Sabtu, 13 Februari 2010

GURUH SANG GURU

GURUH SANG GURU

Sangat sulit dimengerti bahwa ketika saya kembali untuk pertama kalinya untuk bertugas di tempat kelahiran, ternyata terlalu banyak kejanggalan. Berbagai sarana yang mahal seperti fasilitas air bersih dan beberapa sarana vital lainnya terbengkalai sampai tidak pernah dipakai, karena memang lokasinya jauh dari hunian masyarakat. Sarana perhubungan seperti jalan misalnya, kampung halaman saya tetap terisolir seperti sewaktu saya kecil dulu. Keadaan ini diperparah dengan minimnya pengusaha yang mau berkorban kendaraan di jalan yang tidak layak untuk dilalui.
BAPEDA merupakan tempat saya bertugas untuk pertama kali, sungguh beruntung karena di instansi inilah segala perencanaan pembangunan digodog. Di instansi yang semula saya bayangkan sebagai gudang para pemikir ini sesuatu terungkap dengan gamblang sebagai pengalaman pertama.
Pada waktu itu awal peralihan perencanaan anggaran dari sistem lama ke peraturan yang baru. Banyak perubahan, tetapi itulah yang menyebabkan saya sangat tertantang. Singkat cerita, saya membuatkan semua RKA di Bidang Ekonomi. Tiba-tiba Sekretaris Panitia Anggaran memanggil para calon Pimpinan Pelaksana (Pinlak), tetapi karena mereka sedang keluar, saya pun mewakili.
“Apa sich jabatan kamu ?” Tanyanya tiba-tiba, begitu saya memasuki ruang beliau. “Kamu golongan berapa?” Lanjutnya tanpa memberi kesempatan untuk menjawab.
Sungguh dua pertanyaan yang menurut saya hanya patut ditanyakan para kolonial kepada pribumi pemilik negeri ini ratusan tahun yang lalu! Aneh saja, di zaman merdeka masih ada pejabat yang masih mempermasalahkan golongan dan jabatan untuk sekedar menanyakan apakah RKA yang harus dibuat sudah selesai atau belum.
Ternyata hal itu bukanlah satu-satunya pengalaman pahit, beberapa pejabat pun masih mempermasalahkan status sosial seakan merupakan penentu segalanya. Saya hanya berpikir, kalau kepada sesama birokrat saja mereka memandang sebelah mata, apalagi kepada masyarakat umum yang harus dilayaninya ?
Semakin lama saya di BAPEDA, makin banyak kejanggalan yang terjadi. Perencanaan Partisipatif sebagaimana diharapkan untuk dapat menjaring aspirasi masyarakat hanyalah teori belaka. Metode ini tertulis di berbagai aturan dan petunjuk pelaksanaan tetapi tidak pernah direalisasikan.
Tidak mengherankan kalau hasil penjaringan aspirasi di tingkat kecamatan yang telah direkap dalam bentuk buku tebal pun hanya menjadi penghias lemari. Hal ini tidak lain karena perencanaan masyarakat tidak sesuai dengan rencana kegiatan dari Dinas/Instansi terkait yang telah dilengkapi berbagai dokumen pendukungnya. Hasil penjaringan aspirasi akhirnya tertumpuk tebal penuh dengan jaring laba-laba.
Pengalaman semakin pahit ketika bertugas di kecamatan, baru saja datang memenuhi SK Bupati sudah ditagih SPJ berbagai dana yang turun ke desa. Hutang SPJ ternyata bukan kali pertama tetapi menjadi agenda rutin, salah satu sebabnya adalah karena para Sekretaris Desa yang semestinya membantu Kepala Desa membuat SPJ, tidak pernah bisa melaksanakan tugasnya. Alasannya sangat masuk akal, tidak pernah tahu-menahu soal kegiatan yang dilaksanakan dengan dana tersebut. Apalagi soal dananya, rahasia Kepala Desa.
Memang mengejutkan, siapapun tidak tahun menahu soal kegiatan yang langsung ditangani pihak desa. Lebih-lebih masyarakat yang memang sudah sering menjadi korban pembangunan. Bahkan ada yang lebih parah, beberapa Kepala Desa memang sudah menjaminkan dana dari APBD itu untuk mendapatkan hutang pribadi di BPR kecamatan.
MUSRENBANGDES juga sangat sulit dilaksanakan, kepercayaan yang rendah kepada Kepala Desa menyebabkan masyarakat enggan menghadiri undangannya. Apalagi perencanaan secara partisipatif, tidak pernah terjadi. Kebanyakan masyarakat yang hadir pun tidak lagi mau berpendapat karena sudah bosan akan rencana dan rencana yang tidak pernah ada wujudnya, sementara para perangkat desa relatif arogan. Arena penyusunan rencana lebih sering menjadi tempat curhat dan adu mulut antara pendukung dan penentang Kepala Desa. Hasilnya akhirnya dapat diduga, hanya pendapat Kaur Pembangunan di desa semata.
Semakin gamblanglah jawaban atas berbagai kejanggalan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu terjadi. Semenjak perencanaan, kehadiran masyarakat cuma untuk tandatangan absen saja. Soal aspirasi sudah diwakili oleh orang-orang tertentu. Tetapi bukan rahasia lagi kalau sudah menjadi alasan klasik, bahwa pembangunan yang gagal adalah akibat dari partisipasi masyarakat yang kurang.
Tentu saja sebagai orang baru saya sempat bertanya lebih jauh, mengapa hal ini bisa terjadi di salah satu kabupaten suatu propinsi paling dekat dengan pusat kekuasaan ? Bukankan Jawa Barat sebagai penopang ibukota negara dalam visi dan misinya ingin menjadi daerah terdepan dan termaju ?
Pertanyaan itu sebenarnya sudah terjawab jauh-jauh hari, karena pada tahun 2000 saya mendapat pendidikan Perencanaan Pembangunan Nasional selama 7 (tujuh) bulan di Universitas Indonesia. Salah satu materi kursus yang diselenggarakan BAPPENAS itu adalah tentang perencanaan partisipatif. Alhamdulillah, dosen yang mengajar tidak bisa memenuhi 8 sesi yang menjadi kewajibannya karena untuk materi itu para peserta tidak lagi memerlukan dosen, pengajar atau guru. Dalam hal perencanaan partisipatif kami hanya memerlukan seorang fasilitator yang bisa menuntun peserta nantinya menerapkan metode ini dengan baik dan benar.
Dua pelatihan perencanaan partisipatif berikutnya pun sangat mengecewakan. Pelatihan Perencanaan Partisipatif Bidang Pertanian Bagi Petugas yang dilaksanakan Balai Latihan Penyuluh Pertanian di Lembang dilaksanakan selama lima hari. Sebenarnya, dari judulnya saja sudah dapat diduga bahwa pelatihan ini adalah partisipatif. Betul juga, tidak ada yang mengaku sebagai pelatih, dosen atau guru. Semua menyebut dirinya fasilitator.
Seakan seperti koor, semua berucap di awal perkenalan, “Nanti kami para fasilitator hanya menghantar peserta mencapai tujuan. Jadi bapak/ibu lah yang aktif.” Alhamdulillah, mereka pun berhasil mengajarkan teori partisipatif tanpa memberi kesempatan kepada kami untuk berpartisipasi.
Pelatihan Perencanaan Bidang Kesehatan Secara Partisipatif pun pernah saya ikuti di Bapelkes Salaman – Magelang. Pelatihan ini menjadi sangat menarik bagi saya secara pribadi, sehingga selama sepuluh hari sangat serius. Mungkin karena terlalu serius, akhirnya saya tidak menemukan sedikitpun metode partisipatif dilakukan. Full satu arah, sekalipun seperti pelatihan sebelumnya mereka menyebut diri sebagai fasilitator. Bukan guru apalagi dosen, tetapi yang berlangsung adalah kuliah semata.
Sungguh saya sempat frustasi dengan tiga pengalaman yang mengerikan itu. Bagaimana suatu perencanaan pembangunan sesuai dengan aspirasi masyarakat sementara para calon fasilitatornya saja hanya mendapatkan teori perencanaan partisipatif dengan sangat dangkal ? Saya yakin mereka yang hanya mendapatkan pelatihan-pelatihan seperti di atas tidak dapat menggiring masyarakat untuk berpartisipasi, bahkan untuk mengungkapkan pendapat yang selama dipendamnya sekalipun.
Beruntunglah sekalipun saya sudah tidak tercatat lagi sebagai karyawan BAPEDA, pada tahun 2005 saya mendapat kesepatan mengikuti TOT Perencanaan Partisipatif Bidang Kimpraswil, dasar dan lanjutan. Dalam dua kali pelatihan para calon pelatih itulah saya mendapatkan kesan terindah. Bukan hanya siap menjadi fasilitator tetapi juga seperti tujuan pelatihan itu, yakin bisa melatih fasilitator.
Keberuntungan memang sedang menempel di badan, tidak berapa lama peluang untuk menerapkan hasil pelatihan pun terwujud. Sebuah rencana besar bernama Lokakarya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Pencegahan dan Penanganan Flu Burung terbuka untuk dilaksanakan di Indramayu. Di balik seremnya kata ‘Lokakarya’ terdapat tantangan ‘Pemberdayaan Masyarakat’ yang sangat menarik. Dua kata/suku kata itu selama ini seakan jauh satu sama lain. Tentu diperlukan keseriusan tersendiri baik dalam perencanaan dan pelaksanaan, apalagi pertanggungjawabannya.
Tetapi semua itu seakan menjadi mudah ketika bertemu dengan tim dari UNICEF Perwakilan Bandung. Kekompakan tim saja sudah menjadi inspirasi bagi saya untuk berbuat hal yang sama, kerja tim, bukan sendiri dalam kepusingan. Penjelasan yang terbuka dan gamblang serta satu bahasa dengan tanpa menutup terjadinya perbedaan pendapat adalah suatu pelajaran yang sangat berharga. Penampilan sederhana, low profile tanpa menghilangkan kesan serius dan kerja keras merupakan paduan serasi yang selama ini sungguh sulit ditemui.
Itulah sebabnya perencanaan lokakarya pun menjadi sangat mudah dan cepat terealisasi. Akhir tahun 2006 adalah genderang awal perencanaan partisipatif diterapkan dalam menyusun Rencana Aksi Desa (RAD) dalam rangka Pencegahan dan Penanganan Flu Burung. Beruntunglah saya tidak sendiri, selain rekan-rekan dari BAPEDA yang sudah terlatih melaksanakan metode partisipatif juga beberapa teman dari Dinas Pertanian dan Peternakan pun pernah mengikuti pelatihan serupa yang dilaksanakan lembaga bergengsi seperti FAO.
Bukan sombong kalau saya berpendapat bahwa pada saat pertama kali lokakarya pun kami sudah bisa jalan penuh. Tetapi sungguh pengalaman dari rekan fasilitator UNICEF adalah sesuatu yang sangat berharga. Perpaduan keduanya menjadikan tim pelaksana lokakarya menjadi sangat siap mengantar peserta untuk menghasilkan produk intelek dari masyarakat awam yang merupakan kelas yang selama ini selalu dilupakan.
Kalau pelajaran tak langsung saja sudah sedemikian bermanfaat, maka dugaan sementara bahwa pelajaran langsungnya tentu akan jauh lebih mengena. Namun, pertemuan terasa sangatlah sulit. Beruntunglah pada lokakarya di desa yang kedua, Pak Steve Aswin berkenan hadir. Kesahajaan yang sudah tergambar dari para anggota tim sebelumnya benar-benar gamblang dan jelas. Anggapan adanya kesan angker yang menjadi modal utama seorang pemimpin sama sekali tidak nyata.
Pertemuan pertama di lokasi lokakarya sungguh amat berkesan, semua seakan menjadi mudah dibuatnya. Suara beratnya membuat rangkaian keruwetan di awal melangkah menjadi kecil dan akhirnya lenyap secara bertahap. Bahkan di kepala segera muncul berbagai rencana baru untuk semakin memanfaatkan metode perencanaan partisiparif ini untuk program pencegahan dan penanganan flu burung yang lebih luas.
Sungguh di luar dugaan, bahasa yang digunakan sedemikian mengena dan menyentuh segala lapisan. Gaya dan bahasanya membuat lawan bicara terkesima. Saya yakin, satu-satunya pendengar yang tidak mengerti kata-katanya adalah orang yang tidak dapat mendengar. Kebetulan tidak satupun diantara kami yang demikian. Seorang Pimpinan Perwakilan lembaga dunia yang berperilaku sebagaimana masyarakat biasa dan bicara dengan bahasa membumi adalah suatu kelainan di antara masyarakat yang masih mengagungkan status sosial sebagai kebanggaan.
Pelajaran penting juga dipetik oleh para peserta lokakarya, selain bangkitnya semangat untuk bersama-sama mencegah dan menangani flu burung sebagaimana umumnya, satu hal yang paling penting adalah pelajaran kepribadian. Setinggi apapun jabatan, sebesar apapun penghargaan dan status sosial yang dimiliki, sekaya apapun kita, sesungguhnya kita tidak dapat hidup dalam kesendirian. Kebersamaan adalah kunci kenyamanan hidup, dan kenyamanan itu tercipta ketika kita menjadi bagian dari sesama. Untuk menjadi bagian dari sesama maka diperlukan empati yang tinggi, sanggup menerima dan mau memberi dengan kerelaan hati.
Kerendahan hati telah membuai perasaan peserta untuk berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dalam kebersamaan. Tidak ada yang lebih pandai, karena di balik kepandaiannya masih tersisa hal-hal yang tidak diketahui. Tidak ada juga yang bodoh karena dibalik ketidaktahuannya terdapat banyak pengalaman yang tidak dimiliki orang lain. Tidak ada yang lebih kaya, karena diantara harta kekayaannya ada hak si kurang empunya. Tidak ada yang miskin karena sesungguhnya mereka diberi karunia yang tidak akan dimiliki mereka yang berharta. Empati yang tinggi mengantar semua peserta menghasilkan rencana sekelas hasil para intelektual, dari, oleh dan untuk mereka dan masyarakat desanya.
Tim UNICEF Perwakilan Bandung lengkap dengan pemimpinnya menjadi insiprasi tersendiri bagi pengelola dan peserta lokakarya. Kepercayaan kemandirian yang diberikan adalah sesuatu yang membanggakan namun kehadirannya secara pribadi tentu selalu diharapkan, karena tidak pernah meninggalkan kesan ketergantungan.
Lokakarya dan lokakarya serta terus lokakarya, tanpa terasa sudah di 31 desa kami menyulap kata yang menyeramkan itu menjadi kegiatan yang mengasyikan tanpa mengurangi kualitas hasil yang diharapkan. Bahkan pengetahuan dan keterampilan mencegah dan menangani flu burung pun merambah ke sekolah. Para guru menularkan apa yang didapat dalam gaya dan bahasa sebagaimana kami menuntun mereka, tidak sekedar komunikasi satu arah sebagaimana biasa dilakukan. Anak-anak pun menyampaikannya kepada anggota keluarga, termasuk ibu dan bapaknya.
Lokakarya, lokakarya dan lokakarya. PKK dan ibu-ibu adalah target empuk berikutnya. Pengetahuan dan keterampilan ditularkan dengan cara yang enak dilakukan, dari mulut ke mulut. Juga acara resmi yang dilakukan oleh berbagai pihak mulai dari tingkat kabupaten, kecamatan, desa dan tingkatan di bawahnya.
Lokakarya dengan metode perencanaan partisipatif yang semula saya anggap tidak akan bisa terlaksana di Indramayu, ternyata sedemikian sederhana dan mudah dilaksanakan. Mungkin perlu dana tambahan, waktu yang lebih longgar dan yang paling penting adalah kemumpunian fasilitator yang menghantar jalannya kegiatan. Faktor yang terakhir tadi tidak terlepas dari keteladanan yang dilakukan oleh seorang pimpinan.
Kalaulah metode perencanaan partisipatif ini juga diterapkan pada perencanaan pembangunan yang lain, tentu berbagai kejanggalan pelaksanaan pembangunan dapat sedikit demi sedikit berkurang. Kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dapat dihindarkan. Pemanfaatan dana pembangunan oleh pribadi atau golongan bisa dikoreksi oleh masyarakat sebagai kelanjutan dari perilaku transparansi.
Kalau metode perencanaan partisipatif ini diterapkan di Indramayu, suatu harapan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan tercapai. Tanpa pemborosan anggaran, sedikit mungkin kebocoran, dan yang paling penting adalah keterlibatan masyarakat dalam mempertanggungjawabkan.
Kalau metode perencanaan partisipatif berjalan sebagaimana mestinya, masyarakat Bhumi Wiralodra akan bangkit dari ketidakberdayaan untuk membela diri sebagai pihak yang selalu disalahkan kalau terjadi kegagalan pembangunan. Tidak berlaku lagi alasan klasik birokrat, “Partisipasi masyarakat rendah !”
Kalau perencanaan partisipatif sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat maka tidak perlu lagi seorang pejabat menganggap diri paling hebat, karena sehebat-hebatnya beliau tetap saja hanya seorang abdi masyarakat. Diantara masyarakat, status sosial tidak lagi menjadi pembeda untuk dipertentangkan, tetapi merupakan faktor yang saling lengkap-melengkapi untuk mencapai tujuan hidup bersama.
Kalau metode perencanaan partisipatif diterapkan sebagaimana berbagai peraturan dan perundang-undangan mengenai perencanaan pembangunan yang berlaku, maka kami akan mengenang gelegar Guruh-mu, Sang Guru
Terimakasih Pak Steve Aswin, selamat menikmati kehidupan selanjutnya dengan penuh kesenangan dan kebahagiaan.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar