Selasa, 01 Juni 2010

TEROWONGAN DAN JEMBATAN KERETAAPI

Paduan Kekuatan, Keindahan dan Kelestarian Alam


“Ini sich, belum seberapa,” ujar Ade, asisten masinis kelahiran Banjar, ketika KA Parahyangan yang dibawanya memasuki terowongan Sasaksaat, “Terowongan ke Banjar Baru, lebih panjang lagi,” lanjutnya. “Sayang, sudah tidak dipakai lagi.”

Terowongan yang dimaksud Ade tidak lain semula bernama Terowongan Wilhelmina, menghubungkan Banjar dan Cijulang. Terowongan yang panjangnya mencapai 1,116 km ini diresmikan 80 tahun lalu, tepatnya tanggal 1 Juni 1921 bersama dua terowongan di dekatnya yang relatif pendek, masing-masing 105 dan 147 meter saja. Ketiganya merupakan tripariat yang sekarang diberi nama Terowongan Sumber.

Sedangkan terowongan antara stasiun Sasaksaat dan stasiun Maswati yang baru dilalui Ade panjangnya mendekati, 949 meter. Pada dinding masuknya tertera angka “1902 – 1903”, mungkin pada tahun tersebut terowongan itu dibuat tetapi baru diresmikan 3 tahun kemudian. Sampai sekarang kegelapan terowongan ini masih dapat dinikmati penumpang keretaapi menuju Bandung seperti KA Argo Gede dan KA Parahyangan dari stasiun Gambir, keretaapi kelas ekonomi KA Cipuja dan KA Citrajaya dari stasiun Jakartakota atau KA Galuh dari stasiun Tanah Abang.

Dua terowongan di atas beru sebagian kecil dari rangkaian rel yang secara mengagumkan menembus gunung dan bebetuan. Masih banyak terowongan leretaapi warisan penjajah yang ditinggalkan kepada ahli waris para korban penembus bebatuan.


Tabel 1. Terowongan Keretaapi Terpanjang


NO NAMA TEROWONGAN PANJANG (meter) TANGGAL PERESMIAN
1. Sumber 1.116 01 Januari 1921
2. Sasaksaat 949 02 Mei 1906
3. Sawahlunto 827 01 Januari 1896
4. Mrawen 690 10 September 1902
5. Lampengan 687 10 Mei 1883
6. Ijo 580 20 Juli 1887
7. Muara Kalaban 545 01 Maret 1924
8. Tebingtinggi 424 01 Nopember 1932
9. Lahat 368 01 Nopember 1932
10. Batulawang 281 15 Desember 1916

Sumber : Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 2, Angkasa (1995)


Selain terowongan, asset PT Keretaapi yang sangat berharga adalah jembatan-jembatan tua yang merupakan paduan serasi antara faktor kekuatan dengan seni artistik merangkai baja.

Sebagai contoh adalah kerangka baja di Lembah Anai perbatasan Kabupaten Kanah Datar dan Kabupaten Padang Pariaman, jaraknya beberapa kilometer dari Padangpanjang menuju Padang Sumatera Barat. Bukan hanya kekuatannya menahan beban serangkaian panjang wagon penuh batubara yang mengandung decak kagum, tetapi juga lenggak-lenggok besi berpadu dengan tata-kait sekrup yang sangat artistik. Lebih mengagumkan lagi apabila dilihat tahun pembuatannya, akhir abad XIX, tepatnya tahun 1891 !

Keindahan alam Parahyangan juga makin lengkap dengan 3 buah jembatan keretaapi terpanjang di negeri ini (Tabel 2). Pengguna jalan raya Bandung – Jakarta via Purwakarta misalnya, dapat melihat dari jauh rangkaian indah baja yang menghubungkan dua bukit menjelang Pandeglang. Sementara dari balik kaca para penumpang keretaapi Bandung – Jakarta dapat melongok penataan lahan lestari secara teras sering di bawah ketiga jembatan yang dilewati.

Semua penumpang keretaapi menuju Jakarta atau sebaliknya pun bisa menatap anggunnya lekuk tubuh jembatan kembar yang melintasi Sungai Citarum dekat Stasiun Kedung Gedeh. Keindahannya dapat pula dinikmati para pengguna jalan raya yang mengapit kedua jembatan tersebut.

Masih banyak jembatan kuno yang panjangnya berbilang ratusan meter, yang paling tua adalah Jembatan Porong di Jawa Timur yang panjangnya mencapai 222,70 meter dan diresmikan lebih dari seabad lalu, yaitu tahun 1886. Selain Jembatan Batang Anai yang telah diulas di atas, jembatan lain yang juga dibuat abad XIX adalah rangkaian 4 buah Jembatan Bratas sepanjang 180 meter, diresmikan tahun 1899.



Tabel 2. Jembatan Keretaapi Terpanjang


NO NAMA TEROWONGAN PANJANG (meter) TAHUN PERESMIAN
1. Cikubang 300 1906
2. Cibisoro 290 1906
3. Cipembokongan 270 1912
4. Sungai Tulas 228 1912
5. Serayu 225 1916
6. Porong 223 1886

Sumber : Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 2, Angkasa (1995)


Hebatnya, selain berhasil memadukan kekuatan dengan keindahan, pembangunan jembatan dan terowongan khususnya dan pemasangan rel keretaapi pada umumnya itupun menunjukkan betapa concern-nya bangsa penjajah terhadap konservasi lahan. Sekalipun harus dengan investasi yang sangat mahal. Asal tahun saja, sebelum Perang Dunia II, perkeretaapian dan trem merupakan investasi terbesar Belanda di Indonesia, yang nilainya mencapai Rp. 500 juta. Sama besarnya dengan investasi bidang perminyakan saat itu (Djojohadikusumo, 1949).

Oleh karena itu jangan gondok dulu kalau ada yang mengatakan, “Untung kita pernah dijajah Belanga !” Namun ungkapan itu dapat dipetik sebagai cambuk bagi warga bangsa merdeka ini yang untuk membangun jalur ganda rel keretaapi Cikampek – Cirebon saja tidak pernah selesai. Atau yang lebih penting lagi adalah warning bagi pengambil kebijakan, agar dalam pembuatan jalan tol tidak lagi harus mengorbankan lahan produktif dan pembantaian aktifitas pertanian yang notabene menjadi jantung kehidupan sebagian besar warganya.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar