Jumat, 12 Februari 2010

OTONOMI DAERAH DI PERSIMPANGAN JALAN

…. Sewindu sudah umur otda, sudah berapa kali aturan berubah, keadaan masih belum berubah ….


Dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan republik Indonesia maka otonomi daerah selalu jadi impian yang tidak pernah terwujudkan dalam kenyataan sekalipun didukung oleh berbagai perundangan yang mengaturnya. Beberapa undang-undang yang pernah dan menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah di NKRI adalah :
1. UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pemerintahan Daerah,
2. Konstitusi RIS Tahun 1955 tentang Bentuk Negara dan Kedudukannya,
3. UU No. 32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah yang Berhak Mengurus Rumahtangganya Sendiri,
4. UU No. 1 Tahun 1957 tentang Pemerintahan Daerah,
5. UU No. 65 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah,
6. UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah,
7. UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan
8. UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Penerbitan satu undang-undang selalu sebagai koreksi habis terhadap undang-undang yang ada sebelumnya, dan ironisnya edisi terbaru pun akhirnya menjiplak yang dulu pernah ada dan dihapus oleh undang-undang yang harus dianggap melenceng itu. Dengan kata lain, adalah benar kalau sistem politik negara ini hanyalah bolak-balik, tidak pernah melangkah ke depan mencapai kemajuan.
Bahkan satu undang-undang dengan peraturan perundangan yang menjabarkannya pun bisa terjadi saling berbenturan. Dan seperti zaman sebelumnya, peraturan perundangan yang lebih rendah tingkatannya kadang bisa membuat keok alias memakan landasannya sendiri.
Gambaran seperti inilah yang terjadi terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disusun para intelektual Kabinet Habibie ketika harus dijalankan Kabinet Maju Mundur-nya Gus Dur. Nasibnya pun lebih parah ketika Megawati berkuasa dengan berusaha menutup otonomi daerah seluas-luasnya dari balik mega.


UU No. 22 Tahun 1999 Suatu Harapan

Ketika euphoria reformasi menghangat dan masyarakat terutama para tokoh yang berasal dari daerah kaya sumberdaya alam banyak berkoar, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999. Sebagaimana kelahiran bayi prematur, undang-undang ini pun perlu penanganan khusus agar bisa selamat. Salah penanganan sedikit saja bisa fatal akibatnya. Begitupun ketika dalam undang-undang ini mulai melangkah, campur tangan asing dan kisruhnya para pencari keuntungan di dalam negeri telah membuat Ibu Pertiiwi kehilangan salah satu anaknya. Timor Lorosae berdiri sendiri sebagai negara merdeka !
Bagi Kabupaten dan Kota, kelahiran UU No. 22 Tahun 1999 merupakan suatu harapan penerapan prinsip pembangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing. Demikian juga pengelolaan sumberdaya alam yang dihasilkan. Kewenangan daerah menjadi sangat luas kecuali untuk politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, pendidikan, moneter dan fiskal, agama dan bidang lain seperti perencanaan nasional, pembinaan dan pengendalian pembangunan secara makro, dana perimbangan, pembinaan dan pemberdayaan sumberdaya manusia, pendayagunaan sumberdaya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional (Pasal 7 ayat (1) dan (2)).
Bila tidak disikapi dengan baik maka kewenangan yang seakan luas tak terbatas ini tentu saja sangat membahayakan NKRI, seperti yang terjadi dengan Timor Timur misalnya. Sehingga munculnya UU No. 25 Tahun 1999 beberapa hari kemudian memberi harapan bahwa otonomi daerah bukan lagi hanya sekedar kajian atau hanya gagah-gagahan yang ujung-ujungnya untuk minta bantuan.
Namun sayang undang-undang yang seharusnya menjadi pendukung pelaksanaan otonomi daerah ini justeru menikam dari belakang. Pemerintah daerah yang diberi keleluasaan untuk berkreasi, tetapi dalam masalah keuangan semua diatur pusat. Bahkan pada beberapa hal pemerintah daerah hanya menjadi obyek semata.
Misalnya dalam hal penerimaan pungutan pengusahaan hasil perikanan, porsi pemerintah daerah 80 % sedangkan pusat 20 %. Besarnya angka yang menjadi bagian daerah hanyalah sekedar angka karena akan dibagikan secara merata kepada semua Kabupaten/Kota (Penjelasan Pasal Demi Pasal), sementara bagian pemerintah pusat tidak terganggu sama sekali. Keadaan ini akan menjadikan daerah penghasil komoditi perikanan sebagai tuan rumah yang hanya tahu kesibukan dan kebroboan resiko sementara yang menikmati adalah pemerintah pusat.
Dua undang-undang yang lebih dikenal sebagai dwitunggal Undang-undang Otonomi Daerah ini saja satu sama lain sudah berseberangan jalan. Padahal penggarapnya masih satu kepala. Oleh karena itu tidak mengherankan kalau peraturan perundangan selanjutnya yang dihasilkan kepala yang berbeda semakin jauh dari intinya.
Sebagai misal adalah masalah pertanahan yang sudah jelas-jelas diserahkan kepada pemerintah daerah, tetapi pasal undang-undang itu harus gugur dan tidak berlaku karena ada Peraturan Pemerintah yang menyodoknya.


Otonomi di Balik Mega

Terpilihnya Megawati menggantikan Gus Dur merupakan harapan agar pelaksanaan otonomi daerah tidak lagi maju-mundur. Ratusan peraturan perundangan yang telah disiapkan Ryaas Rasyid dan kawan-kawan optimis bisa kembali diselesaikan. Namun siapa nyana kalau Kabinet Megawati berfikir lain, justeru UU No. 22 tahun 1999 nya yang direvisi.
Tidak tanggung-tanggung, presiden bisa membubarkan DPRD ! Laut yang sempat ‘dikapling-kapling’, terutama yang ada pengeboran lepas pantai dan potensi harta karunnya ditarik kembali sebagai wilayah negara secara penuh.
Dengan direvisinya undang-undang ini maka kerja keras yang dilakukan selama ini baik di daerah maupun di tingkat pusat, mulai dari pembuatan peraturan perundang-undangan yang selalu memakan biaya, tenaga dan waktu yang sangat banyak sampai koreksi terhadap peraturan daerah yang dianggap menyimpang menjadi sia-sia. Sudah dapat dipastikan hanya sedikit saja hasil kerja keras ini yang dapat diteruskan.
Ibarat memburu tikus, Kabinet Mega membakar gudangnya ! Tikus boleh saja mati terbakar tetapi kerusakan isi gudang tak terhindarkan. Atau malah tikus otonomi daerah bebas berlenggak-lenggok sementara isi gudang ludes terlalap Si Jago Merah ?
Kabinet Megawati tentu sudah memperhitungkan upaya revisi ini dengan UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional yang juga masih dalam bentuk draft revisi. Kalau ada isi pasal dari UU No. 22 Tahun 1999 Edisi Revisi ini yang berseberangan jalan dengan landasan konstitusional ini tentunya harus direvisi lagi dan berbagai peraturan perundangan di bawahnya harus menyesuaikan. Berapa banyak energi terbuang, sekian besar dana dihabiskan, ketidakpuasan akan management pusat pun tidak akan lagi bisa dihindarkan.
Alangkah baiknya kalau harta warisan Kabinet Habibie ini tetap dipelihara, ratusan peraturan perundangan yang mendukungnya segera dibuat dan diselaraskan dengan nafas yang semula sudah dirancang. Bukan berseberangan yang akhirnya membingungkan. Biarkan otonomi daerah berjalan sempoyongan bak anak balita yang baru mulai berlajar jalan. Jatuh terantuk batu karena ada kodok yang salah, membentur tembok karena kesalahan dinding yang tidak bisa menghindar. Bukan kakinya dipatahkan karena jatuh atau tangannya diborgol supaya tidak menjatuhkan vas bunga untuk kesekian kali.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar