"Umar Bakri, Umar Bakri, Pegawai Negeri ...."
Lirik di atas tentu sangat dekat dengan masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Iwan Fals membawakannya dengan penuh perasaan diiringi melodi yang sangat menunjang, sangat menyentuh siapapun yang mendengarkannya.
Ketika zaman berubah, teknologi semakin murah, motor menggantikan sepeda kumbang terlalu mahal untuk dipedal.
“Ojek, Mas !”
Tanpa basa-basi aku pun nyelonong duduk di jok, motor menderu kencang meninggalkan pangkalan ojek di sisi jalan pantura Pulau Jawa. Tidak ada kata terucap, tujuan sekalipun, tetapi Mas Ojek sangat tahu jalan mana harus dilalui dan dimana berhenti. Pas di depan rumahku.
Aku sangat terkejut, ternyata beliau adalah guru SD kami.
Cerita di atas hanyalah sebagian kecil dari gunungan balada kehidupan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa di negeri ini. Berbagai suratkabar memberitakannya dengan bahasa mendayu dan menyayat hati. Pahlawan seakan terlupakan, terkubur jasanya sendiri yang tak ternilai.
Tetapi tidak semua orang setuju dengan balada yang banyak dijadikan bahan cerita itu. PNS selain guru banyak yang merasa iri dengan barbagai fasilitas yang diberikan kepada mereka. Mereka bukan hanya dapat gaji tetapi juga tunjangan fungsional. Sekarang, bagi yang lolos sertifikasi ada tambahan setara gaji. Kenaikan pangkat pun bisa ngebut dua tahun sekali.
Bila dihitung-hitung maka seorang guru tamatan sarjana pendidikan akan menikmati fasilitas finansial mendekati 4 juta sebulan. Dua tahun berikutnya akan naik pangkat dan golongannya menjadi III/b. Sewindu usia bekerjanya, maka golongan IV/a sudah di tangan.
Sarjana yang berkarir di non guru tentu tidak sedemikian beruntung. Pangkat IV/a hanya akan dicapai apabila yang bersangkutan sudah duduk di jabatan setara eselon III (Kasubdin, Kabag, Kabid, Sekretaris, Camat, dll). Puncak pangkat hanya sampai III/d kalau hanya sampai duduk di eselon IV (Kasi, Kasubag, Kasubid, Kaur, Lurah, dll). Kenaikan pangkat 4 tahun sekali, sehingga ketika rekan guru sudah IV/a maka pegawai non-guru baru merangkak ke III/c. Pangkat III/c ini sering mentok kalau tidak punya jabatan.
Soal gaji, jangan tanya, bisa hanya sepertiga guru! Kalau ada jabatan tentu ditambah tunjangan jabatan. Kan ada tunjangan jarahan ???
Akh, bahasanya terlalu vulgar. Kalau soal itu sudah bukan rahasia lagi, baik non-guru maupun guru punya cara sendiri untuk mendapatkan rezeki yang seimbang dengan kebutuhan. Tidak mengherankan kalau banyak PNS bergaji minimal atau bahkan minus setiap bulannya tetapi tetap bisa hidup layak sebagaimana para tetangganya yang harus bercucuran keringat untuk dapat sesuap emas.
Berbicara soal fasilitas guru, memang tidak bisa dipukul rata. Guru PNS sangat berbeda fasilitasnya dengan yang masih honor dan sukwan. Tidak mengherankan kalau sebagian besar guru yang mengajar di lembaga bonafid sekalipun ingin mendapat status PNS. Terdapat jurang yang sangat dalam antara dua status satu profesi ini.
Kalau guru PNS penuh fasilitas seperti yang disampaikan terdahulu, sebaliknya guru non-PNS umumnya tidaklah demikian. Honor bulanan yang menyentuh angka jutaan, tentu sangat jauh dari mereka yang menjalankan tugas di pedesaan. Upah Rp. 100.000,- sebulan pun masih banyak yang menjalani, dengan satu harapan, suatu saat diangkat menjadi PNS.
Dua kubu yang sangat bertolak belakang ini sering dimanfaatkan secara tidak seimbang. Ketika bicara peningkatan kesejahteraan guru, maka nasib para sukwan dan honorer sering dicatut. Penderitaan mereka punya nilai jual yang tinggi untuk menggugah hati siapapun.
Begitu kebijakan pemerintah turun, nasib mereka tetap seperti semula. Kesejahteraan bertengger di titik nadir kesengsaraan. Nasib tetap dalam ketidak berdayaan. Manfaat hanya dinikmati mereka yang sudah mempunyai NIP.
Tetapi, bukankan tidak sedikit guru PNS yang harus kerja keras di luar jam mengajar? Bahkan harus menarik ojek demi dapat mencicil motor?
Jawaban seloroh yang sangat mengena adalah, “Salah penempatan. SK mereka ditempatkan di Bank Jabar atau BRI atau bank lainnya, tetapi ditugaskan sebagai guru.”
Bukankah kalau menurut SK ditempatkan di bank, semestinya mereka juga kerjanya harus lembaga keuangan itu? Bukan sebagai guru atau profesi lainnya. Ketidaksesuaian antara SK dan tugas inilah yang menyebabkan hidup oknum guru itu menderita batin.
Tentu saja dua paragraf di atas hanya seloroh, tetapi sangat mengena. Tidak sedikit para guru yang menyekolahkan SK-nya di bank untuk dapat kucuran dana segar. Ketika ada kenaikan pangkat atau fasilitas lain maka pihak lembaga keuangan sangat jeli, segera mendatangi mereka dan menawarkan pinjaman yang jauh lebih banyak dan berbagai keuntungan lainnya sehingga sangat disayangkan untuk tidak diambil.
Jeratan ini berlangsung terus, tidak sedikit yang tergoda sampai usia pensiun tiba. Bukan rahasia umum kalau banyak guru yang SK pensiunnya terbit bersamaan dengan selesainya SK wisuda dari bank. Lembaga keuangan juga tidak mau menanggung resiko kalau mereka sudah pensiun.
Tetapi tidak selalu begitu, SK pensiun pun masih laku untuk menarik dana segar. Masih ada jaminan untuk membayar bulanan, biarpun sudah tua masih ada saja yang memburu. Banyak bank bersaing meraih peluang.
Ketajaman lembaga keuangan akan kepastian nasib pegawai negeri, sekarang SK calon PNS saja sudah dapat dijadikan agunan berbagai macam pinjaman. Mulai dari dana segara sampai barang-barang konsumtif.
“KHUSUS GURU, BEBAS UANG MUKA!” Iklan sebuah merek sepeda motor tampil secar mencolok. Tentu hal ini bukan semata penghargaan perusahaan terhadap jasa para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tetapi salah satu pancingan yang akan menyeret mereka ke dalam lembah kehidupan konsumtif. Banyak sekali rayuan, salah-salah bisa terjerumus dalam lembah hutang yang tak terbayarkan.
Kebijakan pemerintah yang selalu memanjakan para guru dengan fasilitas finansial yang terus bertambah sudah saatnya diiringi pendidikan mental menuju kehidupan yang realistis. Para guru juga manusia yang tidak boleh berhenti berguru.....
Pendidikan mental inilah yang akan mempu menghalau berbagai ajakan ke arah kehidupan konsumtif yang selalu datang menggoda. Sebab penghasilan mereka, khusus yang PNS lho, jauh di atas UMR daerah manapun. Tinggal pemanfaatannya, paling tidak, kalau uang gaji dan fasilitas lainnya itu sempat mampir ke rumah tentu akan berbeda ceritanya. Sebagian telah merasakannya, sangat berlebih, bahasa sopannya, “cukuplah!”
Selamat ulang tahun para guru, “tanpa engkau, aku bukan apa-apa” tetapi aku lebih takut kalau para Pahlawan Tanpa Tanda Jasa ini terjebak dalam kurungan kehidupan konsumtif yang berani menghardik “tanpa aku, engkau bukan apa-apa!”
PESAN SPONSOR======================================================
Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :
http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto
========================================================TERIMAKASIH
Tidak ada komentar:
Posting Komentar