Selasa, 01 Juni 2010

FLU BABI

“Tiga jenis babi yang akrab dekat dengan masyarakat :
Babi Lu, Lu Babi dab Flu Babi.”

Rangkaian kata pada jenis babi yang pertama dengan segala variannya memang sudah tak asing lagi. Sajian khusus koki caci dan maki menjadi santapan lawan bicara berbumbu ekspresi penuh kemarahan yang sulit disembunyikan.
Sebaliknya kemarahan lebih besar terpendam dalam hati ketika mengucap kalimat kedua. Intonasi rendah tidak menyurutkan anggapan bahwa lawan bicara adalah tertuduh.

Ada yang mengatakan bahwa dua kalimat pertama memang sudah sedemikian dekat dengan masyarakat Indonesia yang dikenal sopan dan santun. Ditakuti untuk diterima telinga tetapi sulit dihindarkan akibat dari sedemikian dekatnya dengan bibir. Tentu tidak semua pembaca setuju. Tetapi bisa dibuktikan bahwa “babi” dengan “bibir” bukan hanya dekat tetapi juga menyatu, misalnya dalam rangkaian kata “bibir babi”.
Berbicara soal kedekatan, telinga masyarakat Indonesia tiba-tiba harus akrab dengan Flu Babi. Sebuah hubungan yang unik, dekat tetapi ditakuti. Penyakit mematikan ini seakan menjadi momok yang menggantikan posisi saudara lain ibunya (apalagi ayah-nya!), Flu Burung.

Banyak pendapat tentang isyu besar yang mendunia tersebut, pro dan kontra. Antara yang percaya dan menganggapnya sebagai isyu belaka. Sebagian setuju wabah mematikan itu harus dicegah sedini mungkin jangan sampai masuk nusantara. Salut dengan petugas yang segera tanggap di setiap pintu masuk dengan masker sampai baju astronot mempraktekan keahlian barunya, mendeteksi gejala flu dengan cepat. Sementara yang lain hanya tersenyum geli dan berdo’a, “Semoga mereka kelihatan lebih ramah dengan mulut tertutup. Amien!”

Tidak sedikit kernyitan dahi menggantikan segala daya upaya dan kerja keras yang sangat terencana itu dengan kata “Politis!” Sekali lagi, alasan yang terlontar sebagian diakibatkan kejadian sebelumnya, Flu Burung.

Masih terngiang di telinga pemberitaan berbagai media ketika seorang penghuni perumahan mewah menjadi korban flu burung pertama di Indonesia maka tumbalnya adalah babi-babi tak berdosa milik penghuni bantaran Sungai Citarum. Peternak babi hanya bisa mengelus dada melepas peliharaan yang sudah sedemikian lama menjadi teman se-gubuk-nya untuk dimusnahkan. Protes pun percuma, tidak akan mengembalikan peliharaan mereka karena babi-babi itu telah disulap para aparat menjadi “kambing hitam”.

Gejolak jutaan tanya membuat hati peternak babi semakin bingung akibat makin banyaknya pendapat para ahli yang berbanding lurus dengan jumlah korban yang berjatuhan akibat penyakit ini, baik manusia maupun unggas. Kebingunan pun akhirnya lenyap ketika ada asumsi yang mendukung pendapat mereka bahwa tindakan tidak berperike-babi-an itu seharusnya tidak perlu dilakukan sebab jika dugaan aparat itu benar maka korban pertama adalah mereka. Sebab keduanya bukan semata-mata sa-udara tetapi juga sudah se-nafas.

Oleh karena itu, agar tidak mau salah untuk yang kedua kali maka mereka mengambil sikap sebagai politisi dadakan, “Jangan-jangan sebutan Flu Babi yang sekarang gencar menyerang pun suatu saat dianggap salah, karena korban flu tersebut lebih banyak manusia daripada babi itu sendiri. Sehingga lebih tepat kalau namanya berubah menjadi Flu Insan atau Flu Man atau Flu Wong dan sejenisnya.”

Terlepas dari dua kutub yang saling menjauhkan diri, pengetahuan tentang Flu Babi tentu akan sangat berguna untuk diketahui. Adegium lama mengatakan, tak kenal maka tak sayang. Diharapkan dengan mengenal tentang Flu Babi maka masyarakat akan makin sayang dengan perilaku hidup sehatnya.

Flu Babi yang sungguh menakutkan ini merupakan penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia ataupun sebaliknya. Uniknya, sekalipun dapat menyebabkan tingkat kesakitan yang sangat banyak kepada babi tetapi tingkat kematiannya sedikit saja, berkisar 1 sampai 4 prosen saja. Atau bahkan ada yang mengatakan dibawah satu prosen. Sebaliknya terjadi apabila biang flu ini menyerang manusia.

Namun demikian ada khabar gembira bagi penggemar dading yang satu ini, bibit penyakitnya mudah sekali mati. Dalam pemanasan 80º C selama 1 menit saja virus H1N1 sudah keok. Apalagi kalau digodog dalam air mendidih (100º C) atau digoreng dengan titik didih minyak lebih tinggi lagi.

Sekalipun banyak sosialisasi telah dilakukan untuk mengabarkan bahwa penyakit ini tidak dapat ditularkan melalui makanan namun tak urung pasar daging babi sempat sepi. Kenapa harus takut, sepanjang sesuai dengan kaidah agama yang dianut, dimasak dengan benar dan anda suka menyantapnya. Tetapi sekedar catatan, kehigienisan dan kehati-hatian sangat perlu diperhatikan pada saat mengolah daging babi mentah.

Kembali kepada Flu Babi, babi yang terserang penyakit ini menunjukkan beberapa gejala yang umum seperti nafsu makan menurun, malas bergerak akibat otot yang kaku dan nyeri, demam sampai hampir 42º C, batuk dan bersin bahkan memuntahkan eksudat lendir jika cukup parah. Gejala lainnya adalah mata kemerahan dan mengeluarkan cairan, pernafasan perut dan keluar leleran dari hidung.

Sekali lagi, angka kesakitannya sangat tinggi tetapi kematian yang ditimbulkan relatif rendah. Pada banyak kasus, babi sembuh dengan sendirinya pada hari ke-5 sampai ke-7 setelah terlihat tanda klinis.

Sementara maunusia yang terserang Flu Babi menunjukkan gejala demam, lsu, kurang semangat, keluar lendir dari hidung, sakit tenggorokan, mual dan muntah, diare, sesak nafas dan dapat menimbulkan kematian.

Sebuah keyakinan yang sudah sangat melekat di masyarakat adalah bahwa penyakit apapun yang diturunkan kepada manusia sesungguhnya Tuhan telah menyertakan obatnya. Paling tidak, Dia telah memberikan alternatif pencegahannya. Pepatah nenek-moyang menuntun, “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Tukang dagang berbagi resep, “Mencegah relatif mudah dan murah, sementara sakit sangatlah menderita dan berbiaya.”
Cara mencegah yang murah meriah adalah dengan membiasakan berperilaku hidup bersih dan sehat selaras dengan lingkungan dan alam. Bersih diri dan lingkungan.
Bersih diri terkadang gampang-gampang susah bahkan rutinitas pun sering keliru.

Misalnya kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sesudah makan yang bertujuan menghapus semua bau tak sedap dan kotoran yang tersisa. Kebiasaan ini tentu akan lebih banyak manfaatnya jika dilakukan sebelum makan, aneka bau hilang juga bibit penyakit yang menempel. Di mata umum kebiasaan kedua yang sebenarnya lebih baik adalah suatu kejanggalan.

Bersih lingkungan tentu jauh lebih sulit karena banyak yang faktor yang mempengaruhi, termasuk empati sebagai bagian dari makhluk Tuhan yang paling sempurna. Khusus lingkungan ber-babi, maka kesehatan piaraan dan kebersihan kandangnya sangatlah vital.

Nah, kalau bersih dan sehat sudah menjadi perilaku yang melekat di masyarat, kenapa harus takut dengan berbagai penyakit yang menghendaki kita sakit ?

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar