Rabu, 10 Februari 2010

TARLING

Keprihatinan sepuluh tahun lalu yang jadi kenyataan ....


Orang yang tidak tahu sejarah akan dihukum oleh sejarah itu sendiri.
(George Santayana)

Pada tahun 1996, tiba-tiba terjadi suatu peristiwa yang benar-benar mengejutkan dunia kesenian di negeri maha artistik ini. Sintren atau di beberapa desa di Indramayu disebut juga sebagai laisan, sebuah seni tari yang telah pupus lebih dari 20 tahun bangkit dari kuburnya.

Solasi soliandana
Menyan putih ngundang Dewa
Ana dewa dening sukma
Widadari temurunna

Salah satu lagu wajib sintren itu berkumandang kembali mengawali setiap pertunjukkan. Sedikit berbeda dengan periode sebelumnya, lagu-lagu bernuansa mantera itu tidak lagi beriring bumbung bambu, kuali tanah dan suara kecrek rangkaian tutup botol tetapi terdiri dari gitar, suling, gendang dan beberapa peralatan modern lainnya.

Sampai di sini, masih wajar bila ada yang menyebut sebagai kreasi yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Pangsa pasar mereka adalah anak-anak muda yang lebih suka dengan irama dang-dut, sehingga kesenian dilekukkan sedemikian rupa agar dapat diterima oleh mereka semua.

Mungkin itulah bentuk alternatif, sebuah kreasi yang sangat sulit diterima generasi tua tetapi menjadi daya tarik anak belia yang saat itu menjadi pasar yang diharapkan. Sintren mendapat pulasan modern sehingga dapat diterima komunitas yang saat itu mengagungkan bendera modern dan membuang habis cap kuno dari jiwa mereka.

Kebebasan berkreasi ternyata tidak sampai di situ, lambat-laun pakem yang seharusnya mengerem tidak pakem lagi. Kreatifiitas menjadi kebablasan. Akankah ini termasuk alternatif agar sintren tetap terus menembus pasar ?

Seperti sudah sama-sama dimaklumi, bahwa sintren terlahir dari jiwa-jiwa masyarakat yang ingin terbebas dari segala belenggu penjajahan. Pesan sintren yang bisu, menggambarkan kebiasaan masyarakat yang hanya bisa memendam keinginan untuk merdeka itu, karena selalu sadar akan mara bahaya yang akan menimpa apabila terdengar oleh penjajah.

Dalam setiap awal pertunjukkan sintren dengan mata tertutup dan tangan terikat kuat dengan saputangan ditutup kurungan bersama pakaian dan perhiasan. Setelah lagu-lagu magis dikumandangkan, ajaib, sintren masih dalam keadaan mata tertutup dan tangan terbanda telah mengenakan pakaian lengkap dengan asesoris dan tata rias kecantikan wajah.

Hanya makhluk dalam kurunganlah yang tahu ketika sintren bantuan siapapun mengenakan kacamata hitam yang disediakan ataupun melepas tangannya dari ikatan. Selanjutnya saputangan bukan lagi menjadi penghambat tetapi malah dijadikan alat untuk dilambai-lambaikan dalam tarian hampa sadar. Sebuah tarian kebebasan, bebas dari segala gangguan, sehingga apabila ada benda menyentuhnya (biasanya sarung yang di-sawer-kan penonton) akan membuat sintren tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri. Tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali kepulan dupa dan secarik lirik :


Godong kilaras
Ditandur ning tengah alas
Paman bibi aja maras
Dalang lain njaluk waras

Kreatifitas anak muda seperti diceritakan terdahulu itu berani juga menembus pakem. Sintren atau dalang lais awalnya saja menggunakan aturan main, seterusnya disawer puluhan sarung sekalipun akan tetap lihai memainkan goyangannya. Hal ini menunjukkan bahwa mereka menari di alam sadar. Berarti telah jauh melenceng dari pakem yang digariskan.

Selain sakti terhadap barang lemparan, sintren modern pun tahan sentuhan. Penonton yang bebas menari-nari bersama sintren kadang berbuat tidak senonoh menyelipkan sejumlah uang. Dalang lais bukannya pingsan tetapi malah membalas dengan senyuman.

Saat itu sintren bukan hanya sempat melebihi populeritas tarling, sandiwara dan orkes dangdut yang bayarannya mahal tetapi juga menggilas video, film atapun hiburan alakadarnya (tape). Bayaran murah-meriah, bisa ditanggap kapan saja adalah salah satu keunggulannya.

Namun siapa nyana kalau kejayaan itu merupakan akhir dari reinkarnasi sintren. Pemerintahan saat itu, dengan mengatasnamakan ketertiban umum tidak jarang mengobrak-abrik atau membatalkan pertunjukkan yang akan berlangsung. Kalau sudah begitu, dalang lais dan nayaga hanya bisa meratapi nasib sedangkan penonton adu jotos untuk menebus ketidakpuasan. Hal terakhir ini akhirnya menjadi bumerang pertunjukkan sintren itu sendiri.

Keberadaan sintren secara tragis lenyap bersama kepudaran populeritas sesaat yang dinikmati. Sintren ditelan bumi tanpa sisa yang ditinggalkan kecuali gambaran di benak anak muda bahwa sintren adalah seperti yang mereka lakukan dan sama sekali berbeda dengan dongeng kakek nenek mereka yang telah renta dimakan usia.

Sintren mati tragis karena dalam kehidupannya yang kedua tiada pernah tahu sejarahnya sendiri ….

Sepertinya kesenian lain khas Indramayu khususnya tarling akan mengalami hal serupa bila tidak diantisipasi sejak dini. Tarling yang sekarang telah jauh melenceng dari pakem yang digariskan semula.

Bukan berarti harus mengacu pada namanya yang tidak lain dari kependekkan gitar dan suling sebagai alat utama pengiring, masuknya alat-alat modern sebagai pelengkap akan sangat berarti sebagai penghargaan terhadap kreatifitas. Dominasi gitar dan suling dapat saja diganti dengan organ, gendang bisa ditendang oleh drum tapi tidak untuk ketentuan yang telah berlaku dan menjadi pakem tarling, yaitu dalam pertunjukkan selain dialunkan lagu-lagu hiburan juga dipentaskan drama kehidupan masyarakat.

Ketepatan waktu adalah suatu prestasi yang selalu dijunjung tinggi. Pertunjukkan siang dibuka nenalu jam 09.00, lagu-lagu dan drama sampai datangnya istirahat menjelang dzuhur dan berlanjut sampai lepas ashar. Sedangkan malam hari dimulai jam 19.00 dengan berbagai pidato dan pesan-pesan, kemudian lagu-lagu dan diteruskan dengan drama sampai menjelang fajar tiba. Dalam drama juga diselingi lagu-lagu dan lawakan.

Pembagian waktu yang semula begitu ditaati mulai bergeser dengan dominasi lagu-lagu. Semula dianggap tidak terlalu masalah ketika masih sempat muncul secuil drama di akhir pertunjukan. Mereka yang tidak lagi tertarik dengan drama mulai mengejawantahkan diri sebagai tarling dangdut modern, suatu bentuk tarling alternatif untuk menembus kebisuan pasar.

Masyarakat pun lama-kelamaam menjadi mahfum ketika harus menunggu nayaga seharian karena mereka baru datang setelah azan dzuhur berkumandang. Pertunjukkan tidak lagi sempat menampilkan drama karena kekurangan waktu, hanya beberapa lagu dangdut sudah cukup. Di malam hari pun penonton harus bersabar atau memanfaatkan untuk kegiatan lain dari yang positif sampai menenggak mnuman demi menunggu pertunjukan.

Irama lagu bukan lagi yang seiring dengan instrumen dahulu, praktis semua berbau dangdut. Seiring dengan penampilan lagu-lagu dan upaya untuk memuaskan penonton maka agar tidak monoton, hal-hal yang menurut pakem tidak patut ditampilkan pun jadi tontonan. Pakaian seronok dan goyangan yang hanya pas dipersandingkan dengan tarian Michael Jackson adalah pemandangan yang biasa atau dibiasakan di atas panggung. Seakan hanya satu yang mereka tuju, kepuasan konsumen !

Betapa hebatnya mereka, membawakan lagu-lagu berbahasa Indramayu menembus dominasi Melayu. TVRI, TPI, RCTI, SCTV, ANTeve bahkan Indosiar menjajakan kegemulaian meraka dalam pakaian super ketat. Seniman Indramayu memang hebat.

Tanda-tanda ajal sudah muncul, tanpa antisipasi tarling dangdut modern tinggal menghitung hari. Bukan hanya tarling dangdut modern yng wafat tetapi juga tarling secara keseluruhan akan terkena imbasnya.

Para pengusung tarling dangdut modern yang telah menghalalkan masuknya peralatan modern dan penampilan modern (kalau tidak boleh dibilang kebablasan menjadi super primitif) telah membuat teknologi yang lebih baik dapat mengepung mereka. Ternyata saat ini kombinasi suara seabreg peralatan tarling modern tidak lebih baik daripada sebuah organ. Nayaga yang berbilang puluh cukup diganti 10 jari dan dua kaki.

Organ-organ sangat cepat memasyarakat, selain praktis ongkos tanggapnya sangatlah murah. Soal kualitas, mulai dari lagu sampai penampilan super berani tidak akan kalah dengan tarling dangdut modern.

Akankah ini merupakan karma buat pengusung tarling dangdut modern yang tidak pernah memahami pakem tarling yang diwariskan para leluhur ?

Masih belum terlambat untuk kembali ke jalan yang benar walaupun ini terlalu berat. Peran Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu tentu sangat diperlukan untuk menjaga agar ‘cagar budaya’ tarling tidak tenggelam makin dalam pada tuts-tuts organ setelah ditekan jari-jemari dan diinjak-injak kaki Sang Operator atau terpental jauh tak kuat bertahan dalam goyangan artis yang makin heboh.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar