Jumat, 12 Februari 2010

BALADA KERETAAPI INDONESIA TERCINTA

Penumpang keretaapi dalam bahaya

…. Sewindu lalu begini, sekarang pun tidak jauh berbeda, kecuali, harga karcisnya ….

PT Keretaapi seakan sedang menuai badai, angin kebebasan mengabaikan peralatan yang ada di lokomotif yang sudah sekian lama berlangsung telah menampakkan hasilnya. Belum jelas sebab musabab terjadinya tabrakan antara KA Tawang Jaya dengan lokomotif yang akan menarik KA Cirebon Express subuh 2 September 2001, tiba-tiba Kamis dini hari tepat pukul 02.48 25 Oktober 2001, di Kampung Lebaksambel Desa Cijorolebak, Rangkasbitung Kabupaten Lebak, terjadi tabrakan antara keretaapi langsam Rangkasbitung – Tanah Abang (KA 930) dengan KA 1213 yang mengangkut batubara (Liputan 6 Siang SCTV dan Suara Pembaruan, 25/10/01).

Akibat kejadian ini, masinis KA 930 yang berada di lokomotif BB 30314 tewas bersama dua orang lainnya (Kompas, 26/10/01). Walaupun masinis dan asisten masinis yang meng-handle lokomotif BB 30421 selamat, namun tidak pelak kedua lokomotif rusak parah dan perlu biaya perbaikan milyarah rupiah.

Bagi insan perkeretaapian, tabrakan antara dua keretaapi adalah suatu kejadian yang paling memalukan yang seharusnya dijauhkan. Tapi kejadian seperti ini bukan makin terhindar tetapi malah berulang hanya berselang lima minggu dari kejadian yang memakan 42 korban itu. Bahkan KA langsam Rangkasbitung – Jakarta harus mengalami hal yang sama kurang dari satu setengah tahun lalu.

Dari pengamatan penulis sejak semester akhir tahun 2000, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa dengan kondisi peralatan vital di lokomotif seperti speedometer, radio, dead man pedal dan rem seperti selama ini, pelayanan keretaapi sebagus apapun hasilnya sama, yaitu baru pada tahap mampu membawa penumpang ke alam tanpa sadar bahwa nyawa mereka sedang disabung berebut tujuan akhir : syurga, neraka atau untuk sementara selamat sampai stasiun.

Kecelakaan oh Kecelakaan

Sekalipun kejadiannya sudah hampir satu setengah tahun berlalu dan kepopulerannya terhempas oleh berbagai kecelakaan keretaapi yang lain, masih menempel di benak kita kejadian fatal yang harus dicatat dalam sejarah perkeretaapian Indonesia. Tabrakan antara KA Patas Merak (KA 209) dan KRD Jakarta – Rangkasbitung (KA 906) di Mekarjaya – Serpong (Republika, 02/05/00). Walaupun korban yang tewas hanya sepertiga dari korban anjloknya KA Bima di Wonosari (12/01/00), peristiwa telak itu menjadikan harga diri bangsa yang besar-kemaluan ini seakan terangkat sedikit, yaitu dengan mundurnya dua pejabat tinggi yang langsung mengurusi angkutan keretaapi saat itu : Dirjen Perhubungan Darat Santo Budiono dan diikuti Edi Haryoto Direktur Utama PT KAI.

Namun seperti sudah diduga sebelumnya, mundurnya kedua pejabat tidak akan selalu berbanding lurus dengan lepasnya ular besi dari kata kecelakaan. Terbukti, serangkaian kecelakaan selama tahun 2000 terus berlomba. Sebuah stasiun televisi swasta sebagaimana dikutip Republika (03/05/00) menghitung bahwa antara Januari – Maret 2000 telah terjadi 20 kecelakaan keretaapi. Sementara menurut hitungan Kompas (12/09/00), dalam setahun dari September 1999 sampai September 2000, setiap bulan terjadi 2 kecelakaan, 4 kecelakaan dalam tiga bulan dan selama periode itu terjadi 20 kali kecelakaan.

Oktober, November dan Desember; triwulan terakhir awal millenium pun diwarnai dengan sambaran KA Parahyangan terhadap truk bermuatan batu yang turut menyeret pengendara motor dan pejalan kaki (Berita Buana, 23/10/00), anjloknya KA Dwipangga di Petarukan, terbakarnya kereta pembangkit KA Argo Bromo di Cirebon, amblasnya nyawa satu keluarga di perlintasan keretaapi pinggiran Kota Padang karena kijang yang ditumpangi tidak dapat melaju sekencang ular besi, dan banyak kecelakaan lain yang terjadi di luar Jabotabek sehingga minim publikasi.

Santo Budiono boleh saja memilih hengkang dari kursi empuknya, karena di mata pria kelahiran Malang 20 Maret 1939 itu kecelakaan keretaapi sudah kelewat banyak. “Selama ini rata-rata kecelakaan keretaapi itu 7 kali setahun !” Katanya seperti dikutip Republika (03/05/00). Beliau risih dengan kecelakaan beruntun, sehingga 7 kecelakaan cukup terjadi dalam 4 bulan saja, tidak harus menunggu satu tahun. “Bahkan sebelum itu terjadi 20 kecelakaan yang antara lain terdiri dari 3 kecelakaan keretaapi, 9 anjlok dan 4 kecelakaan di persimpangan,” lanjutnya.

Tahun 2000 seakan menjadi tahun bencana bagi perkeretaapian Indonesia, tak pelak Komisi IV DPR mengharuskan PT KAI mengaudit sarana keretaapinya (Kompas, 12/09/00). Namun hal tersebut seperti tidak ditanggapi, maka jadilah pra-millenium sebagai awal dari rangkaian bencana sepanjang rel keretaapi.

Ketika semua moda disibukkan dengan lebaran dan tahun baru yang datang hampir bersamaan, pas lonceng hari pertama 2001 baru beberapa jam berlalu, KA Sapujagat anjlok di Banyumas. Tak pelak hal ini menyebabkan perjalanan keretaapi lain terhambat 5 sampai 7 jam dari jadwal. Berselang 5 hari, tepatnya Rabu 07/01/01, KA Senja Utama mengalami kecelakaan serupa dan menyebabkan keretaapi yang melalui jalur selatan harus mengalami keterlambatan 3 jam untuk sampai tujuan.

Terlepas dari berbagai upaya yang dilakukan manajemen baru PT Keretaapi dalam membenahi diri untuk menembus pelayanan minimal terhadap konsumen, maka masyarakat yang berharap kecelakaan keretaapi berkurang akan kecele mendengar penuturan Direktur Utama PT Keretaapi, Badar Zaenie. Selama triwulan pertama tahun 2001 telah terjadi 46 kecelakaan keretaapi, 7 diantaranya kecelakaan dengan kendaraan lain dan satu kecelakaan fatal yaitu tabrakan dua keretaapi pengangkut batubara yang mengakibatkan 4 lokomotifnya rusak dan perlu biaya Rp. 60 milyar untuk memperbaikinya (Tabloid Keretaapi KONTAK, bulan Mei 2001). Bila dihitung secara matematis, maka setiap 4 hari terjadi satu kecelakaan keretaapi dan dua minggu sekali ular besi memangsa besi lain yang melintas di sepurnya.

Rupanya kejadian awal tahun 2001 yang dialami KA Sapujagat merupakan lonceng dimulainya perlombaan kecelakaan di jagat perkeretaapian Indonesia selanjutnya !

Tabel Keretaapi (T-100)

Menarik untuk mengkaji ucapan Santo Budiono di atas, bahwa hampir separuh kecelakaan keretaapi adalah anjloknya roda besi dari rel. Bila ditarik benang merah dengan maraknya kecelakaan keretaapi awal 2001, maka kira-kira 20-an diantaranya dapat dipastikan anjloknya keretaapi dari lintasan. Sekalipun rincian ini tidak disebut oleh Direktur Utama PT Keretaapi yang baru.

Dengan kata lain penyebab kecelakaan keretaapi sangat didominasi oleh sarana dan prasarana serta insan keretaapi iitu sendiri. Hal serupa pernah diindikasi anggota Komisi IV DPR, Yosef Umarhadi, bahwa ada sistem manajemen yang kurang baik di tubuh PT KAI dan menjadi bukti tidak adanya pembinaan ke bawah dan buruknya koordinasi (Berita Buana, 23/10/00).

Tabrakan dua keretaapi pengangkut batubara di Pulau Andalas di atas yang perlu biaya perbaikan lokomotif jauh lebih besar daripada pendapatan PT Keretaapi selama satu triwulan, tentu tidak perlu terjadi apabila masinis patuh pada T-100 yang menjadi pedoman dalam membawa rangkaian keretaapi.

Kelalaian serupa bukan hal baru, KA Tawangjaya dan KA Parcel tahun lalu harus mengalaminya di Alas Roban. Kerugian harta dan nelayangnya nyawa dapat dihindari apabila masinis mempedomani Tabel Keretaapi dan PPKA patuh pada Reglement No. 19, bahwa dalam satu petak jalan dengan sepur tunggal antara dua stasiun hanya boleh ada satu keretaapi.

Kesalahan orang dalam pula yang menyebabkan terjadinya tabrakan 3 buah keretaapi di jalur ganda Cikampek – Jakarta pada tanggal 18 april 2000.

Tabel Keretaapi menjadi sangat penting karena di dalamnya antara lain tercantum stasiun yang akan dilalui, tempat pemberhentian, lama tempuh dari satu stasiun ke stasiun berikutnya dalam hitungan menit. Dan yang paling penting sekaligus paling sering harus diabaikan masinis adalah kecepatan maksimum pada lintasan tertentu seperti tanjakan dan belokan.

Dengan demikian, mengetahui kecepatan keretaapi yang dikendarai secara tepat adalah wajib hukumnya bagi seorang masinis, sehingga speedometer merupakan alat vital lokomotif yang tidak boleh dipandang sebelah mata.

Speed-0-meter (baca : speed nol meter)

Adalah kesalahan besar yang berakibat fatal bila masinis hanya mengandalkan feeling dan pengalaman untuk mengetahui kecepatan, seperti yang telah mengakibatkan selipnya KA Argo Dwipangga di Petarukan (31/10/00) misalnya. Kealpaan serupa bukan tidak mungkin merupakan penyebab terbesar anjloknya keretaapi dari rel dengan korban dan kerugian materi yang tidak sedikit.

Sekalipun dalam setiap kecelakaan keretaapi tidak pernah dilaporkan bahkan diperhatikan kondisi speedometer lokomotifnya, namun berdasarkan pengamatan terhadap kondisi speedometer di berbagai lokomotif selama ini, penulis berkesimpulan bahwa hal ini harus diwaspadai.

Kecepatan terlalu tinggi pada belokan dapat berakibat fatal. Kelewat cepat di tanjakan sangat berbahaya. Demikian juga pada jalur-jalur tertentu terdapat rel yang hanya boleh dilewati dengan kecepatan tertentu. Itulah sebabnya speedometer di lokomotif bukan hanya benda kecil untuk memadukan kecepatan maksimum yang dibolehkan dengan target waktu dalam mencapai tujuan semata, tetapi juga sebuah alat dimana nyawa dalam gerbong dipertaruhkan.

Dari pengamatan terhadap 45 lokomotif yang membawa rangkaian kelas ekonomi dan kelas non-ekonomi yang dimulai pada semester terakhir tahun 2000 dapat diambil kesimpulan bahwa ternyata 20 lokomotif speedometer-nya dapat diandalkan (44 %), 16 lokomotif dengan speed-nol-meter alias speedometer-nya tidak pernah bergeser dari angka 0 (36 %) dan sisanya tanpa pengukur laju sama sekali (20 %).

Yang sangat memprihatinkan adalah abahwa penumpang keretaapi terbanyak yaitu pengguna kelas ekonomi benar-benar di ujung tanduk. Hanya satu diantara 7 lokomotif yang membawanya dilengkapi sepeedometer laik pakai (13 %).


Tabel 1. Kondisi Speedometer pada Lokomotif

Kelas Keretaapi Jumlah Sampel Tanpa Speedometer Kondisi Speedometer
Mati Baik
Ekonomi 15 7 6 2
Non-Ekonomi 30 2 10 18
J u m l a h 45 9 16 20


Oleh karena itu jangan kaget kalau tabrakan antar ketretaapi kelas ekonomi yang kecepatannya dibatasi hanya mencapai 80 km/jam lebih sering terjadi daripada keretaapi cepat sekelas Argo Bromo, Argo Dwipangga dan Argo Muria ataupun dapat melesat sekuat Bima dan setinggi Sembrani. Ternyata 87 prosen lokomotifnya tidak dilengkapi pedoman kecepatan yang baik, bahkan separuh diantaranya tanpa speedometer sama sekali.

Keretaapi mahal yang bukan hanya melayani konsumen elite-nya dengan istimewa tetapi juga dapat perlakuan khusus dalam penggunaan sepur pun tidak jarang harus anjlok dari relnya karena ternyata sepertiga masinisnya tidak pernah mengetahui kecepatan keretaapinya secara pasti ! Padahal pada jalur tertentu, melanggar kecepatan maksimum sebagaimana tercantum pada Tabel Keretaapi adalah fatal.


Radio Lokomotif

Keadaan ini diperparah oleh kurang berfungsinya radio, awak lokomotif dan keretaapi yang dibawanya berkomunikasi dengan speedometer sedangkan radio untuk berhubungan dengan pihak luar seperti ppka di stasiun maupun masinis di lokomotif yang lain. Kalau radio lokomotif KA 930 berfungsi dengan baik maka kejadian kamis dini hari kemarin tidak perlu terjadi.


Tabel 2. Kondisi Radio pada Lokomotif

Kelas Keretaapi Jumlah Sampel Tanpa Radio Kondisi Radio
Baik Mati
Ekonomi 15 2 13 -
Non-Ekonomi 30 1 22 7
J u m l a h 45 3 35 7

Dari 45 lokomotif yang diamati, hampir 80 prosen kondisi radio lokomotifnya baik, sedangkan sisanya tidak berfungsi atau tanpa radio sama sekali.

Berbeda dengan kondisi speedometer, nasib radio di lokomotif yang membawa rangkaian kelas ekonomi ternyata lebih baik. Sebaliknya hampir 20 prosen lokomotif yang menarik rangkaian kelas bisnis, eksekutif dan spasial tanpa alat komunikasi dengan pihak luar.

Dead Man Pedal

Selain radio dan speedometer maka dead man pedal adalah barang yang tidak kalah pentingnya. Benda seukuran anak kura-kura ini berfungsi mencegah masinis mengantuk. Di-set teknisi di Dipo, apabila diinjak terus selama 60 detik akan segera berbunyi alarm. Bila masinis lalai dan terinjak terus maka keretaapi akan berhenti dengan sendirinya. Demikian pula bila sebaliknya terjadi, dibiarkan saja lebih dari waktu set.

Penulis kesulitan mendapatkan informasi kondisi benda yang sangat penting ini, selain kecil letaknya pun tersembunyi. Namun keterangan dari Karim, seorang masinis yang 3 tahun lagi pensiun, memperkuat dugaan kalau alat penting yang satu ini juga sering diabaikan. “Banyak dead man pedal yang tidak berfungsi,” katanya memulai, “Dan itu bukan kesalahan masinis, sebab yang mengeset adalah orang Dipo.”

Memang sangat sulit sekaligus berat bagi masinis untuk melakukan tindakan fatal seperti mengubah setting waktu itu. Bila ketahuan satu kali cukup puas dengan peringatan keras, dua kali bisa disertai penurunan pangkat dan akan langsung dipecat apabila pelangaran ketiga dilakukan.

Sesuai dengan keangkeran namanya, mengabaikan benda ini akan mengantar para penumpang ke wisuda untuk mendapatkan gelar dead man !

R e m

Satu-satunya peralatan vital yang menurut pengamatan penulis masih relatif berfungsi adalah rem. Sekalipun pernah terjadi lokomotif CC 20313 yang membawa rangkaian KA Bima remnya blong ! (09/10/00). Masih beruntung para penumpang kelas eksekutif itu masih diberi kesempatan eksekutif untuk menikmati udara segar.

Hal serupa pernah dialami masinis muda, Yanto, ketika membawa rangkaian barang KA Antaboga yang harus melewati tikungan tajam dengan pertaruhan hidup dan mati karena kecepatan keretaapi tidak dapat dikurangi dari 70 km/jam. Ternyata hal ini terjadi karena adanya selang rem yang pecah.

Ke-blong-an rem pula yang mengantar Adman bin Sunardi menemui Sang Khalik ketika KA 930 yang dibawanya tidak dapat berhenti di stasiun Rengasdengklok sebagaimana biasa, sampai akhirnya diberhentikan paksa oleh keretaapi pengangkut batubara dari arah lawan.

Mesin dan Lain-lain

Pada setiap lokomotif yang baik terdapat 2 handle, sehingga untuk maju ke satu arah dan sebaliknya lokomotif tidak perlu diputar. Masinis cukup pindah posisi di handle sebelah kanan.

Namun pada beberapa kasus, handle kanan tidak dipakai karena mati ataupun bahkan tidak ada (10 %). Hal ini akan sangat mengganggu, masinis harus duduk di sebelah kiri, sementara keretaapi berjalan di sepur kanan. Akibatnya pandangan masinis ke rambu-rambu yang berada di sebelah kanan terganggu.

Seperti diberitakan Suara Pembaruan (25/10/01) bahwa sebelum mengalami kecelakaan di sebelah barat stasiun 420 Rengasdengklok, KA keretaapi yang dikendalikan Adman bin Sunardi mengalami beberapa kali kerusakan mesin.

Kerusakan mesin pernah juga dialami lokomotif putih yang membawa KA Parahyangan subuh-subuh dari Bandung (11/09/00). Beberapa meter setelah melewati terowongan Sasaksaat, tiba-tiba mesin mati. Masinis berusaha menghidupkan mesin, keretaapi berhasil maju beberapa meter.

Akhirnya terpaksa keretaapi di-gerolong-kan menuju stasiun Maswati. Namun apa mau dikata, tepat di atas jembatan yang menghubungkan dua bukit antara Sasaksaat dan Maswati, keretaapi berhenti. Tiupan angin sangat terasa menggoyang-goyangkan rangkaian padat penumpang.


Penutup

Anggota Komoisi IV DPR, Ir. H. M. Rasyid Hidayat, menyarankan agar infrastruktur keretaapi yang sebagian besar merupakan peninggalan penjajahan Belanda untuk dikaji ulang (Liputan 6 Petang, 25/10/01). Namun menurut pengamatan Penulis, justeru rentetan kecelakaan ini lebih banyak disebabkan oleh diabaikannya administrasi ala Belanda dan peralatan vital yang terdapat di lokomotif yang semuanya dibeli setelah Indonesia merdeka.

Lokomotif dengan segala administrasi perkeretaapian yang hampir semuanya tinggalan penjajah Belanda telah dirancang sedemikian detail sehingga segala bentuk kecelakaan keretaapi dapat dihindari semaksimal mungkin. Namun seiring beralihnya manajemen keretaapi kepada Bangsa Indonesia yang terkenal ‘anti ruwet’ maka banyak hal detail diabaikan. Mulai dari format-format yang tidak diisi lengkap sampai ketiadaan peralatan penting seperti speedometer, radio lokomotif dan dead man pedal sehingga di rangkaian besi yang meluncur, ribuan manusia tanpa sadar sedang menyabung nyawa.

Akan halnya hengkangnya speedometer dan radio lokomotif dari tempatnya bersarang, tentu saja bukan akibat ulah penumpang seperti yang terjadi terhadap nasib kipas angin baru di KA Tawangjaya (Kompas, 24/10/00). Karena penggunaan peralatan tersebut sangat terbatas, hanya untuk keperluan keretaapi.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar