Kamis, 11 Februari 2010

SELAMAT JALAN, PAHLAWAN KERETAAPI

.... Saya suka sekali ngomongin soal keretaapi, karena tahun 2000 hampir setengah tahun bolak-balik Jakarta-Haurgeulis naik di lokomotif. Pagi dan sore, setiap hari ….

Masih teringat di kepala kejadian mengerikan menjelang fajar awal bulan lalu. Walaupun kepopulerannya sempat tergeser oleh kasus WTC, musibah yang sangat memalukan bagi insan perkeretaapian Indonesia itu menelan korban yang tidak sedikit.

Lebih memalukan lagi, belum tuntas permasalahan dan sebab musabab kejadian itu, peristiwa kecelakaan keretaapi terulang di tempat yang sama. Tawang Mas yang menuju Semarang anjlok, hanya satu hari setelah keretaapi bergerbong kelas eksekutif Argobromo anjlok di Ciganea. Lebih mengejutkan lagi ketika tiba-tiba terdengar berita bahwa Jum’at dinihari (25/10/01) KA Rangkasbitung – Jakarta bertabrakan dengan Keretaapi pengangkut batubara di Rangkasbitung. Dapat dipastikan bahwa kejadian ini menambah rentetan kecelakaan keretaapi yang sering tidak pernah jelas ujung pangkalnya.

Beruntunglah masinis yang saat itu bertugas di Argogede dan Tawang Mas, mereka tidak dituduh-mati sebagai penyebab kecelakaan. Nasib mereka jauh lebih baik daripada Suwanto, selain masih diberi kesempatan menghirup udara segar, PT KA pun makin sadar bahwa ada sebab lain selain kelalaian masinis yang menjadi penyebab kecelakaan.

Kesalahan pada peralatan memang sudah disadari namun sering tidak ditindaklanjuti bahkan terkesan ditutup-tutupi.

“….., dalam musibah itu masih ada hal yang misterius. Misalnya apa yang terjadi dengan lokomotif Cirebon Ekspres, serta mengapa masinis melakukan pelanggaran sinyal. Misteri tersebut masih belum terungkap, karena belum ada orang yang bisa dimintai keterangan.” Kata Direktur PT KAI, Badar Zainie, sebagaimana dikutip PR 21/09/2001.

Tak pelak almarhum Suwanto, masinis yang dua tahun lagi pensiun jadi bahan umpatan keluarga dan para korban. Dugaan sementara yang disampaikan jajaran keretaapi yang berlanjut sampai Menteri Perhubungan seperti biasa menjadi tuduhan yang menyakitkan keluarga masinis yang ditinggalkan.

“Siapapun yang kenal beliau, tidak akan percaya kalau Pak Wanto mengantuk.” ujar pembantu masinis bernama Misno, “Dia itu masinis yang paling disiplin, taat pada agama dan soal melek, beliaulah jagonya.”

Beruntunglah Pak De, begitu Suwanto dipanggil tetangga sekitarnya, adalah manusia ramah yang ditokohkan di lingkungannya. Kalau tidak, di zaman yang serba bakar dan hancurkan ini, tentu sangat membahayakan keluarganya. Hal semacam ini hendaknya menjadi bahan pertimbangan pihak terkait termasuk Menteri Perhubungan agar tidak mudah melontarkan praduga, yang di mata masyarakat awam selalu saja berubah wujud menjadi tuduhan.





Bagi masyarakat awam, alasan masinis ngantuk akan mudah sekali diterima. Tetapi bagi yang sudah tahu dapur lokomotif akan segera mengatakan, “Tidak !” Dalam setiap lokomotif terdapat benda mirip anak kura-kura, namanya Dead Man Pedal (DMP). Dari namanya saja sudah dapat diketahui akibat yang ditimbulkan apabila mengabaikannya. DMP sudah di-set, setiap 60 detik. Artinya apabila terus menerus diinjak selama 60 detik akan terdengar tanda bahaya dan seterusnya keretaapi berhenti. Demikian juga kalau terus dilepaskan. Jadi harus diinjak dan dilepas terus. Coba, bagaimana masinis bisa ngantuk kalau ada kewajiban seperti ini. Kecuali DMP-nya memang tidak aktif, kalau itu terjadi kesalahan bukan terletak pada masinis tetapi tanggungjawab bagian peralatan.

Kesalahan pertama memang selalu dijatuhkan kepada masinis, itu harus disadari oleh semua masinis. “Padahal,” timpal Yanto yang juga masinis, “Saya pernah hampir mati gara-gara rem kereta barang yang blong. Menikung dengan kecepatan 70 km/jam. Sangat mengerikan. Tapi tetap saya yang diomelin Kepala Stasiun. Dikira ugal-ugalan.” Pengalaman Yanto yang lain adalah ketika membawa keretaapi Gumarang yang gerbong belakangnya anjlok gara-gara wesel yang kurang beres. “Lagi-lagi masinis jadi bahan omelan.” Sikap Yanto yang bersikeras tidak salah akhirnya membuat Kepala Stasiun terpaksa mengalah dan mengakui kesalahan anak buahnya, Juru Sinyal yang membolehkan Gumarang melewati wesel yang masih belum beres.

Human error, lagi-lagi human error. Begitulah alasan jajaran persepuran yang bukan hanya membuat kesal aktifis YLKI tetapi juga para masinis yang selalu dipojokkan. “Kesalahan karena peralatan selalu disembunyikan,” lanjut Yanto.

Ucapan Yanto memang tidak semuanya salah, dari pengamatan penulis selama enam bulan dari satu lokomotif ke lokomotif yang lain menunjukkan kebenaran ucapan Yanto. Peumpang keretaapi kelas ekonmi benar-benar dalam bahaya, 80 prosen lebih lokomotif yang membawanya tidak dilengkapi dengan speedometer. Padahal speedometer merupakan alat vital bagi masinis untuk mengetahui kecepatan pada saat tikungan tajam, sinyal kuning ataupun tanjakan. Fungsi speedometer tidak dapat diganti feeling, lagipula bagaimana terbentuk feeling yang tajam kalau hanya seperlima lokomotif saja yang dapat memberitahu masinis kecepatan keretaapi yang dibawanya. Lebih parah lagi bahwa peralatan sangat penting di keretaapi yaitu dead man pedal (namanya saja serem), sering tidak berfungsi.

Pengamatan penulis ini sejalan dengan penuturan Karim, masinis yang 3 tahun lagi pensiun. “Saya bisa tahu kecepatan keretaapi melebihi batas dengan cara saya sendiri,” katanya memulai, “Keluarkan tangan, apabila terbawa arus angin itu pertanda kecepatan harus dikurangi.” Hal ini harus dilakukan karena banyak speedometer tidak berfungsi. “Dead man pedal pun sering tidak di-set, sehingga bebas saja dan tidak perlu diinjak.”

Pihak yang bertanggungjawab terhadap kedua peralatan vital itu adalah bagian peralatan di Dipo yang sudah merasa lepas dari tanggungjawab setelah mengisi format-format administrasi lokomotif dengan kata “baik” walaupun keadaan sebaliknya yang terjadi ketika masinis mulai bertugas.

Bukan perbuatan yang hina bila insan perkeretaapian mengatakan banyak peralatan tidak berfungsi ataupun di bawah standar mutu dibanding harganya. Bahkan mengaku tidak tahu menahu kecepatan Empu Jaya ketika menabrak lokomotif yang akan menarik Cirebon Ekspress, karena bukan tidak mungkin almarhum Suwanto pun tidak pernah tahu kecepatan keretaapi yang saat itu dimudikannya.

Demikian juga masinis yang baru saja meninggal pada tabrakan dini hari tadi, hendaknya tidak langsung dituh sebagai penyebab kecelakaan. Namun jauh dari harapan pula kalau kematian masinis menyebabkab penyelidikan sebab-musabab kecelakaan berhenti sampai di situ saja dengan alasan tidak ada pihak yang bisa dihubungi (maklum meninggal) seperti kasus Suwanto dulu.

Selamat jalan Pak De, semoga keluarga yang ditinggalkan tidak terganggu oleh celoteh para pimpinan yang selalu ingat almarhum setiap makan sate, kambing hitam !

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar