Selasa, 29 Juni 2010

KITA SEMUA KORUPTOR ?

Lebih dari dua dasa warsa yang lalu kami turut menulis di Majalah Islam Mingguan KIBLAT tentang korupsi yang mulai dilirik. Berbagai pihak mulai sadar bahwa kebobrokan mental yang sudah sekian lama mencengkeram perlu segera dibuka dan diatasi sedini mungkin.
Berbagai resep dikemukakan, mulai dari segi penegakan hukum sampai nilai spiritual. Namun hasilnya, seperti biasa, semua lenyap begitu saja.
Pada masa kejayaan Orde Baru, upaya penjagalan koruptor sering sekedar opini atau bahkan menjadi anekdot yang menggelikan. Apalagi masih sangat sedikit yang berani mengungkapkannya sebagai konsumsi publik sekalipun.
Maklum, korupsi identik dengan pemerintahan khususnya pegawai negeri. Jaring korupsi meniti mulai dari jajaran tukang sapu dan pengibas debu, barisan birokrasi terendah sampai puncak eselonering. Pada akhirnya menuju ke pusat pemerintahan, Istana Negara. Saat itu, kalau ada pegawai negeri yang tidak ikut menikmati manisnya korupsi adalah oknum. Namun kekuatan pusat kekuasaan menyebabkan mereka aman-aman saja.
Lima tahun kemudian, sorotan terhadap korupsi semakin gencar. Seperti bisa diduga, para kroco mulai dikambing-hitamkan. Lagi-lagi pihak teratas tetap aman dan kembali terlena dalam persembunyiannya di balik kursi jabatan. Lupa bahwa ketika Pak Balok menyantap rel keretaapi maka Sang Jenderal Kancil pun pasti dapat cemilan baja. Tidak juga ingat kalau pada akhirnya para bawahan tidak akan tinggal diam, terutama setelah tahu penderitaan disihir menjadi kambing-hitam.
Pada tahun 1997, sepuluh tahun setelah tulisan kami berlalu, krisis ekonomi membuat pucuk pimpinan mulai digoyang. Korupsi menjadi isyu sentral terdepan dengan mengajak kedua saudara kandungnya, kolusi dan nepotisme. Mahasiswa dan LSM yang dari semula menjadikan korupsi sebagai wacana mulai berani merubahnya menjadi pencongkel. Tidak tanggung-tanggung, pada akhirnya penguasa Orde Baru yang tiga puluhan tahun bercokol di Istana Negara harus rela pergi dengan tidak terhormat.
Lenyapnya kekuasaan Orde Baru ternyata tidak identik dengan hilangnya kasus korupsi. Krisis kepercayaan terhadap penguasa malah berbuah berbagai krisis yang lain. Krisis ekonomi pun makin menjepit di bawah timbunan krisis baru yang menguntit.
Penderitaan masyarakat diiklankan dan masuk bursa saham. Bank Dunia pun dengan senang hati melegonya dengan harga murah meriah. Kemudian lahir berbagai program dengan tujuan yang amat mulia untuk dikatakan produk manusia, namanya Jaring Pengaman Sosial (JPS) atawa dalam bahasa nenek moyang mereka Social Safety Net (SSN). Saku dan kantong mulai tertolong. Penduduk miskin dapat tetesan sebagai haknya. LSM dan mahasiswa yang dulu nyeruduk dan vokal memperoleh bagian sebagai Tenaga Pendamping atau Konsultan Manajemen atau Tenaga Ahli atau sebutan intelek lainnya. Ekonomi membaik dalam batas diantara dua tanda kutip (ditulis : “Ekonomi Membaik”).
Pertanyaan yang masih terus menggelayut adalah, “Sudahkah korupsi berakhir ?”
Ternyata tidak, Indonesia makin kokoh pada posisinya sebagai negara terkorup. Melebihi India, dan di atas negara paling korup yang lain. Teratas dalam kuanitas dan jauh meningkat dari sisi kualitas. Para penggusur penguasa lama yang dinilainya korup pun turut menikmati renyahnya kue korupsi. Sedangkan mantan pejabat yang kelewat korup menjadi sangat aman setelah menutupi celanya dengan taburan ang paw berdalih uang saku dari hasil korupsi yang baru.
Korupsi bukan lagi milik pegawai negeri, tetapi juga masyarakat luas termasuk komponen mahasiswa sekalipun. Mereka bisa tertawa berbahak-bahak setelah aktif atau mendirikan LSM dengan kegiatan utama mesam-mesem.
Namun demikian, upaya peneriakan korupsi terus berlanjut. Banyak maling yang teriak maling, lebih banyak lagi yang menjerit karena tidak kebagian. Hasilnya tidak terlalu mengecewakan, sampai tahun 2002 ini beberapa dedengkot koruptor mulai dicongkel. Bukan hanya karena status kepegawai-negerian mereka, pengusaha dan politisi yang sering andil juga mulai diciduk. Koruptor kelas kakap lain, kasak-kusuk menghindari giliran.
Hasilnya tidak tanggung-tanggung, setelah mengitari rumitnya rimba raya, akhirnya rakit kayu gelondongan yang membawa Menteri Kehutanan Bagian Lapangan Haji Muhammad Bob Hassan terombang-ambing arus ganas Laut Selatan sebelum nyangsang (terdampar) di Pulau Nusa Kambangan. Dalam kasus yang lain, kepiawaian Abdul Gaffur main Tarzan-tarzanan bergelayutan dari satu akar beringin ke lain pohon pun pernah nyangkut di Rumah Tahanan. Sementara Rahardi Ramelan pun tidak mau sendirian menghitung hari di balik jeruji.
Makin jelas harapan bahwa segala jenis korupsi harus berakhir tahun 2003 ! Berbagai upaya sudah dirintis, Undang-undang Anti Korupsi digelindingkan. Pemberantasan korupsi akan makin cepat membuahkan hasil. Jangankan korupsi yang bernilai milyaran rupiah, korupsi waktu pun akan segera sirna dari negeri ini.
Namun sesungguhnya pada tahun 2003 itu, generasi muda dan sebagian besar masyarakat Nusantara adalah mereka para alumni pendidikan dasar dengan guru yang berperan ganda sebagai penjaja Lembaran Kerja Siswa (LKS). Tamat SLTP dan SLTA dengan sukses berkat staf pengajar memberikan les dan bimbingan tes. Di perguruan tinggi favorit mereka belajar dari para intelektual yang kemana-mana menjual nama almamaternya. Lingkungan masyarakat tempat mereka habiskan waktu terbanyak pun mengajarkan untuk terbiasa menyabet secepat mungkin setiap peluang mendapatkan dana tanpa harus berpikir penggunaannya, apalagi tanggungjawab pengembalian.
Sementara birokrasi jalan di tempat atau berjalan mundur ke belakang dari masa lalu, sehingga bahan bacaan wajib di sekolah saja merupakan keluaran para penerbit yang sanggup menembus lorong gelap untuk memperoleh stempel “Bacaan Wajib” dari pejabat yang berwenang. Sedangkan media massa baik cetak maupun elektronik, mengajari mereka untuk korupsi kecil-kecilan dengan cara membiarkan para modelnya yang sudah berumur mengenakan pakaian yang kekecilan atau bahkan berpose seperti ketika dilahirkan ibunya.
Awal tahun 2003 seharusnya adalah akhir dari pembantaian terhadap pelaku korupsi. Tidak perlu undang-undang dan berbagai peraturan yang membatasi. Hakim dan Jaksa tidak akan disibukan lagi dengan tindak pidana korupsi. Korupsi secara alami akan lenyap dengan sendirinya.
Sejak saat itu, kita semua sudah korup ! Na ‘udzu bika min dzalik ….
Angin segar muncul lagi dengan lahirnya KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Namun perjalanan hidupnya tidaklah mudah, banyak tantangan dan hambatan termasuk dari dalam diri komisi itu sendiri.
Semoga komisi yang dalam umur-jagung-nya penuh tantangan berat ini tetap bisa menjadi pembeda antara koruptor dengan yang tidak korup.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar