Jumat, 12 Februari 2010

PROVINSI CIREBON atau PROVINSI CREBON

.... Setelah hampir satu dasa warsa tulisan ini dibuat, Insya Allah, Cirebon menyusul Banten yang lebih dahulu maju setelah lepas dari cengkeraman Gurita Jawa Barat ....

Pendahuluan
Hampir setengah abad yang lalu, Bung Hatta menuangkan ide otonomi daerahnya dalam tulisan berjudul Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957 sebagaimana dikutip The Liang Gie, 1971 dalam Sujamto, 1984), “Apabila susunan otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan mengurus terlalu banyak tersangkut di atas dan sedikit yang sampai ke bawah. Dalam ketentuan yang semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat daripada otonomi itu akan terletak di propinsi. Dalam keadaan semacam ini otonomi kabupaten bisa terjepit. Lambat-laun orang di daerah memandang propinsi itu sebagai suatu konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya menjadi propinsi tersendiri.”
Catatan berumur hampir setengah abad itu menjadi sangat penting karena pada saat ini mencuat kembali keinginan untuk munculnya sebuah propinsi baru di Jawa Barat menyusul Banten yang sudah definitif, yaitu Propinsi Cirebon. Ketua DPRD Indramayu, Iwan Hendrawan menjadi motor penggerak ide ini. Para Ketua Wakil Rakyat di Wilayah III Cirebon yang lain yaitu Kodya Cirebon, Kabupaten Cirebon, Majalengka dan Kuningan turut mendukung.
Seperti biasa, suara rakyat kembali dipinjam untuk menggoalkan gagasan ini. Masyarakat yang awam kena getah seakan diikutkan dalam program ketidakpuasan akan pembangunan dalam wadah propinsi Jawa Barat selama ini. Wilayah III Cirebon dianaktirikan !
Menanggapi hal ini, Gubernur Jawa Barat dan beberapa politisi menganggapnya sebagai sebuah wacana. Akankah ide yang dipandang sebelah mata ini terwujud sebagai Propinsi Cirebon atau Propinsi Crebon ?

Propinsi Cirebon
Keresidenan Cirebon yang meliputi Kodya Cirebon dan empat kabupaten sekitarnya yaitu Cirebon, Indramayu, Majalengka dan Kuningan merupakan kesatuan pemerintahan yang sudah lama berlangsung. Bahkan sejak zaman kerajaan dahulu kala.
Budaya Jawa sangat melekat dalam kehidupan masyarakat Kodya Cirebon, Kabupaten Cirebon dan Indramayu sedangkan masyarakat Kabupaten Majelengka dan Kuningan berbasis kebudayaan Sunda seperti tetangga sekelilingnya. Kedua budaya yang saling berseberangan itu tergabung dalam ikatan yang sangat kuat dalam sistem pemerintahan yang bijaksana.
Ketika sebagian masyarakat mengenang keindahan jaman normal, kerinduan terhadap kejayaan masa lampau ini pun dicoba untuk diungkit kembali. Para ketua DPRD kelima daerah itu bersepakat untuk menyatukannya dalam wadah Propinsi Cirebon, propinsi baru yang lahir bukan untuk membuntuti Banten tetapi lahir atas ketidakpuasan akan ketidakmerataan pembangunan selama ini.
Isyu yang berhembus seakan menganggap Wilayah III Cirebon hanyalah anak tiri dalam kemajuan Propinsi Jawa Barat secara keseluruhan. Hal ini sangat tidak adil sehingga sikap sewenang-wenang propinsi dalam berbagai rezeki kepada anak-anaknya harus didobrak. Tidak boleh lagi memandang sebagian anak sebagai anak tiri sementara yang lain anak kesayangan dengan limpahan fasilitas pembangunan.
Seperti biasa, mengikuti zaman normal sebelumnya, suara masyarakat kembali dipinjam. Mereka berbicara atas nama rakyat namun tidak menyentuh hati dan telinga mereka jauh dari komat-kamit mulut masyarakat yang diwakili.
Apakah yang dipikirkan mereka ketika menembus hutan ke Sanca dan seterusnya menerobos belukar bekas lahan coco-beef sampai Buah Dua yang masuk Kabupaten Sumedang. Demikian juga ketika tahu kalau masyarakat Bantarwaru lebih gampang mengakses Kota Subang daripada Haurgeulis ibukota kecamatannya, hal ini tidak lain karena satu-satunya jalan yang ada bila diperbaiki selalu balik menjadi kubangan sebelum umur sebulan. Hal yang sama berulang kali dan dalam tempo yang lama dialami oleh masyarakat Cikamurang yang terputus dari Rajasinga. Atau menyaksikan amburadolnya jalan-jalan kabupaten yang menghubungkan Indramayu bagian selatan dengan jalan nasional ?
Kalau jawabannya adalah sebagai bukti ketidakadilan Pemda Jawa Barat dalam pemerataan pembangunan, maka asumsi itu boleh saja keluar dari mulut masyarakat tetapi bukan dari nurani mereka. Suara hati rakyat yang secara langsung merasakan ketimpangan hasil pembangunan diantara kabupaten tetangga, justeru harus jadi cambuk bagi kinerja Pemda Indramayu selama ini, “Indramayu dilawan, bocornya lebih banyak !” Atau sebuah satire, “Bagaimana jalan bisa bener, pemborong hanya mampu beli Aspal Buton !” Tentu saja yang disindir bukan pulau penghasil aspal itu karena aspal Buton yang dimaksud adalah “Asal Napal Bukan Toncloan” atau asal memulas bukan nambal.
Soal jalan berlubang bukan dominasi Wilayah III Cirebon, mereka yang pernah menyusuri Jl. M. Toha menuju Terminal Dayeuhkolot di ibukota propinsi sudah terlalu akrab. Sepanjang jalur macet yang diapit puluhan pabrik tekstil itu penumpang bukan hanya harus menikmati jalanan berlubang tetapi juga aroma comberan sepanjang jalan. Bila mau menghindari macet dengan bayar tol pun tidak akan nyaman, karena setelah keluar jalan mulus kembali harus berhati-hati menapakkan roda dari satu kubangan kerbau ke kolam ikan yang lain. Lubang-lubang besar di Pasar Anjatan ataupun di tengah hutan Bantarwaru, itu mah belum apa-apa …..
Asal tahu saja, banyak yang iri dengan Indramayu dan Cirebon yang dilalui jalan nasional plus ! Plus di sini adalah tambahan jembatan-jembatan super. Bukan karena panjangnya tetapi bonus rehab rutin, setiap tahun harus diperbaiki. Hebatnya, hanya untuk digunakan berbilang hari, beberapa hari sebelum dan sesudah lebaran saja. Setelah itu ditutup kembali karena sudah rusak total seperti biasanya. Bila diulak-ulik maka biaya operasionalnya menjadi sangat mahal, bisa ratusan juta jutaan bahkan milyaran rupiah perhari. Sekalipun semua yang menyangkut jembatan itu urusan pusat tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ular-ular mewah itu menyeberangi sungai bin kali yang membelah Indramayu dan Cirebon.
Propinsi Jawa Barat pun terkesan tidak serius meningkatkan fungsi Pelabuhan Cirebon, malah berniat mengembangkan Pelabuhan Ratu di Sukabumi yang bukan hanya harus ditempuh melalui jalan terjal berliku tetapi juga harus membuat pelabuhan baru. Benarkah itu suatu ketidakadilan ?
Mr. Kobunai (mohon maaf bila salah ejaan) dan timnya dari JICA siap mengulurkan tangan untuk kemajuan Pelabuhan Cirebon. Di markasnya, Bapeda Propinsi Jawa Barat, berbagai strategi dan rencana disusun bukan hanya optimalisasi pelabuhannya tetapi juga pemberdayaan masyarakat sekitar baik yang secara langsung berakses dengan pelabuhan ataupun mereka yang sama sekali tidak perlu tahu angin laut bertiup. Sudahkah Pemda Kota Cirebon, Kabupaten Indramayu dan Cirebon menjemput bola yang dialungkan mereka ? Kalau jawabannya, “Belum !” maka tidak perlu menjawab, lakukan saja.
Amatlah naif menjadikan kemajuan fisik menjadi ukuran dan dapat dijadikan sebagai bahat perekan menjalin persatuan dan kesatuan. Faktor budaya selalu saja dilupakan, padahal inilah yang sangat rawan sebab sudah terbentuk dalam jiwa dan diwariskan secara turun temurun melalui pendidikan informal dalam keluarga dan lingkungan.
Sebagian pihak dengan tamak ingin menutupi keterbatasan wilayahdan sumber dana embrio Propinsi Cirebon yang sekarang ada dengan merambah pekarangan tetangga, yaitu Keresidenan Purwakarta. Tidak tanggung-tanggung, wilayah militer dijadikan modal. Apa kira-kira yang tergambar di masyarakat tentang propinsi baju hijau ini ? Tidak perlu survei, berita di televisi dan radio cukup membentuk opini publik untuk menarik pengalaman dari sebarang sana, DI Aceh di saat DOM diberlakukan.
Propinsi Cirebon yang mengembrio pada eks Keresidenan Cirebon atatu teritorial militer akan menjadikan propinsi baru bekerja keras untuk mengatasi problema yang sama dengan Jawa Barat sekarang. Pemaduserasian dua basis budaya yang tidak pernah berhasil dan menjadi bom waktu yang selalu siap meledak di saat sasaran lengah. Pertentangan tidak akan sesederhana Propinsi Banten yang ngotot mengharuskan orang nomor satu adalah putera daerah sehingga kalaupun hasilnya nihil bisa maklum. Ibukota Propinsi Cirebon pun akan menjadi rebutan, Kuningan lebih layak dan Karawang sangat hebat baik dari segi sejarah ataupun potensi yang terpendamnya.


Propinsi Crebon
Crebon adalah lafal khas yang keluar dari mulut wong Dermayu dan Cirebon dalam menyebut Kota Udang. Bukan Cirebon ! Sebutan ini sekarang jarang dipakai karena dinilai tidak sesuai dengan bahasa tulis yang umum, tapi lafal itu dapat menunjukkan apa si pengucap orang luar atau totok dari wilayah itu.
Sebutan Crebon berkait erat dangan faktor budaya jawa yang melekat erat. Budaya jawa di tengah hutan pasundan itu sekarang sudah terkikis habis. Hanyalah generasi tua yang dulu sebagai pelaku dan mungkin mereka yang setengah baya sempat mencicipi. Sedangkan generasi muda, jangan tanya, ada yang bebasan saja sebagian terbesar mereka melongo dan tidak tahu apa-apa !
Sekarang tidak ada yang bisa menyangkal kalau ada yang mengatakan bahwa orang Indramayu dan Cirebon ngomongnya super kasar.
Lenyapnya bebasan di tengah masyarakat tidak lepas dari berlakunya Perda No. 6 Tahun 1996 yang mewajibkan sekolah mengajarkan Basa Sunda. Jadilah anak kelas I SD belajar bahasa asing sejak dini. Hebatnya, bahasa Sunda bukan hanya asing bagi murid dan orangtuanya tetapi juga para guru yang kebanyakan berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Tapi terus dipaksakan.
Adegium lama selalu mengingatkan, “Bahasa menunjukkan bangsa.” Bahasa krama itu sekarang lenyap dari masyarakat, identik dengan hilangnya sebuah budaya kecrebonan.
Membicarakan pertentangan budaya mungkin dianggap tabu. SARA ! Karena sering ditabukan maka hal ini justeru sering menjadi bom waktu. Meledak pada saat yang tepat, ketika sasaran lengah. Ke-SARA-an itu pula yang menyebabkan para penggagas Propinsi Cirebon tidak berani mengungkapkannya. Termasuk para budayawan yang malah menguatkan diri dalam Paguyuban Ciayu Majakuning !
Banyak pelajaran yang bisa dipetik menyangkut pentingnya memperhatikan faktor budaya sebagai pemersatu yang dahsyat. Afghanistan telah membuktikan kesatuan dalam budaya Islaminya berhasil menggagalkan usaha perwujudan The Great Britain selama setengah abad. Kesatuan dalam ber-Yaheva menjadikan Yahudi menguasai Negara Adidaya dan menjadikan orang nomor satu di Gedung Putih bahkan Markas Besar PBB sebagai boneka, meraka pun berhasil mendirikan Israel yang berbilang abad lenyap tertimbun padang pasir. Dimana-nama, termasuk di negeri ini, apakah ada yang menyangkal kalau kekonsistenan memelihara warisan lelhur membuat etnis China secara ekonomi berada di atas garis kemakmuran pribumi ?
Faktor kesamaam budaya akan menjadi fondasi yang sangat kuat terbentuknya Propinsi Crebon yang meliputi Kebupaten Indramayu dan Cirebon serta Kota Cirebon sekarang. Tidak terlalu luas, namun banyak potensi terpendam mulai di daratan sampai di lepas pantai yang saat ini disedot secara lengsung oleh Propinsi Jawa Barat. Lembah dan landai serta hutan rimba dan gunung-gemunung pun menanti sentuhan untuk turut berperanserta dalam mencapai kemakmuran.

Penutup
Kesalahan fatal Propinsi Jawa Barat selama ini adalah menghapuskan begitu saja budaya jawa dari tanah leluhur. Menyamaratakan budaya wong Crebon dan Dermayu dengan perilaku di Kantor Gubernur. Hal ini tidak perlu terjadi bila Propinsi Cirebon ataupun Propinsi Crebon terwujud.
Sekalipun selalu dipandang sebelah mata namun apabila nanti terwujud, maka penentu kebijakan Propinsi Cirebon harus tetap memandang dua budaya yang berbeda. Namun harus berjalan seiring, saling harga-menghargai. Perbedaan budaya itu memang pahit, tapi penyatuan dua kepahitan tidak harus bertambah pahit bahkan dapat menciptakan kenikmatan baru seperti halnya paduan pahitnya daun pepaya dengan getirnya daun jambu mete.
Cepat atau lambat, Propinsi Crebon akan terwujud. Namun sama sekali tidak boleh dilupakan bahwa di hamparan luas Kabupaten Cirebon menyempil Sindanglaut, di tengah masyarakat jawa Indramayu ada Lelea dan Parean juga daerah perbatasan yang berbasis budaya Sunda. Semuanya adalah aset yang sangat berharga. Bebasan diajarkan untuk mengembalikan budaya yang hilang, Basa Sunda dikembangkan di tengah masyarakat yang menggunakannya. Kerukunan diantara keduanya akan tercipta sebagai imbal-balik saling eksis. Kalau sudah demikian maka pada prinsipnya Propinsi Crebon sudah terwujud, sebuah wilayah yang menyatu sebagai hasil dari perpaduan harmonis dua basis budaya lebih bermakna daripada propinsi yang harus diatur Gubernur !

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar