Senin, 10 Mei 2010

PRIT

Temanku bilang, sekarang semua sudah berubah. Syukurlah, awal reformasi, ”Prit Ceban” sekarang ”Prit Goban !”

Prit adalah mahluk unik dengan gelar yang selalu berkembang, tumbuh seirama kesejahteraan masyarakat dan goyang dollar Amerika Serikat. Sebelum krismon, nama lengkap prit goceng. Dulu sempat bergelar seceng setelah sebelumnya menyelesaikan program gope. Dulu-dulunya, bisa cepe atau gope ataupun jigo atau malah masih berakhiran tun-tun-an yang sama sekali tidak bisa dipakai sebagai pedoman.
Beberapa tahun lalu namanya hampir berubah menjadi prit goban atau bahkan prit cape-ceng atau bahkan prit cetiau berkat restu Undang-Undang lalu lintas yang lebih sering ditayangkan sekilas dan hanya dimengerti kalangan terbatas sehingga sangat ampuh sebagai sarana penindas.
Prit ceban, jangan mencoba mencari padanan kata di kamus lengkap Hasan Sadely atau Kamus Besar Bahasa Indonesia Lukman Ali ataupun Jus Badudu yang kelewat tebal. Tidak akan ketemu, sekalipun keduanya sudah sangat akrab dengan telinga masyarakat Indonesia.
Prit adalah prit, bunyi tetap peluit yang biasa jadi senjata polisi untuk mematahkan niat lawan. Mengendor urat gas yang lebih sering tegang sekalipun tidak pernah dikasih warga, mengingat wajah seram untuk tidak asal tabrak rambu mati, awal dari proses lanjutan yang sering harus berakhir dengan campur tangan Srikandi Tjut Nyak Dien, lembaran ceban.
Prit ceban seperti banyak dilakukan sungguh beralasan, seperti yang dituturkan seorang pengeprit di jalanan. Soalnya, untuk bisa prit-mengeprit itu orang tua mereka sempat rela nggak makan makanan tambahan, sawah digadaikan dan bebagai tindakan dilakukan demi masa depan anak dan kemenakan. Kalau sudah demikian, bagaimana lagi, kecuali ambil tindakan pengamanan untuk merintis jalan pengembalian. Ironisnya, prit ceban dengan terpaksa dilakukan karena harus mengejar sinkron.
Prit ceban boleh saja dianggap sebagai hujatan yang menyakitkan bagi keluarga besar polisi negeri ini, tetapi itulah kenyataan yang sudah terjadi dan sudah bukan rahasia lagi dalam suatu razia di jalan raya. Resmi atau tanpa surat perintah komandan, pengendara tidak perlu bertanya karena yang resmi bisa jadi langkah kunci untuk menang remis dan surat perintah komandan bisa diplesetkan menjadi surat perintah komandan... soal pengisih titik-titik, sangat beraneka, tergantung kebutuhan. Bisa juga kebutuhan akan sembako atau se-hisap rokok karena saku berkokok.
Prit sudah sangat melekat dengan kehidupan kepolisian yang sudah lebih dari lima puluh tahunan. Tumbuh berkembang sesuai perkembangan zaman seperti halnya polisi negeri ini yang sering mempraktekkan teori demokrasi sebagai sing gede diemek, sing cilik dikerasi (yang besar dipegeng, yang kecil digencet).
Prit ceban juga jadi alasan untuk tidak mensyukuri gaji bulanan yang rutin didapatkan. Padahal kalau dihitung-hitung sudah cukup lumayan. Apalgi kalau ditambah bergagai tunjangan yang dapat melengkapi kebutuhan keuangan.
Prit bukan hanya mahluk yang berganti gelar dan wajah samaran, tetapi juga selekif sehingga terkesan sering pilih pandang bulu. Teman instruktur P-4 pernah mengalaminya, ketika di-prit dari kedai rokok (rupanya sumber kerindangan adalah bayangan dinding seng). Tunjukin salah sana salah sini, akhirnya UUD juga. Ujung-ujungnya damai dan mungkin akhirnya akan mengarah kepada kepanjangan yang lain. Untungnya, instruktur itu baru saja memberikan materi almamater yang mengasuh mereka dengan banyak teori yang kini sudah banyak berceceran sepanjang jalan atau bahkan telah dilupakan. Ditunjukan surat resmi bercoret-coret komandan. Sekali lagi berlaku UUD, ujung-ujungnya dibebaskan.
Prit ! Itu zaman dahulu, paradigma lama, sebelum reformasi bergulir. Sebelum polisi memisahkan diri dari ABRI. Sebelum mereka memproklamirkan diri untuk lebih mandiri.
Prit mulai ditiup keras, mulai 10 April lalu memang polisi keluar dari ABRI. Kembali bertekad jadi pelindung, pengayom masyarakat tanpa mengenal pendekatan kekuasaan. Back to basic, sesuai dengan fungsinya dulu. Sebelum di paksakan menjadi angkatan yang kehabisan kekuasaan. Sampai ada anekdot, bukankah darat sudah dibooking Angkatan Darat, demikian juga Angkatan Laut menguasai ombak samudra dan juga udara bebas dicarter Angkatan Udara? Dimana kekuasaan polisi? Di ketiga wilayah kekuasaan angkatan. Sesuai dengan namanya, polisi..... si Darat, si Laut, dan si Udara.
Prit juga untuk penghargaan kepada jago tembak jantung hati yang bikin lawan tersungkur mati. Karena itulah yang membedakan para angkatan dengan polisi, menembak bukanlah selalu untuk membunuh tetapi membikin lumpuh, hanya melukai sehingga sasaran yang tepat adalah tangan dan kaki.
Prit terhadap pembuatan yang selalu menunjukan organisasi sebagai bagian dari korps kepolisian. Sebab polisi lahir dari rakyat, hidup dengan uang rakyat dan pada akhirnya harus kembali lagi merakyat.
Tamtama, bintara ataupun perwira kepolisian adalah bagian dari masyarakat yang harus menyadari arti penting bahwa di negeri demokrasi ini rakyat adalah sumber segalanya, seperti kata orang Singapura, ”Our people are, and always will be, our most precous reources.” ( Rakyat kita adalah, sumberdaya kita yang paling berharga ).
Prit! Citra jelek polisi dimata masyarakat harus segera diakhiri. Stop perkembangan noda hitam kepolisian yang sering menjadi kebanggaan sekaligus pembatas dengan lingkungan. Loyal keatas, dibawah tindas. Target dan upeti adalah peti mati yang dipersiapkan sendiri, kecuali tanpa tekad untuk makin mandiri karena masyarakat sudah semakin mengerti dan berani, berkat reformasi disana-sini.
Prit keras untuk polisi didekatkan dengan kolusi, yang harus dimulai dari koreksi diri. Hilangkan watak kolu ngepusi (tega menipu) terutama terhadap diri sendiri. Muaranya adalah pada mentality yang berjalan dalam rel public morality (etika sosial). Tanpa itu, polisi hanya akan jadi biang polusi.
Prit, minggir. Minggirnya AKPOL dan AKABRI misalnya, hendaknya bukan mengurangi jumlah mata pelajaran yang menurut mantan Gubernur Akpol Kusparmono Irsan tidak dibutuhkan oleh polisi, tetapi juga menuntas habiskan calon sisiwa yang masuk melalui jalur kiri. Kalau saja masih terus terjadi, maka setelah hengkang dari kawah candradimuka juga akan tega ngapusi.
Demikian juga penanaman public morality harus lebih ditekankan sehingga para lulusannya sadar bahwa segala jenis penyimpangan selalu diiringi dengan biaya sosial tidak murah, dan yang menanggungnya adalah rakyat yang tidak lain ibu kandung dari polisi itu sendiri. Hal ini bukan hanya sangat diperlukan para siswa, tetapi juga pelajar yang menempuh karir kepolisian via tamtama ataupun bintara. Toh mereka semuanya pada akhirnya kembali kemuara sama merakyat,
Prit! Hentikan organ kekuasaan sebagai senjata, jangan jadikan kokang sebagai senjata panglima. Tetapi polisi harus menjunjung tinggi moralitas dan etika kalau mau sejalan dengan petuah Jendral Douglas Mc Atur ”Old soldier never die, they just fade away”. Kecuali sudah bertekad untuk tidak akan kembali kepada masyarakat setelah habis masa tugas nanti akibat rakyat tidak menghendaki.
Prit! Bersiaplah kini untuk di-prit pihak lain. Terbuka menerima saran dan pendapat untuk kemajuan dan kemandirian kepolisian yang dicita-citakan.
Dengan membuka lebar-lebar pintu kritik, telah mengajak masyarakat turut menjadi pemilik.
Prit!. Viva Polri dan selamat hari Bhayangkara.
Prit, Prit, Prit !

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar