Selasa, 29 Juni 2010

KETIKA PENDIDIKAN JADI AJANG BISNIS

Ada sebuah anekdot yang selalu dikupas oleh setiap mentor kepada kandidat pengikut barunya, bahwa ada 99 aliran dalam agama Islam. 98 adalah produk pembual yang menyesatkan, sedangkan jalan yang lurus hanya satu. “Yang satu itulah jalan yang sedang kita rintis sekarang. Jalan yang banyak ditentang orang, karena hanya segelintir orang saja yang tahu dan tertarik kepada kebenaran. Sebab kebenaran selalu identik dengan kepahitan, penderitaan dan berbagai cobaan !”
Entah sudah berapa banyak mentor yang menyatakan bahwa formula yang mereka bawakan adalah aliran kyu-kyu yang akan membawa para pengikutnya meniti jalan ke syurga. Sudah berbilang puluhan atau bahkan ratusan gaya dari semenjak mereka yang pertama menyatakan sebagai aliran ke-99 dicanangkan, tetapi jumlah itu tetap 99 ! Tidak pernah lebih, apalagi kurang.
Bagi masyarakat China ataupun pemerhati shio, angka 99 adalah tanda keberuntungan. Tetapi bagi ummat Islam, ternyata angka tersebut kerap menjadi penyulut pertentangan yang berkepanjangan. Semua menyatakan yang berhak atas angka itu dan menganggap sesat yang lainnya. Sehingga jadilah ummat Islam sebagai penghuni alam fana yang sangat mudah diadu-domba. Ironisnya, pengadu-domba itu tidak jarang ummat Islam itu sendiri.
Oleh karena itu tidak mengherankan apabila terjadi suatu perubahan ke arah kemajuan dari suatu kelompok ummat, maka yang lain segera memotong kompas atau bahkan berusaha mematahkannya. Ketika kekuatannya tidak mampu menandingi maka membentuk kelompok sesama rekan sependeritaan. Atau tidak jarang ummat Islam yang tidak tahu menahu dan tidak punya hubungan apa-apa dengan mereka (kecuali sebagai saudara sesama muslim) dipinjam namanya.
Agama yang dibawa Nabi Muhammad s.a.w. itu, khususnya di Indonesia, sekarang sering identik dengan perpecahan. Ummat di akar terbawah gontok-gontokan sesuai dengan imam-nya. Pengikut Ahmadiyah tidak akan shalat berjamaah di belakang sembarang imam, jamaah LDII memandang keliru para pengikut aliran lain, generasi muda Persis menentang keras wong tua yang tradisional NU dan sebagainya. Di tingkat yang lebih tinggi, para kiyai dan ulama bergerombol sesuai kepentingan. Bahkan banyak berubah menjadi politisi yang sikut sana- jendong sini berebut kursi.
Sehingga sebenarnya bukanlah barang aneh ketika ribut-ribut pun terjadi begitu muncul sebuah pesantren ultra modern di antara maraknya pertumbuhan pesantren modern yang bukan hanya sangat efektif sebagai tempat pembinaan keagamaan di zaman modern tetapi juga mendatangkan banyak keuntungan dari segi finansial. Tetapi kebiasaan mengadu-domba dan diadu-domba menyebabkan hal seperti ini menjadi perdebatan panjang yang tidak pernah berujung.
Adalah Mahad Al-Zaytun, sebuah pesantren yang berada di tengah bentangan luas sawah di perbatasan Kecamatan Kroya dan Kecamatan Haurgeulis Kabupaten Indramayu. Kemegahannya tiada tertandingi di negeri ini baik oleh sesama lembaga pesantren ataupun lembaga pendidikan lainnya. Kemasyurannya mengguncang dunia ! Ketika orang Cirebon mendengar kata “Indramayu” maka di benaknya ada pertanyaan tentang Al-Zaitun. Saat bertemu orang Jawa Barat, urang awak bertanya gambaran kemegahan Al-Zaytun. Penghuni negeri jiran pun bertanya kepada TKI tentang Al-Zaytun. Dan bukan mustahil kalau suatu saat kepopuleran Al-Zaytun seperti halnya Bali, lebih dikenal masyarakat luas daripada Indonesia itu sendiri.
Seperti biasa dan sudah diulas dimuka, hal semacam ini bukannya menjadikan ummat Islam Indonesia berdecak kagum dan bangga tetapi malah meneriakan kebencian. Mungkin mereka tidak tahu kalau hal ini menyebabkan pihak lain tertawa geli, “Ummat Islam tidak pernah jauh dari zaman kelam !”
Ada saja celah yang dijadikan pemicu. Aliran sesat, adalah sebuah isyu laten yang paling populer dan sangat besar efeknya terhadap ukuwah. Berbagai upaya dilakukan, tidak kuat sendiri membentuk koalisi, akhirnya nama besar ulama dan daulah ummat dipinjam dan digembosi.
Sebuah pertanyaan yang sampai sekarang belum terjawab tentang benar tidaknya Al-Zaytun mengajarkan aliran sesat, adalah sikap diam para pesantren tradisional. Demikian juga para pengikut pemurni ajaran Islam seperti Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad dan lain-lain. Mengapa mereka diam ? Mengapa mereka yang menamakan diri sebagai bagian dari masyarakat intelek modern yang mengajarkan Islam dengan teknik modern dengan alam pola pikir modern di dalam gedung plus fasilitas modern, justeru yang seperti kebakaran jenggot ? Disisi lain, Pondok Pesantren Modern Gontor yang menjadi pioneer pesantren modern dan sudah sangat mapan bersikap lain. Ternyata tidak ada hubungan antara Pesantren Gontor itu dengan Pesantren Gantar tersebut kecuali secara individu, seperti kata seorang pengasuhnya.
Alasan yang sangat mudah dijawab adalah karena pangsa pasar yang berbeda. Kemegahan Al-Zaytun tidak menggimingkan para santri pondok pesantren tradisional yang umumnya dari keluarga pas-pasan. Mereka yang agak berada lebih mempercayakan pendidikan anaknya ke Gontor dan sekitarnya. Pengikut A. Hassan pun tidak akan tergoda karena yakin lebih baik memasukan anaknya ke Pesantren Persis. Demikian juga pengikut aliran tertentu lainnya.
Jadi sebenarnya siapa yang kebakaran jenggot dengan berdirinya Mahad Al-Zaytun ? Sebuah pesantren ultra megah dengan fasilitas pendidikan dan peribadatan yang sangat lengkap dan maju. Satu keunggulan lain adalah, di balik keserba-lebihannya itu ternyata Mahad Al-Zaytun adalah sebuah pesantren yang murah meriah !
Bila seorang santri dikenakan biaya Rp. 20.000.000,- untuk pendidikannya selama 6 tahun maka biaya per-tahunnya adalah sekitar 3.333.000,- atau perbulannya Rp. 277.000,- atau Rp. 9.000,-an saja setiap harinya. Bila melihat langsung makanan yang dikonsumsi para santri Al-Zaytun, maka sangat tidak mungkin harganya cukup dengan Rp. 3.000,- per-porsi ! Padahal sebagaimana tujuan para orangtua santri, di pesantren tersebut mereka bukan hanya belajar yang sangat lengkap tetapi juga mendapatkan segala sarana yang ada termasuk penginapan.
Adakah pesantren modern lain yang mampu menekan biaya sedemikian rendah, sehingga akan hilang kesan bahwa sebuah pesantren modern lahir bagai jamur dimusim hujan sejalan dengan makin butuhnya masyarakat khususnya perkotaan akan pengasuh anak-anak yang bersambut dengan makin meningkatnya kebutuhan ekonomi para pengasuhnya.
Persaingan dalam hal efisiensi dan kualitas itulah yang seharusnya terjadi bukan dengan meniupkan isyu sentral yang sama sekali tidak sehat. Apalagi sampai sekarang tidak pernah terbukti kebenarannya.
Masyarakat awam dan para intelektual yang mengenal kekonsekuenan Al-Chaidar dalam dalam islam dan aktivitasnya mengusung NII, tentu yakin akan benarnya kesaksian yang diberikan tentang berbagai kesesatan di balik kemegahan yang dimotori Panji Gumilang itu. Tapi hendaknya ulama bersikap sebagai buffer yang menjembatani antara ummat islam Indonesia yang rata-rata awam terhadap agama yang tertera di KTP-nya itu dengan aliran ke-99 yang mudah-mudahan terakhir itu. Bukan menjadi katalisator yang menyulut sebuah reaksi dari balik gelar ulama, apalagi menjual nama ummatnya.
Sudah terlalu banyak dana yang dikeluarkan untuk menghembuskan isyu kesesatan Al-Zaytun itu, mulai dari tabligh akbar dengan materi yang sudah diarahkan yang bukan hanya perlu dana untuk penceramahnya tetapi juga panitia penyelenggara, penggembosan instansi pemerintah sampai wakil rakyat yang juga tidak akan begitu saja terjun langsung tanpa adanya sumber dana dan juga penerbitan buku maupun compact-disk dengan rupiah tidak sedikit.
Satu hasil yang dapat dipastikan dari pengeluaran yang sedemikian besar adalah timbulnya pertentangan dan fitnah diantara ummat islam. Penganut agama lain bisa tertawa geli melihat semua ini terjadi. Pertentangan dan kekisruhan intern tidak pernah selesai. Bahkan sekarang memunculkan pertanyaan baru, “Pertentangan aliran atau pergulatan uang ?”
Akan lebih bermanfaat apabila dana yang sedemikian besar ini digunakan untuk menyelamatkan nyawa para penyeser di sepanjang jalur tengkorak Pantura Jawa Barat yang menadah rupiah untuk berdirinya mesjid dengan taruhan nyawa. Atau menyelamatkan muka seluruh ummat islam sebagai ummat yang mendirikan sarana peribadatan saja harus dengan mengemis-ngemis. Walaupun tentu tidak akan bisa seperti ummat Hindu yang mengharamkan berdirinya suatu tempat ibadah dengan jalan meminta-minta dana dari ummatnya.
Setelah sekian banyak kelompok ummat yang menyatakan diri sebagai penganut aliran yang ke-99, maka sudah saatnya ummat islam berbenah diri. Meredam anekdot, bahwa kalau akan membuat keributan maka hasutlah ummat islam. Dalam waktu singkat wilayah itu berantakan. Sedangkan jika hendak menghancurkan ukuwah islamiyah, susupi mereka dan porak-porandalah persaudaraan itu.
Pertentangan-pertentangan yang sering terjadi adalah sekolah terbaik untuk introspeksi dan berbenah diri untuk secara bersama-sama membangun kembali kejayaan ukuwah yang telah lama hanya ada dalam impian.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar