Sabtu, 13 Februari 2010

OTONOMI DAERAH TUKANG SATE

.... Sewindu lalu, tulisan ini dimuat di RADAR Cirebon ....


Otonomi daerah sebenarnya bukanlah hal yang baru, sudah sejak zaman penjajahan Belanda wewenang ini sudah pernah diatur. Demikian juga ketika Jepang berkuasa seumur jagung sampai akhirnya Indonesia menikmati dan mengisi kemerdekaan. Kesemuanya merupakan proses yang berkesinambungan dan menunjukkan adanya keinginan untuk melaksanakan desentralisasi yang rasional dan setapak demi setapak mengarah kepada moderernisasi pemerintahan dan administrasi negara.

Namun, sampai umur republik ini menembus angka emas ternyata otonomi daerah hanya selalu berkutat di perpustakaan dan lembaga pengkajian. Untuk menetapkan prioritas pembangunan saja selalu terjadi gotot-gototan. Memang tidak pernah ada akhir untuk belajar, tetapi ada saatnya untuk penerapan sehingga otonomi yang di-koar-kan bukan terus jadi wacana yang lama kelamaan akan menjadi bencana.


Otonomi di Zaman Penjajahan

Dua penjajah yang pernah menguasai Nusantara memperkenalkan otonomi dalam kekuasaannya. Seabad lalu, di Hindia Belanda berlaku Decentralisatie Wet 1903 yang kemudian diundangkan sebagai Ordonansi Dewan-Dewan Daerah (Locale Raden Ordonantie) dalam Lembaran Negara (Staatblad) 1905 No. 181.

Dalam pelaksanaannya undang-undang tersebut hanyalah pelengkap penderita, karena yang diterapkan justeru lebih berbau sentralistik. Oleh karena itu setelah hampir dua dekade hanya menjadi bahan kajian, undang-undang itupun diganti dengan Bestuurshervormingswet 1922 dengan peraturan pelaksanaannya berupa Province Ordonantie yang memuat ketentuan tentang pembentukan daerah otonom propinsi, Regenschaps Ordonantie yang mengatur pembentukan daerah otonom kabupaten dan Stadsgementee tentang pembentukan daeraj otonom kotapraja di Jawa dan Madura.

Ketika Nippon mendarat, maka berdasarkan peraturan yang berlaku saat itu, yaitu Peraturan Pemerintah Pendudukan Jepang, Osamu Sirei No. 27 tahun 2602 (1942), pulau Jawa dibagi dalam beberapa keresidenan. Pemerintahan di bawah keresidenan adalah Kotapraja dan Kabupaten. Kabupaten terdiri dari beberapa Kecamatan dan selanjutnya terbagi dalam desa/kelurahan. Dengan demikian jabatan Gubernur dihapuskan karena tidak ada lagi pemerintahan propinsi.

Ada dua pelajaran yang bisa diambil dari kedua kolonial ini, yaitu bahwa undang-undang yang telalui perdebatan panjang lebar sekalipun lebih layak masuk rak perpustakaan dan bila kekuasaan pada suatu pemerintahan berganti maka yang terbaik adalah mengganti undang-undang buatan pendahulunya sama sekali.

Lika-liku Otonomi Daerah di Negara Merdeka

Berselang jam setelah proklamasi dikumandangkan, para Pendiri Bangsa pun memproklamasikan ketentuan yang mengatur pemerintahan daerah sebagaimana terdapat pada Pasal 18 UUD 1945.

Sehari setelah UUD 1945 ditetapkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengeluarkan ketetapan bahwa untuk sementara NKRI terbagi dalam 8 propinsi. Daerah propinsi dibagi menjadi beberapa Keresidenan. Kedudukan Kota, Daerah Swapraja dan sebagainya masih diberlakukan untuk sementara waktu. Bila ditarik dengan zaman sebelumnya, maka pembagian wilayah ini merupakan kombinasi dari tinggalan Belanda dan Jepang.

Namun 3 bulan kemudian, dengan berlakunya UU No. 1 Tahun 1945 maka sebelum pemerintah propinsi menjalankan tugas dan fungsinya atau bahkan berbenah diri, keberadaannya pun dihapus. Sebagai Daerah Tingkat I adalah Keresidenan dan Kabupaten/Kota sebagai Daerah Tingkat II.

Upaya peniadaan propinsi sebagai daerah otonom adalah sejalan dengan Konsepsi Hatta yang menyatakan bahwa, “Institut propinsi otonom itu adalah semata-mata bikinan pemerintah negeri Belanda. Dan dengan tidak berpikir panjang, kita telah meneruskan saja ciptaan Belanda itu. Akan tetapi walaupun bikinan Pemerintah Belanda, kalau ia ternyata baik, tiada halangan untuk kita teruskan. Tidak demikian halnya dengan institut propinsi otonom.”

Namun pada perkembangannnya, upaya penyempurnaan desentralisasi dan otonomi daerah semakin jauh dari konsepsi yang dilontarkan Bung Hatta. Ironisnya, saat itu beliau masih duduk di kursi Wakil Presiden mendampingi Bung Karno. UU No. 1 Tahun 1945 pun digantikan oleh UU No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah yang pada pasal 1 ayat (1) dari undang-undang tersebut menyatakan dengan tegas adanya 3 tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi, Kabupaten (Kota Besar) dan Desa (Kota Kecil), Nagari, Marga, dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya sendiri.

Jadi menurut undang-undang ini Desa disejajarkan dengan Kota Kecil sebagai Derah Tingkat III di bawah Propinsi dan Kabupaten atau Kota Besar yang masing-masing sebagai Daerah Tingkat I dan II.

Ketika Republik Indonesia menjadikan UUDS 1950 yang menganut faham liberalisme sebagai landasan materiil maka undang-undang tentang Pemerintahan Daerah yang baru pun diberlakukan. UU No. 1 Tahun 1957 ini masih membagi wilayah NKRI menjadi 3 tingkatan daerah otonom, yaitu : Daerah Tingkat ke-I, termasuk Kotapraja Jakarta Raya; daerah Tingkat ke-II, termasuk Kotapraja dan Daerah Tingkat ke-III.

Sekalipun tidak ditegaskan bahwa Daerah Tingkat ke-III yang dimaksud adalah Desa seperti UU yang digantikannya namun dari memori penjelasan umumnya dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud Daerah Tingkat ke-III itu adalah Desa atau kesatuan masyarakat hukum sejenis dengan nama lain (Sujamto, 1984).

Suasana hati Bung Hatta tentu risau dengan hal ini sehingga menuangkannya dalam tulisan berjudul Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957 sebagaimana dikutip The Liang Gie, 1971 dalam Sujamto, 1984), “Apabila susunan otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan mengurus terlalu banyak tersangkut di atas dan sedikit yang sampai ke bawah. Dalam ketentuan yang semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat daripada otonomi itu akan terletak di propinsi. Dalam keadaan semacam ini otonomi kabupaten bisa terjepit. Lambat-laun orang di daerah memandang propinsi itu sebagai suatu konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya menjadi propinsi tersendiri.”

Dengan berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, maka dipandang perlu mengadakan perubahan dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah dengan mengganti undang-undang tersebut, terutama untuk menghilangkan kelemahan-kelemahannya dan menyesuaikan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang akhirnya melahirkan UU No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah.

Sebagaimana undang-undang sebelumnya maka UU No. 18 Tahun 1965 ini pun menganut adanya 3 tingkatan daerah otonom, yaitu Propinsi dan/atau Kotaraya sebagai Daerah Tingkat I, Kabupaten dan/atau Kotamadya sebagai Daerah ingkat II dan Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III.

Untuk mempersiapkan terbentuknya Kecamatan dan/atau Kotapraja sebagai Daerah Tingkat III maka diterbitkan juga UU No. 19 tahun 1965 tentang Desapraja sebagai Bentuk Peralihan untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Namun sampai akhir hayatnya, undang-undang ini tidak pernah terlaksana sama sekali.

Seiring dengan perubahan iklim politik ke pemerintahan Soeharto, maka undang-undang tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah yang baru pun diberlakukan. Prinsip otonomi seluas-luasnya yang selama ini dianut oleh UU tentang pemerintahan daerah sebelumnya dihapus begitu saja dan digantikannya dengan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab.

Dari sudut politis, mudah dipahami bahwa perubahan prinsip dan orientasi yang terlihat dari UU No. 18 tahun 1965 ke UU No. 5 Tahun 1974 tersebut akan menempatkan azas desentralisasi dan otonomi daerah pada posisi yang dipandang tidak akan membahayakan keutuhan Negara Kesatuan, yang berdasarkan UUD 1945 dengan doktrin Wawasan Nusantara (Pamudji, 1990).

UU No. 5 Tahun 1974 juga menganut 2 tingkatan daerah otonom, yaitu Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II. Sebutan Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan itu bukanlah daerah otonom, akan tetapi sebutan untuk wilayah administratif. Otonomi daerah pun dititikberatkan di Daerah Tingkat II.

Namun apa mau dikata, sampai seperempat abad berlakunya undang-undang ini otonomi daerah seperti yang diharapkan masih sangat jauh dari tercapai. Ketergantungan terhadap pemerintah pusat sedemikian besar, terutama dalam hal dana. Demikian juga kekhawatiran yang pernah disinyalir Bung Hatta benar-benar terjadi. Otonomi di Daerah Tingkat II hanyalah sebuah wacana yang dalam pelaksanaannya terjepit belas kasih Daerah Tingkat I.

Ketika gelombang reformasi bergulir, impian otonomi luas kembali bergelora. Pemerintahan Habibie menjawabnya dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Korbannya tidak tanggung-tanggung, Timor-Timur yang dibesarkan dengan dana triliunan rupiah dan dilindungi dengan ribuan nyawa akhirnya berdiri sendiri sebagai sebuah negara merdeka !

Ibu Pertiwi menangis namun cakaran di tubuhnya tidak juga usai. Aceh minta otonomi khusus demikian juga Papua, hak dan kewajiban pun lebih leluasa daripada kedudukan Timor-Timur sebagaimana tercantum pada Aturan Peralihan UU No. 22 Tahun 1999. Kalau sudah demikian, dapat diduga kelanjutannya.

Efek dari pemberlakuan otonomi daerah saat ini sedemikian terasa, bukan pada kemajuan daerah seperti yang diharapkan tetapi pada fanatisme yang menuju jurang perpecahan. Pemerintah Kabupaten dan Kota sedang dapat angin kemenangan sementara propinsi seakan dipandang sebelah mata.

Tidak heran kalau pada akhirnya para Gubernur sakit gigi dan berusaha dengan berbagai cara mengobatinya. Demikian juga para Bupati dan Walikota tidak akan rela giginya yang kuat dan sehat dicabut begitu saja. Oleh karena itu, ketika isyu revisi UU No. 22 tahun 1999 digulirkan maka kecurigaan diarahkan kepada Gubernur yang ingin kembali mencakarkan kukunya.

Sudah dapat dipastikan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 akan bernasib sama dengan para pendahulunya. Meratap sedih menyaksikan tangan dan kakinya bergentayangan tak terkontrol, menunggu ajal.

Ternyata lebih dari setengah abad para negarawan Indonesia merdeka ini mengambil mata kuliah otonomi, tidak juga lulus baik ujian lokal apalagi ujian negaranya. Entah sampai mereka harus terus tekun di atas meja sekalipun tidak pernah lulus ujian apalagi menerapkan ilmu yang diperoleh.


Penutup

Dalam dunia tukang sate, undang-undang yang mengatur otonomi daerah ibarat arang yang membara, negeri yang dibangunnya diibaratkan daging yang tertusuk lidi dan para tukang sate merupakan pelaku penentu lezatnya sate yang dihasilkan.

Pemerintahan Orde Lama yang harus berhadapan dengan berbagai intrik adalah bara api pemanggangan yang secara bergantian disiram bensin, solar, minyak tanah dan sebangsanya. Daging yang di atasnya bukan hanya kepanasan tetapi juga keasapan. Tukang sate terus membolak-balik tusukan tetapi sate yang dipanggang sulit mencapai matang, tetap mentah, hanya warna dan baunya yang berubah. Mereka yang berkeyakinan bahwa sate setengah matang ini bisa membangkitkan gairah pun sulit untuk bisa menyantapnya.

Belajar dari kegagalan pendahulunya, Orde Baru memasang langseng di atas perapian. Api membara, air di langseng mendidih dan daging sate pun matang. Enak rasanya, bisa dinikmati mulai oleh rakyat kecil sampai pejabat. Tapi tetap bukan sate seperti yang diharapkan, tidak ada rasa gosong bekas terlalap api. Hanya daging kukusan !

Euphoria reformasi adalah angin yang kencang bertiup, arang makin membara. Tukang sate kebingungan, api melahap daging yang teriak minta dibalik. Menyantap lidi yang sudah menghitam. Sate yang dihasilkan kelewat matang bahkan terlalu naif untuk masih dapat disebut sebagai sate. Tikus lapar pun sudah tidak bergiming, bau dagingnya saja sudah lenyap. Bagaimana bisa disebut sate ?

Pemerintahan Megawati pun tidak sanggup menjadi tukang sate yang baik, bahkan hendak balik ke teknik kukus warisan Putera Kemusu.

Ternyata proses pembelajaran yang sudah teramat panjang ini masih belum bisa menjadikan impian arang membara tertiup hempasan kipas membakar minyak daging yang menggelora, sedangkan tukang sate membolak-baliknya dengan sabar dan telaten. Sate yang nikmat disantap siapa pun yang berkenan.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar