Sabtu, 13 Februari 2010

SERMA - SERKA

.... tulisan sepuluh tahun lalu ....


Dalam hubungan kemiliteran sudah pasti dikenal adanya kaitan antara Sersan Mayor dan Sersan Kepala. Sekalipun sudah menyandang pangkat “kepala” toch tidak selalu harus menjadi pimpinan, masih ada Sersan Mayor yang satu tingkat di atasnya. Sersan dengan tiga bengkok kuning itu harus hormat kepada yang berkuning empat, terlepas dari kata kepala yang menjadi sebutan pangkatnya.

Tapi terkadang Sersan Kepala dapat juga kesempatan membuktikan ke-“kepala”-annya alias menjadi Boss. Saat bersepeda motor dengan sang atasan, pasti Serka bisa titituit sementara Serma mesti nyetir diterpa angin dan bersusah payah mengendalikan stang !

Hubungan Serma-Serka juga berlaku di dunia sipil. Bukan karena pengaruh kekuasaan Dwifungsi ABRI yang kelewat berhasil memiliterkan pemerintahan sipil tetapi lebih dominan akibat sistem kepemimpinan yang diterapkan pucuk pimpinan, terlepas dari unsur sipil atau militer mereka berasal.

Semisal di Kabupaten Abakadabra, Pakpatinya menghendaki para “anak buah” selalu ada di sekelilingnya. Sehingga bila mencari seorang Kepala Dinas maka cukup menanyakannya kepada Sespri Pakpati. Apa hubungannya ? Lantas, dimana Pakpati berada, pastilah semua Kepala Dinas ngrubuti. Bila perlu disposisi surat ataupun tandatangan surat penting sekalipun harus dilakukan di hadapan beliau. Ketinggalan langkah sepatu Pakpati berarti kehilangan berkas promosi jabatan.

Tidak sampai disitu saja, semut-semut pejabat juga ngerubuti ketika Pakpati selesai main tenis. Kepala Dinas Industri dan Pemasaran mengelapkan handuk dan mengoleskan cologne, Kepala Badan Kepegawaian Daerah dengan semangat memijat daerah badan dan kepala, sedangkan sekumpulan pucuk pimpinan yang lain dimotori Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Daerah selalu sibuk berdiskusi menyusun rencana membangun daerah tertentu tubuh gede Pakpati yang mulai uzur.

Dari balik pagar lapangan tenis yang menjulang tinggi, masyarakat yang menyaksikan pertunjukan itu tertawa sinis. “Ternyata kehandalan mereka luar biasa, ilmu penghuni panti pijat tunanetra saja bisa dkuasai dengan baik !”

Pakpati menerapkan sistem kepemimpinan yang akhirnya dijiplak mati dalam lingkungan kantor masing-masing dan dikenal sebagai pola Serma-Serka. Para Kepala Dinas/Instansi yang dipercaya tidak lain korban garapan sekaligus pelaku, dan dengan super senang hati dan dengan berbagai cara meraihnya. Soal kemampuan dalam bekerja, bukan syarat utama. Paling penting adalah Setor Muka dan Serahkan Kepala (Serma-Serka), semua akan selalu beres dengan sendirinya.

Mental seperti itulah yang menurut berita amat dibenci Bupati Indramayu. “Tunjukkan dengan Prestasi Bukan Menjilat !” Sebuah judul besar di sebuah kolom berita koran lokal. Yance rupanya tidak menghendaki pola kepemimpinan Pakpati Abakadabra di atas. Beruntunglah Indramayu yang sudah jauh terpuruk ini mendapatkan pemimpin yang demikian.

Namun dua kata selalu mengganjal di kepala setiap yang mendengarnya, “Apa bisa ?”

Mudah-mudahan statemen ini bukan sebagai jawaban atas berbagai kritik terhadap kepemimpinan para anggota kabinetnya, tetapi merupakan pola kepemimpinan yang akan terus dipegang selama duduk di Pendopo.

Mengurat Indramayu dari keterpurukan memang tidak mudah, apalagi dalam lima belas tahun terakhir di masyarakat sudah terasah rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintahan di daerah. Oleh kerena itu kalau pada tahun pertama ini hampir tidak ada perubahan, bisa dimaklumi sebagai warisan kepemimpinan lama, terutama dalam penentuan personil dalam kabinet. Bila tahun kedua masih ada kelambatan, patut mahfum sebagai resiko periode transisi. Keberhasilan sudah harus tampak pada tahun ketiga dan seterusnya.

Keberhasilan kepemimpinan seorang Bupati memang tidak bisa terlepas dari personil yang mendukungnya, mulai mereka yang ada di tepian jalan menjengkelkan pemilik kendaraan yang parkir, para penyapu jalan di bawah terik matahari sampai mereka yang menyapu surat jalan dari balik meja setengah biro dan selalu memerintahkan surat jalan berjalan-jalan. Secara langsung atau tidak, semua adalah penentu keberhasilan seorang kepala daerah.

Perangkat pemerintah daerah di Indramayu tidaklah sedikit. Sarjana berhamburan, Master puluhan dan satu-dua Doktor dalam keahlian yang spesifik. Tamatan SLTA ke bawah, sulit dihitung. Sumberdaya manusia yang berjejal ini terdaftar sebagai pegawai tetap, honorer dan sukwan. Sudahkah mereka ditempatkan pada posisi yang kata Mang Charles “The right man on the right place ?”

Sebagian orang menilai, dalam penempatan seseorang di jabatan tertinggi saja Bupati Indramayu sempat kecolongan. Benar atau tidaknya pernyataan ini, dapat segera tampak setelah beberapa lama Kabinet Yance berjalan. Untuk menghindari kesalahan yang sama maka perlu dtempuh langkah baru di bidang kepegawaian ini. Misalnya penataan kelembagaan kepegawaian dan tes kelayakan untuk menjaring bibit yang layak untuk diayak.

Masih seperti dahulu, di Indramayu segala urusan kepegawaian masih diurus oleh Bagian Kepegawaian Setda dengan kepalanya ber-Eselon III/a. Secara eselonering sama saja dengan Kepala Tata Usaha di Dinas/Instansi. Padahal tugas dan fungsinya menembus pagar pembatas institusi. Sudah pasti semakin banyak pegawai yang ditangani. Dengan peran yang semakin melebar ini maka akan lebih baik apabila stastusnya ditingkatkan.

Sudah saatnya posisi Bagian Kepegaiawan yang sekarang berada di bawah Asisten Administrasi Umum ditinjau kembali. Peningkatan status sudah sewajarnya diterima, keberadaanya disejajarkan eselon yang satu tingkat lebih tinggi sesuai dengan tugasnya yang makin berat. Misalnya dengan menjadi Badan Kepegawaian Daerah. Perubahan stastus ini tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap pola kerja dan berpuncak pada keberhasilan kinerjanya yang sangat menentukan keberhasilan personil pelaksana pemerintahan secara keseluruhan.

Banyaknya pertanyaan menggelitik yang disampaikan masyarakat bila terjadi pengangkatan pejabat tertentu adalah kejadian biasa. Masyarakat bisa menkritik, bahkan nylentik. Itulah salah satu bukti keberhasilan mata kuliah demokrasi yang berkembang di masyarakat secara otodidak. Namun alangkah baiknya apabila pemerintah daerah sudah punya sapu jagat untuk menjawab berbagai kritikan itu. Hasil Tes Kelayakan atau Psikotes atau istilah lainnya dengan bantuan lembaga psikologi dapat dijadikan alternatif.

Di Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat, para kandidat Eselon II misalnya harus menjalani tes kelayakan sekitar 3 hari penuh, sedangkan semua golongan III diberi kesempatan mengikuti Psikotes yang satu hari selesai. Hasil yang diperoleh ini dijadikan pertimbangan utama untuk menduduki jabatan. Hasilnya, kontraversi pengangkatan pejabat yang menjadi bahan celoteh menarik di lapau selalu berakhir dengan kalimat, “Hasil tesnya memang bagus.”

Dapat diduga bahwa pada APDB 2002 tidak ada anggaran untuk itu. Namun kebijakan yang pernah ditempuh Kabupaten Tanah Datar bisa diintip, semua peserta bayar sendiri ! Bagi golongan III cukup Rp. 80.000,- sedangkan untuk tes merebut posisi eselon II 5 kali lebih mahal.

Bila Pemerintah Kabupaten Indramayu konsisten dengan hasil tes itu, maka akan dengan sangat mudah menjaring mereka yang berminat ikut test. Namun bila sebaliknya terjadi, sekalipun hanya satu atau dua kasus maka tercorenglah citra yang sedang dibentuk.

Selain itu, sudah saatnya Indrmayu tidak lagi jadi kandang kelinci percobaan. Pendirian lembaga-lembaga harus sesuai dengan kebutuhan, bukan untuk menyelamatkan segelintir orang dari kehampaan eselon. Hasilnya bisa diduga, satu orang selamat, beberapa orang merasa nikmat, seluruh masyarakat Indramayu merasakannya sebagai tanda-tanda kiamat !

Indramayu memang harus berbenah, faktor utama yang harus lebih dahulu digarap adalah sumberdaya manusia. Peningkatan status pengurus kepegawaian misalnya dan penempatan personil yang tepat di tempat yang layak merupakan kunci awal yang patut dipertimbangkan.

Siapapun tidak mengharapkan gaya kepemimpinan Serma-Serka berlaku di Indramayu, sebab manajemen kepemimpinan seperti itulah akan menjerumuskan Indramayu ke dalam sumur yang digalinya sendiri.

Dapat diduga bahwa pada APDB 2002 tidak ada anggaran untuk itu. Namun kebijakan yang pernah ditempuh Kabupaten Tanah Datar bisa diintip, semua peserta bayar sendiri ! Bagi golongan III cukup Rp. 80.000,- sedangkan untuk tes merebut posisi eselon II 5 kali lebih mahal.

Bila Pemerintah Kabupaten Indramayu konsisten dengan hasil tes itu, maka akan dengan sangat mudah menjaring mereka yang berminat ikut test. Namun bila sebaliknya terjadi, sekalipun hanya satu atau dua kasus maka tercorenglah citra yang sedang dibentuk.

Selain itu, sudah saatnya Indrmayu tidak lagi jadi kandang kelinci percobaan. Pendirian lembaga-lembaga harus sesuai dengan kebutuhan, bukan untuk menyelamatkan segelintir orang dari kehampaan eselon. Hasilnya bisa diduga, satu orang selamat, beberapa orang merasa nikmat, seluruh masyarakat Indramayu merasakannya sebagai tanda-tanda kiamat !

Indramayu memang harus berbenah, faktor utama yang harus lebih dahulu digarap adalah sumberdaya manusia. Peningkatan status pengurus kepegawaian misalnya dan penempatan personil yang tepat di tempat yang layak merupakan kunci awal yang patut dipertimbangkan.

Siapapun tidak mengharapkan gaya kepemimpinan Serma-Serka berlaku di Indramayu, sebab manajemen kepemimpinan seperti itulah akan menjerumuskan Indramayu ke dalam sumur yang digalinya sendiri.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar