Kamis, 11 Februari 2010

UJUNGAN

.… Salah satu keteladanan yang terlupakan …..


Darsum menari-narikan rotan yang ada di tangannya, tanpa aba-aba diayunkan langsung ke sasaran. Ujung rotan tepat bersarang di betis lawan. Seakan tanpa rasa sakit, Sumana balas mengincar mata kaki Darsum.

Ujungan, itulah tradisi adu kesatriaan yang biasa dilakukan masyarakat Sumbon dengan tetangganya Rancakitiran setiap panen sadon usai. Diawali oleh datangnya para penggembala dari pengembaraannya di tengah hutan selama musim hujan. Sapi dan kerbau menempati kandang yang lebih dekat dengan rumah penduduk, dan mencari makan rerumputan dan jerami di sawah-sawah. Penggembala Rancakitiran dan Sumbon menyatu. Keakraban para penggembala ini diwarnai senda gurau dan canda tawa. Termasuk di dalamnya ujungan bohong-bohongan, menggunakan batang kangkungan atau sebangsanya.

Ceria gembala yang memuncak membuat iri penduduk dari kedua kampung, mereka mulai berdatangan menggantikan posisi para gembala. Ujung yang digunakan sudah standar, rotan sebesar lengan bayi dan panjang setengah meter. Setiap hpenonton berduyun-duyun mulai dari yang besar sampai mereka yang masih dalam digendong. Para jagoan bergantian memamerkan kelihaiannya memainkan ujung dan membidik sasaran, mata kaki atau setidaknya betis lawan.

Sorak-sorai penonton selalu memeriahkan setiap suara yang ditimbulkan ujung di kaki lawan. Masing-masing memuji jagonya, tanpa dendam dan kebencian sekalipun mereka berdiri berdempetan dan sering bersikutan. Datang bersama, pulang berbarengan menjelang senja. Jagoan yang kalah merancang strategi dan pemenang siap untuk ditantang.

Ujungan adalah hiburan yang selalu dinantikan. Tidak heran kalau pengunjungnya terus membludak. Permasalahan mulai muncul ketika rintik hujan ikut menyambut senja. Ujungan harus berakhir di puncak keramaian, tak pelak perasaan tak puas berlanjut dengan atraksi kerikil terbang. Bandring mendesing melepaskan kerikil. Penduduk Sumbon berlari ke timur dan pendukung Rancakitiran hengkang ke kampungnya. Begitulah akhir acara hari itu dan seterusnya.

Sekitar satu minggu kemudian bukan hanya bandring yang menjadi senjata, alat bantu pertanian mulai keluar dari sarangnya. Bengkrong, pedangan, golok dan doran cangkul sering tak ketinggalan ikut meramaikan angkasa kedua kutub setiap akhir ujungan.

Patut dicatat bahwa permusuhan ini hanya terjadi di tengah sawah yang menjadi arena ujungan dan rentang waktunya adalah saat itu, berbatas maghrib hari itu. Tidak pernah terjadi penyerbuan masyarakat Sumbon ke Rancakitiran ataupun sebaliknya. Keramaian ujungan yang identik dengan ujung musim kemarau pun menjadi ujung dari segala permusuhan.

Masyarakat Sumbon yang mempunyai sawah di Rancakitiran dapat dengan damai menggarap sawah, demikian juga sebaliknya. Serunya permusuhan di arena ujungan seakan tersilap oleh keinginan untuk secara bersama-sama mendapat berkah Dewi Sri.

Sayang suasana penuh kejantanan ini sekarang tinggal kenangan. Sumana dan Darsum adalah dua diantara saksi hidup dari kenangan masa lalu itu.

Sekarang sudah berubah, dimana-mana di Indramayu ini diliputi oleh perkelahian massal yang sama sekali jauh dari suasana sinatria. Serbu sana, serang sini, tanpa awal yang jelas dan tiada ujung yang pasti. Ironisnya, permasalahan ataupun barang yang diperebutkan sama sekali tidak jelas apalagi pasti.

Hanya satu yang pasti dalam satu tawuran, yaitu jatuhnya korban yang tidak pernah tahu pasti apakah mereka gugur sebagai pahlawan atau hanya seonggok bangkai yang dibiarkan terkulai di tepi jalan. Demikian pula harta benda dan aset lainnya berceceran seakan tiada berharga, hancur dengan sia-sia.

Berbagai upaya mengatasi timbulnya tawuran pun seakan tidak pernah mempan. Usaha keras itu selalu berakhir dengan satu kata, tawuran.

Berkaca dari kejadian masa lalu, terlepas apakah ujungan itu adalah strategi devide et impera Wong Londo agar masyarakat kita selalu saling curiga, mungkin tidak ada salahnya kalau arena sinatria adu kekuatan dimunculkan kembali. Pada waktu dan tempat yang pasti. Di tengah sawah yang luas dan setelah panen sadon, menjelang akhir musim kemarau.

Ada dua keutungan utama lokalisasi arena keributan ini, yaitu munculnya satria-satria yang sebenarnya, sedangkan para pengecut yang hanya berani ramai-ramai bikin ribut akan kalang kabut. Kerusakan perkampungan yang selalu mengiringi tawuran dapat dihindarkan, kalau ada pengrusakan hunian masyarakat sudah dapat dipastikan adalah kelakuan para pengecut yang tidak bertanggungjawab dan sepantasnya dijawab tegas dengan garis hukum yang berlaku.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar