Selasa, 01 Juni 2010

DEDAK HALUS UNTUK PAKAN AYAM KAMPUNG

Seperempat abad lalu, tulisan ini menghiasi “Majalah Ayam & Telur”. Imbalannya waktu itu, wesel Rp. 10.000,- Lumayan, bisa traktir teman-teman. Sebuah kenangan yang tak terlupakan....


DEDAK HALUS
Satu Alternatif Efisiensi Biaya Ransum Ayam kampung
Dibandingkan dengan jumlah ternak yang lain, maka selama ini ayam kampung masih menduduki peringkat pertama. Hal tersebut menunjukkan betapa telah memasyarakatnya jenis unggas yang satu ini. Ayam “kampung”, nama yang selalu melekat dimanapun dia berada; sesuai dengan kondisi tempat tinggal masyarakat yang umumnya memeliharanya. Tidak heran apabila ada yang mengatakan ‘ada gula ada semut, dimana ada perkampungan disitu ada ayam kampung’.
Daya tahan yang tinggi terhadap berbagai penyakit, seperti tetelo, berak darah dan lain-lain merupakan salah satu sebab banyaknya masyarakat yang memelihara. Walaupun dalam hal ini masyarakat pedesaan umumnya tidak menyadari. Mereka hanya tahu kalau ayamnya tetelo ataupun berak darah maka kemungkinan besar akan mati, dan akan menulari kawanan ayam yang lain. Sehingga ada ayam yang ada di jual sebagian atau semua ataupun dititipkan pada sanak famili yang rumahnya berjauhan dengan daerah di mana wabah menyerang.
Selain itu pemeliharaan yang mudah, tidak terlalu perlu perhatian khusus. Cocok untuk kondisi masyarakat pedesaan yang umumnya sibuk dengan sawah dan kebunnya.
Menurut kingston(1982), umumnya ayam kampung dipelihara secara berkeliaran dan mendapatkan makanan dari timbunan sampah, di kebun, di sekeliling rumah, sepanjang jalan, dalam selokan dan sepanjang sisi rumah. Jadi campur tangan pemiliknya kecil sekali, kecuali pada saat pengambilan hasil. Baik berupa telur ataupun dagingnya.
Terlepas dari faktor genetis, pemeliharaan yang masih sederhana ini menyebabkan keteralambatan pertumbuhan dan produksi telur ya ng sedikit. Mungkin juga terlambat dewasa kelamin. Yang jelas Kingston (1982), melaporkan bahwa ayam kampung yang mendapatkan makanan dan pengelolaan yang baik mencapai berat badan 1718 gram pada umur 20 minggu, sedangkan di desa-desa hanya 1027 gram. Demikian halnya dengan produksi telur, sugandi dkk (1970) menyatakan bahwa produksi telur ayam kampung yang dipelihara secara berkeliaran per periode bertelur menghasilkan 10-11 butir per ekor per tahun dalam makanan dan pengelolaan yang baik (Kingston, 1982). Rata-rata iduk ayam kampung selama setahun mengalami 3 kali masa bertelur. Sehingga sangat jauh perbedaan produksi telur antara pemeliharaan yang baik dengan cara tradisional, sekitar 5 : 1. Produksi telur yang kecil seakli inilah kemungkinan merupakan salah satu penyebab mengapa perkembangan populasi ayam kampung tiap tahunnya selalu lebih kecil dari pada jenis unggas yang lain.
Yang akan dibahas lebih lanjut dalam tulisan ini adalah pertambahan bobot badan dan berat karkas yang diperoleh dari pengkombinasian ransum komersial periode starter dengan dedak halus. Yang diharapkan adalah kombinasi ransum yang memberikan keuntungan optimum, penggunaan sedikit mungkin biaya untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Bobot badan dan berat karkas yang tinggi serta harga ransum yang paling murah tidak selalu menunjukkan keuntungan yang optimum.
Dari beberapa penelitian mengenai kombinasi ransum komersial periode starter dengan dedak halus pada ayam kampung berumur 3 minggu selama 13 minggu.dapat dilihat pada tabel.......
Dari tabel diatas terlibat bahwa rata-rata berat badan, prosentase bobot karkas ataupun ransum yang dikonsumsi perekornya menurun dengan semakin meningkatnya kadar dedak halus dalam ransum. Berat badan tertinggi dicapai dengan perlakuan KD 0 dan yang terendah dengan perlakuan KD 80. Demikian halnya dengan prosentase karkas dan ransum yang dikonsumsi.
Konsumsi ransum rata-rata untuk masing-masing perlakuan selama 13 minggu adalah 4.990 kg, 4.912 kg, 4.823 kg, 4.376 kg dan 2.990 kg. Dalam perhitungan income over feed cost harga ransum komersial periode starter disesuaikan dengan harga sekarang, Rp 600 per kilogram. Demikian halnya harga dedak halus, Rp 120 per kilogram. Harga ayam kampung hidup dianggap rata-rata Rp 3000 perekor.
Sedangkan harga Karkas perkilogram dibuat selang antara 2500 sampai 3000 rupiah. Sengaja dibuat demikian selain karena harga karkas sering berfluktuasi juga harga didaerah sering berbeda. Dan yang lebih penting adanya semacam “gerak tipu”. Khususnya pada perlakuan KD 60.
Dari tabel 4 didapatkan pada harga karkas Rp. 2500/kg keuntungan tertinggi diperoleh dengan perlakuan KD 60. Demikian juga pada harga karkas Rp 2300/kg. Sebenarnya tidak demikian, karena prosentase karkas KD 60 sangat kecil sehingga untuk memperoleh berat karkas tertentu diperlukan lebih banyak ayam dari pada perlakuan KD 40, KD 20 apalagi dengan KD 0. Oleh karena itu diperlukan imput yang lebih besar. Sedangkan kita tahu dengan semakin tingginya input yang diperlukan untuk mendapatkan output yang sama berarti semakin tidak efisien.
Sebagai gambaran, misalnya untuk menghasilkan karkas sebanyak 7 kg maka dengan KD 60 diperlukan ayam 11 ekor sedangkan dengan KD 40 hanya perlu 8 ekor. Untuk pembelian ayam kampung berumur 3 minggu misalnya perekor Rp 500. Maka adengan KD 60 perlu input 11(500)+11(1365.31)= Rp 20518.41, dan dengan KD 40 : 8 (500) + 8 (1967.78) = Rp 19 742.24. jadi lebih banyak input untuk KD 60, sehingga lebih menguntungkan KD 40.
Lain halnya apabila membandingkan KD 0 dengan KD 40. dari tabel telah diketahui pada setiap tingkat harga karkas maka KD 40 lebiih menguntungkan dari pada KD 0. Memang demikian, karena input untuk menghasilkan karkas yang sama KD 0 lebih besar. Misalnya untuk menghasilkan karkas sebanyak 20 kg, dengan KD 0 perlu input 8(500+2994)= Rp 27952. Lebih besar dari pada KD 40 yang hanya 9(500+1967.78)= Rp 22 210.02, walaupun jumlah ayam yang diperlukan lebih banyak. Demikian pula apabila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Berdasarkan berat karkas yang dihasilkan maka KD 40 selalu lebih menguntungkan pada setiap harga karkas.
Pada tabel 4 tertera dengan penjualan dalam keadaan hidup keuntungan tertinggi pada KD 80, disususul KD 60, KD 40 KD 20 dan KD 0. Sebenarnya tidaklah demikian. Karena bila ditinjau berat badan maka berturut-turut 0.396, 0.940, 1.228, 1.301 dan 1.335. berat badan KD 40 tidak jauh berbeda dengan dengan KD 0, lain halnya dengan KD 60 dan KD 80 yang sangat berbeda. Ketidak terlalubesarnya perbedaan berat badan inilah yang menyebabkan konsumen akan berani akan memberi harga yang lebih rendah. Hal ini berlaku untuk setiap tingkat harga.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perlakuan KD 40 akan menghasilkan keuntungan yang lebih tinggi dari pada KD 0, KD 20, KD 60 ataupun KD 80 baik untuk dijual dalam keadaan hidup ataupun karkasnya.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar