Selasa, 01 Juni 2010

ANTRI

Lebih dari 10 tahun lalu saya menulis untuk KABA LUHAK NAN TUO, tabloid milik Pemda Kabupaten Tanah Datar – Sumatera Barat. Aktivitas itu, saya bawa ketika pindah ke Indramayu. Sekalipun proposal yang saya ajukan dapat penolakan dan tantangan, akhirnya saya bangga ketika beberapa tahun kemudian “melihat dan dapat menjadi saksi” bahwa Pemda Kabupaten Indramayu berhasil menerbitkan tabloid yang secara fisik persis sama dengan tabloid kesayangan kami dulu ….
Sebagian tulisan penuh kenangan itu saya coba nukil di sini, mohon maaf kalau masih banyak menggunakan koso-kata urang awak alias dialek Minang. Selamat turut mengenang ….

A N T R I

Ibuk Maimunah, isteri Bapak Harun Al Rasyid yang mantan Bupati kabupaten Dati II Tanah Datar zaman pergolakan dulu, pernah menceritakan tentang kecanduannya berbelanja di sebuah took yang sama sekali bukan milik urang awak.
“Baru di pintu, pelayannya sudah menghampiri dan menyapa sopan.” Beliau memulai pembicaraan, “Atau kalau mereka semua sibuk dengan pembeli yang lain maka si-empunyanya terjun langsung. Dengan sabar pula melayani sesuai kebutuhan dan tidak mengeluh, apalagi marah karena sudah direpotkan.”
Dilain pihak, Bundo Kanduang itu juga punya pengalaman yang sangat sulit dilupakannya saat berbelanja di Pasar Kampung Jawa (tentu saja tidak ada di peta Pulau Jawa !), tepatnya di sekitar Matahari Departemen Store – Padang.
Ketika itu beliau datang ke sebuah took busana, tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda yang ada di took itu ada perhatian, sekalipun mereka sesungguhnya seorang pelayan. Terus sahut-sahutan satu sama lain. Ketika ditanyakan harga sebuah barang, salah satu diantara mereka langsung menghampiri. Tetapi, sebelum sebuah katapun terucap, masuklah seorang gadis dan segenap perhatian para pelayan pun tertuju kepadanya. Sama sekali tidak peduli calon pembeli yang sudah sedari tadi menunggu jawaban. Pada saat itu juga beliau hengkang dengan penuh kesal dan bersumpah untuk tidak datang lagi ke took itu !
Dari pengalaman di atas dapat ditarik sebuah pelajaran, perlunya pelayanan yang baik bagi setiap konsumen. Salah satu strategi yang dapat ditempuh adalah menerapkan budaya antri. Antri dapat dikaitkan dengan menunggu, sebuah pekerjaan yang sangat membosankan seperti kata pepatah.
Namun demikian ada juga yang tidak mau antri gara-gara poster MINOLTA yang menggambarkan “Antri Dooooong”- nya dengan DOD (Day-Old-Duck), anak bebek umur sehari yang berduyun-duyun.
Pelayanan merupakan unsure utama yang sangat menentukan dalam keberhasilan suatu usaha di bidang barang ataupun jasa. Sebab dari pelayanan itulah mereka hidup . Dengan kata lain, pelayanan adalah nyawa mereka yang sesungguhnya.
Adegium lama selalu mengingatkan, konsumen adalah raja. Hal ini tidak hanya berlaku bagi dunia usaha tetapi juga dalam pemerintahan yang merupakan pelayan bagi masyarakat. Dalam hal jual beli seperti cerita di atas maka rajanya adalah pembeli, sementara dalam pelayanan kepada masyarakat maka yang menjadi the king of the king adalah rakyat !
Namun demikian, dalalam kehidupan sehari-hari malah terjadi sebaliknya. Penjual buah-buahan di Pasar Batusangkar misalnya, tidak jarang mengumpat dengan kata-kata tak sedap kepada calon pembeli yang menawar barang dagangannya yang dihargakan mereka setinggi langit. Demikian juga oknum aparat, masih terlalu banyak yang masih rela mengombang-ambingkan dalam melayani masyarakat agar dianggap orang penting.
Padahal di era Otonomi Daerah yang dititikberatkan di daerah Tingkat II maka pelayanan kepada masyarakat harus sebaik mungkin untuk dapat mendongkrak PAD. (Catatan: Kabupaten Dati II Tanah Datar merupakan Kabupaten/Kota Otonomi Daerah Percontohan terbaik di negeri ini, jadi ketika tulisan ini dibuat (Juli 1999) sudah beberapa tahun menjalankan otonomi daerah).
Sehingga sangat ketinggalan zaman kalau masih berpedoman pada istilah “Kalau bisa dipersulit, mengapa dipermudah ?” Jika masih memegang adegium lama seperti itu, jangan harap bisa melayani masyarakat secara memuaskan. Tragisnya, kadang-kadang, kalau tidak dibilang –betapa sering, urusan sesame korps pun masih di bawah garis kepuasan.
Oleh karena itu, sudah saatnya adegium lama itu diputar-kata menjadi kalimat yang sangat mudah diucapkan tetapi teramat sulit dilakukan “Kalau bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit ?”
Pelayanan sector swasta sering diagungkan pun banyak dijumpai kejadian yang tidak seindah gaungnya. Padahal seperti dikemukakan di atas, kehidupan mereka tergantung pada pelayanan yang diberikan. Misalnya, antrian pengambilan gaji di sebuah bank swasta ternyata lebih menyiksa daripada rangkaian panjang pembayaran rekening listrik di Kota Budaya ini.
Sebab utamanya adalah pelayanan yang dikaitkan dengan budaya antri. Kalaulah yang datang duluan harus ngantuk dulu di kursi tunggu dan mimpi sudah sampai ke rumah dengan membawa uang bulanan, lumrah saja, mengingat banyaknya nasabah. Tetapi, kalau saat yang sama, tiba-tiba ada beberapa orang yang baru datang, dapat pelayanan langsung ekstra cepat, mereka segera hengkang membawa harapan. Sungguh luar biasa !
Apalagi tidak jarang kuliah terbuka yang sangat memalukan biasa digelar, materinya yang itu-itu juga, “Nasabah membludak, bukan hanya Saudara yang kami layani !” Sebuah ucapan yang semestinya diiringi istighfar, mereka keberatan dengan banyaknya nasabah.
Jadi tidak selalu pelayanan swasta yang sering diharapkan orang sebagai pelarian dari birokrasi yang sering dianggap terlalu panjang-lebarnterkadang lebih menjengkelkan.
Belum lama ini ada nasehat yang dilontarkan Profesor Emil Salim kepada seorang perantau dari seberang yang merasa tertekan dengan perbedaan pelayanan tukang sayur di komplek tempatnya tinggal antara kepada urang awak dengan pendatang, “Kalau mau bisa hidup di sini, belajarlah cara mencerca seperti orang di sini. Sangat menusuk hati, bagi yang mengerti.”
Namun untuk kondisi sekarang, di saat globalisasi akan datang menjelang, dimana persaingan akan berjalan sebagaimana hokum pasar yang tidak akan lepas dari pelayanan, maka petuah Begawan Muda Ekonomi itu sangat tidak realistis, kecualikalau yang sedang kita tuju adalah zaman gombalisasi. Konsumen yang kena caruik akan dapat dengan mudah lari ke pelukan Si Ramah. Lebih parahnya, mereka pun akan menjadi agen promosi kebobrokan yang sangat ampuh.
Antri adalah bagian kecil dari pelayanan, bukan harga mati karena masih banyak aspek pelayanan yang lain. Tetapi antri merupakan barang antik, gratis tetapi sangat tak ternilai harganya. Senilai dengan senyum pramugari Garuda yang sering mendapat kritik dari banyak wisatawan asing, agar mereka ikut kursus senyum, karena sesungguhnya mereka berasal dari sebuah negeri yang terkenal murah senyum !

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar