cara apapun, lebih banyak kerugiannya daripada manfaatnya.”

Bila ditarik garis merah ke masa lalu, Penulis menemukan sebuah buku kecil yang sangat berharga tentang penggunaan urea pada peternakan di Amerika Serikat. Tidak tanggung-tanggung, terbitan 1918, sama dengan terjadinya Perang Dunia Pertama. Ternyata, sejak awal abad ke-20 atau bahkan abad sebelumnya, urea sudah lazim digunakan disana sebagai bagian penting dalam proses pengawetan hijauan, khususnya silase.

Buku kuno itu menjelaskan tentang berbagai aplikasi pengunaan urea dalam berbagai kadar terhadap berat badan sapi potong penggemukan. Juga terdapat berbagai informasi lain yang masih mengagungkan penghematan biaya produksi yang diperoleh dengan pemberian hasil urease ini.

Dikaitkan dengan pendapat Profesor Keith Bolsen di atas, maka diantara awal abad dan menjelang akhir abad ke-20 ini tentu ada perkembangan hasil penelitian dan penerepan penggunaan urea dalam pakan ternak di Negeri Paman Sam. Dapat dipastikan bahwa perkembangannya negatif, oleh karena itu di sana tidak lagi disarankan.

Ironisnya, banyak ahli nutrisi Indonesia, yang menggembar-gemborkan kehebatan urea sebagai sumber nutrisi dan bahkan bisa memperbaiki nutrisi pakan ternak. Para ahli lulusan dalam dan luar negeri itu tetap pada pendiriannya sekalipun di hadapan matanya banyak korban bergelimpangan. Mungkin mereka tidak menyadari bahwa ternak yang meregang nyawa tesebut adalah efek negatif dari formula yang di benaknya akan melejitkan pertumbuhan dan produksi ternak yang mengkonsumsinya. Kejadian ini bukan hanya terjadi pada ternak milik masyarakat awan tetapi juga terjadi di berbagai balai penelitian yang semestinya menjadi tempat berguru masyarakat dan praktisi serta ahli.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar