Senin, 10 Mei 2010

ASPIRASI POLITIK BOLAK BALIK

Seorang Kepala Dinas pernah menggelari saya sebagai Pengamat Politik setelah membaca tulisan ini. ”Lulusan dari mana ?” Tanya beliau. ”Institut Politik Bogor, Pak!” Sebuah jawaban yang ringan itu membuat kami berdua tergakak-galak, sangat bebas. Sebuah kenangan lebih dari dua-belas tahun yang lalu ....

Mengamati perkembangan politik negara kita akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi yang berkepanjangan yang akhirnya melibas juga kepercayaan terhadap Pemerintah, dan mencpai puncaknya saat presiden kedua yang bercokol teramat lama di singgasananya, tergilas arus reformasi yang dipelopori mahasiswa.
Kejadian yang seperti ini bukanlah yang pertama di republik yang kita cintai, tetapi seperti merupakan ualangan dari masa lalu yang terjadi secara periodik, seiring berputarnya roda kehidupan. Akankah ini merupakn yang terakhir dan dijamin tidak terjadi ualangan yang sama di masa-masa yang akan datang?
MMasa Lalu 1
Melengok ke masa lalu, mulai dari merdeka sampai saat-saat terakhir pemerintahan Bung Besar. Presiden pertama republik ini namun meletakan jabatannya karena atas nama ketidak percayaan pemilik negeri tehadap kepemimpinannya, diikuti sikap pelucutan sikap politik, ajaran dan pemikiran sebangsanya yang tiba-tiba berubah menjadi barang najis yang harus dijauhi. Bung Karno dan segala berbau Penyambung Lidah Rakyat dikubur dalam-dalam di tanah air yang diproklamirkannya.
Nama dan jasa Pemimpin Besar Revormasi dalam membidani kelahiran Ibu Pertiwi dan menjalankan roda kehidupan berbangsa dan bernegara berakhir tragis di tangan bangsanya sendiri. Bahkan karena ualh segelintir orang memanipulasi sejarah dan memutarbalikkan fakta untuk kepentingan pribadi dan golongannya.
Bapak Bangsa ini hanya dikenal sebagai generasi pewarisnya sebagai proklamator bersama Bung Hatta, dan tidak lain tidak bukan hanya seonggok makhluk tua penyakitan tidak beradaya tetapi penuh ambisi, tak tahu malu. Semua terlihat jelas dalam film ”Penghianatan G 30 S/PKI” yang wajib diputar semua stasiun televisi dalam negeri, setahun sekali.
Putera Fajar yang akhirnya diakui juga oleh penggantinya sebagai Penggali Pencasila dasar negara negeri yang diproklamirkannya, terpatri dengan kekuasaan yang penuh korupsi, kesewenang-wenangan, ambisi pribadi dan sgala kebobrokan yang lain.
Adegium lama mengingatkan ”Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama”. Namun akibat kesan yang serba salah dan negatif itu maka mendengar namanya saja sudah sulit didapat sekarang ini, kecuali Soekarno sebagai bagian dari Dwi Tunggal bersama Proklamator Bung Hatta. Universitas Bung Karno berubah menjadi Universitas Pancasila dan banyak lagi usaha penghapusan yang dilakukan pada saat penguasaan baru memproklamasikan Orde Baru dan mengutuk habis-habisan masa lalu yang dinamakannya Orde Lama.

Masa Lalu II
Pengalaman masa lalu yang dianggap salah dan negatif oleh Orde Baru. Orde Baru konsisten dengan ke-Baru-annya dan berusaha memberi pelajaran berharga dalam menjalankan perputaran roda pemerintahan negeri ini ke arah yang lebih baik. Segala yang berbau Orde Lama dihancurkan, kalau masih diperlukan maka diganti dengan yang baru.
Begitulah kenyataannya, perbaikan dan kemajuan pembangunan seprti selalu digembar-gemborkan corong negara tercapai di segala bidang. Kesetabilan politik dan keamanan tidak diragukan tercipta diseluruh penjuru plosok tanah air. Masyarakat adil dan makmur tercapai sudah. Semua merupakan wujud nyata dari koreksi terhadap kesalahan masa lalu, katanya.
Disamping perubahan-perubahan kearah yang lebih baik, ada juga yang berubah wujud bak macan berbulu ayam, nyata-nyata tidak pas tetapi dipaskan. Presiden seumur hidup gaya MPRS diproklamirkan sebagai presiden seumur-umur, pembreidelan partai berubah menjadi fusi partai yang akhirnya disertai penyusupan calon jadi pemimpin baru. Belum lagi korupsi, kolusi dan nepotisme yang sedemikian rapih bak mahluk halus sehingga tak kasat mata. Tidak dapat dipungkiri kalau semua itu juga, merupakan manifestasi dari belajar kepada kegagalan Orde Lama.
Jadi kesimpulan sementara, yang namanya orde baru itu sama saja atau setali tiga uang alias sami mawon dengan segala borok yang dituduhkannya kepada masa lalu. Seperti menelan ludah yang sudah dibuang.
Dilihat dari kejatuhannya pun tidak berbeda nyata, sama-sama berasal dari krisis perut naik ke kepala menghasilkan ketidakpercayaan. Seakan ada memandang keruntuhan Bung Karno lebih terhormat, karena sebelum meletakkan jabatan sudah mempertanggungjawabkannya kepada mandat dengan Jasmerah yang akhirnya menjadi lampu merah bagi dua windu kekuasaannya. Lebih parah lagi, lengsernya Pak Harto diikuti penjarahan dan gugatan harta pribadi dan keluarga yang semua orang tahu tidak semuanya berasal dari gaji dan penghasilan seorang presiden.
Yang menarik, hal kedua ini tidak terjadi di masa lalu. Padahal kekayaan Sang Arsitek bercecer disepanjang jalan. Tidak ada masa yang menjarah huruf alif raksaksa di Masjid Istiqlal, memboyong patung pemuda ke rumah atau mimindahkan air mancur menari-nari ke halaman tempat tinggal pribadi, bahkan puluhan kilogram emas di Monumen Nasional tidak dilirik.
Kepergian Pak Harto dari singgasana juga diusir oleh kadernya sendiri, orang-orang yang sebelumnya matur dan nutur untuk dapat duduk dikursi dewan yang terhormat. Puncak pimpinan yang secara resmi memaklumatkan ketidakpercayaan masyarakat atas kepemimpinannya juga tidak lain dari orang yang semula dimomong dan ditimang-timangnya.
Barisan strategis yang telah disusun sedemikian rupa porak-poranda pada akhir kekuasaannya. Berubah haluan, berbalik menyerang. Tidak sedikit yang tanpa malu-malu menjadi Pahlawan Kesiangan menyalamatkan diri dan berkoar, mencaci-maki. Padahal saat beliau berkuasa, mereka bertekuk lutut jadi penurut yang selalu manggur-manggut dan rajin berdzikir, ”Inggih, Inggih, Inggih !”
Senasib dengan orator ulang yang digantikannya, kepergian Anak Desa dengan diikuti pengikis habisan segala bentuk dari yang berbau Soeharto. Semua dikubur dalam tumpukan jutaan lembar kertas-kertas pidato yang pernah dibacakannya.
Masa Kini
Reformasi total, mengoreksi segala yang diwariskan Bapak Pembangunan. KKN yang sudah membudaya dari tingkat pusat sampai ke RT, bahkan mencemari organisasi kecil sekalipun baik yang berhubungan dengan pemerintah maupun tidak, kebebasan yang terkekang atas nama demi kestabilan politik dan keamanan negara dengan penciptaan Undang Undang dan peraturan dan masih banyak lagi PR-PR lain yang harus dikerjakan Pemegang Tampuk Pimpinan Masa Reformasi kalau tidak mau didepak karena krisis kepercayaan berikutnya.
Tidak dapat dipungkiri banyak yang berubah pasca puncak aksi reformasi, angin kebebasan mulai berhembus. Partai-partai baru tumbuh subur bak cendawan di musim hujan. Mulai organisasi tua seperti Kosgoro, NU, Muhammadiyah dan saudara-saudara se-jaman-nya sampai kepada partai yang tidak bisa dilepaskan dari munculnya koreksi terhadap Orde Baru seperti PUDI.
Yang sangat memprihatinkan justru mulnculnya partai-parti yang diproklamirkan oleh para Pahlawan Kesiangan yang sebenarnya hanya mendomleng momentuk reformasi padahal, sama sekali tidak ikut andil dan bisa jadi anti reformasi itu sendiri. Bahkan ditengah kebutaan generasi muda tentang Proklamator bangsanya, muncul pula partai-partai yang berusaha memunculkan ajaran-ajaran beliau......Sang Marhaen.
Kegamangan generasi muda akan politik yang merupakan wujud nyata keberhasilan kurikulum sekolah ciptaan Orde Lama. Ironisnya dimanfaatkan menjadi ajang pesta partai yang lebih banyak menyorti keadaan politik yang sangat menarik sebab di sanalah tersebunyi harapan dan ambisi. Sementara krisis ekonomi tetap dibiarkan menjadi tontonan, sekali-sekali menjadi materi pidato yang enak untuk diucapkan. Padahal, akan jadi seperti apa bangsa ini kalau dikendalikan oleh orang-orang yang terus menari-nari di atas penderitaan rakyat, dengan dalih atas nama reformasi. Tidak mengherankan kalau keadaan yang dihasilkan hanyalah repot-nasi.
Retrospeksi kedua masa sebelumnya, tanpa belajar yang sebenar-benarnya dan mengambil pelajaran dari masa lalu maka Ibu Pertiwi akan kembali menangis karena putra bangsa yang sangat sedikit wawasan politiknya dan rakyat jelata yang merupakan kebanyakan anak-anak yang dilahirkannya hanya akan menjadi benteng nyawa bagi kenyamanan cita-cita para Pahlawan Kesiangan yang penuh semboyan. NATO, No Action Talk Only. Keadaan masa lalu yang dulu dikutuk. kembali terbentuk.
Clifford Ceertz tahun tujuh puluhan mengungkapakan pendapatnya tentang Orde Lama dimana dikatakanya bahwa Indonesia selalu tersandung dari satu sisitem ke sistem yang lainnya. Tetapi raun-raun tanpa ujung kejelasan ujungnya atau dikatakannya sebagai ”A State Manque” yang berarti suatu keadaan negara dimana aspirasi politiknya hanya bolak-balik dari satu sistem kesistem yang lain tetapi semuannya tak kunjung tercapai.
Bagaimana tidak, kenangan Orde Lama yang selama empat windu dikubur sekarang dibangkitkan lagi dengan segala pujian kefair-annya dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara. Akankah itu benar-benar terjadi? Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan untuk yang selalu mengutuk Si Terpuruk, memuja penguasa atau akan berkuasa dan mengenang masa lalu yang tidak pernah dialami langsung, sebagai sesuatu yang lebih indah indah dari segalanya.
Tidak menutup kemungkinan Orde Baru yang sekarang dihajat habis-habisan pada saat ini juga akan menjadi barang berharga penuh pujaan disuatusaat nanti, dipasca reformasi? Akankah terus bolak-balik seperti ini? Tanpa ujung pangkal yang jelas dan mantap.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar