Selasa, 11 Mei 2010

SAPI POTONG & POTONG SAPI

Peternakan memang sangat potensial untuk mensejahterakan anak bangsa ini, namun lembaga yang mengurusinya semakin diper-kerdil, 10 tahun pasca otonomi daerah berlaku penuh, hanya sedikit Kabupaten/Kota yang mempunyai Dinas Peternakan.
Maka, wajar saja kalau Depsos segera turun tangan. Membantu ternak kepada masyarakat yang membutuhkan. Soal sapi-nya segede domba atau masalah non-teknis lainnya, toch mereka tidak pernah kuliah peternakan kok ....


Seorang Manager Pemasaran produsen benih jagung hibrida pernah berpesan kepada para field-force-nya yang dengan senang menunjukkan kehebatan demplotnya, “Jangan bandingkan benih kita dengan jagung lokal. Itu sama dengan membandingkan jeruk dengan semangka !” Satu kalimat singkat yang bisa menggantikan perumpamaan Sang Manager adalah, “yang wajar-wajar saja !”

Sapi potong memang bukan jagung hibrida, kegiatan penggemukan sapi potong pun berbeda dengan bercocoktanam jagung hibrida. Tetapi keduanya punya kesamaan, yaitu kalau mau diperbandingkan harus “yang wajar-wajar saja !”

Pencarian teknologi tepatguna untuk penggemukan sapi potong bagi peternak di Kabupaten Indramayu menjadi tidak wajar ketika harus dengan berbondong-bondang ke suatu tempat dimana penggemukan sapi potong dikelola dengan sistem pemeliharaan dan manajemen pengelolaan sumberdaya dan sumberdananya yang sama sekali berbeda. Pemborosan luar biasa besar itu bertambah tidak wajar ketika ingin diulangi untuk yang kedua kali.

Teknologi penggemukan sapi potong sapi lokal seperti PO (Peranakan Ongole) ataupun anak-cucu Brahman atau bahkan jantan FH dan akfiran FH tua yang tidak produktif lagi (FH = Friesen Holland, salah satu jenis ternak perah) bukanlah barang asing bagi masyarakat Kabupaten Indramayu. Selain praktis juga sangat mudah diserap dengan sedikit sentuhan penyuluh dan praktek petani lain sebagai teladan. Pada tahun 1995 masyarakat Truwali-Karangampel membuktikan hal ini. Beberapa peternak di Gabuswetan dan Kandanghaur kemudian mengikuti kisah suksesnya.

Penggemukan sapi potong impor pun sangat tidak terlalu berbeda, sedikit kendalanya adalah kemampuan penanganan sapi yang biasa hidup di ranch itu. Keganasan dan kekuatan tenaga liarnya memerlukan tenaga ekstra dan perkandangan permanen yang lebih kuat daripada pemeliharaan sapi lokal yang berbanding lurus dengan pendanaan. Sedangkan pakan dan manajemen lainnya sudah tidak perlu jauh-jauh belajar dari daerah lain. Peternak yang pernah memelihara jantan FH tentu pernah membuktikannya.

Sehingga untuk menggemukan sapi potong baik lokal maupun impor tidak perlu jauh-jauh studi banding. Cukup menggali potensi yang ada dan pengalaman yang sudah menumpuk di daerah sendiri, baik keberhasilan maupun kegagalan yang dijadikan tantangan untuk perbaikan. Toch semuanya sudah jelas, ilmunya sudah ada, “dosen dan praktisi ahli” berpengalaman sangat banyak. Yang tidak pernah ada adalah kemauan untuk belajarnya, kecuali belajar ke luar daerah. Apalagi menindaklanjuti hasil belajar itu sesuai dengan TOR yang disepakati sebelum berangkat belajar.

Secara teori usaha penggemukan sapi potong memang sangat menguntungkan, praktek yang telah lama dilakukan masyarakat juga membuktikan kebenarannya. Petani yang menggunakan modal sendiri, hanya dengan memelihara satu ekor setiap bulannya bisa mengantongi Rp. 300.000,-. Mereka yang menggunakan jasa perbankan, bukan hanya dapat membayar cicilan hutang tepat waktu tetapi juga kelebihan yang relatif cukup dibanding usaha pertanian yang lain.

Kecuali dalam keadaan sangat gawat, peternak tidak perlu harus didampingi dokter hewan dalam penanganan kesehatan ternaknya. Cukup pemberian obat cacing, vitamin dan antibiotika dengan tablet yang bebas beredar di pasaran seperti halnya orang-orang mencegah cacingan, ingin tambah stamina atau menghilangkan sedikit gangguan flu. Makanan pun tidak pernah ada kendala baik untuk sapi lokal maupun impor, rumput sebagai sumber serat kasar dan penguatnya dengan konsentrat. Dedak halus saja sudah merupakan makanan penguat yang baik, apalagi ditambah sedikit bungkil kedelai atau bahkan konsentrat buatan pabrik.

Itulah gambaran sekilas usaha penggemukan sapi potong yang pernah diterapkan masyarakat, di Kabupaten Indramayu, di mana pun tidak jauh berbeda karena usaha ini sangat menguntungkan dengan resiko yang relatif rendah. Kemungkinan sakit sangat kecil, kematian pun Insya Allah hanya datang ketika sapi sampai di RPH (Rumah Potong Hewan).

Petani di Truwali yang tumbuh berkembang dengan modal sendiri membuktikannya. Sapi bakalan didatangkan dari Jawa Timur dan dipelihara 3 – 6 bulan dulu sebelum akhirnya dijual kepada jagal. Memelihara satu ekor sudah untung, memelihara 2 ekor tambah beruntung, memelihara 6 bisa mengeluarkan satu ekor setiap bulan secara periodik. Pakan yang diberikan tidak lain dari rumput secukupnya dan 3 kg dedak halus setiap harinya.

Namun keadaan menjadi lain kalau urusan penggemukan sapi potong ini dicampuri bumbu masak bermerek birokrasi. Budidaya sapi potong penggemukan sering berubah menjadi upaya potong sapi penggemukan !

Peternak di Truwali adalah saksi dari campur tangan yang sangat merugikan itu. Kelompok Sapi Potong Penggemukan terbaik kedua tingkat nasional itu kini tinggal kenangan.

Akan halnya kejadian yang sekarang ramai sampai di kursi Dewan adalah ulangan kegagalan yang hampir sama dengan PPWT hampir sewindu yang lalu. Peternak di Haurkolot-Haurgeulis yang dengan tekun dan telaten selama 6 – 9 bulan memelihara sapi potong bagiannya, pada saat penjualan harus gigit jari. Harga jual tidak bergiming dari nilai beli bakalan yang ditetapkan petugas. Jadilah kerja keras mereka kerja paksa yang dipaksakan.

Haurkolot bukanlah Truwali, peternak Truwali membeli sendiri bakalan yang umurnya berkisar 2 tahun. Kondisinya yang memelas, ceking namun jangkung sangat tepat untuk diisi kasih sayang dan makanan sederhana yang akhirnya berubah menjadi daging dengan marbling yang seimbang. Berbeda dengan peternak Haurkolot yang tinggal mengantri untuk mendapatkan bagian sapi tanpa tahu asal-usul dan ukuran besar, apalagi umurnya. Mereka mendapatkan pedet namun harga mati telah dipatok sebagai bakalan.

Peternak Truwali benar-benar berusaha menggemukan sapi potong sesuai dengan sebutannya, sedangkan yang di Haurkolot hanya tertera di plang nama. Mereka melakukan pembesaran. Pedet-pedet itu masih perlu waktu satu setengah tahunan untuk membentuk kerangka. Proses pembuatan tulang ini terus berjalan ketika sampai pada waktunya untuk dijual. Wajar saja kalau harganya lebih rendah daripada harga yang ditetapkan sebelumnya, karena sapi yang dijual pun statusnya masih pedet-pedet juga. Belum seharga bakalan seperti yang ada di dokumen ! Karena sapinya pun sama sekali belum pantas disebut bakalan.

Saat ini Bank Mandiri yang pernah menjalin kerjasama dengan peternak secara langsung sudah menyatakan ketidakpercayaannya pada usaha ternak yang sangat menguntungkan ini. Dalam dunia peternakan, usaha penggemukan sapi potong adalah yang paling menguntungkan selain budidaya babi pedaging.

Sementara perbankan di Indramayu sama sekali tidak melirik usaha yang sangat menggiurkan ini, maka secara tiba-tiba Departemen Sosial akan mengucurkan dana Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh milyar) untuk memberdayakan para fakir miskin di Kabupaten Indramayu dengan bakalan impor.

Upaya ini benar-benar luar biasa, bukan hanya dananya yang sangat besar tetapi juga manfaatnya akan benar-benar bisa mengentaskan para fakir miskin untuk menuju kesengsaraan yang baru akibat kebijakan yang diterapkan tanpa ilmu. Soal kemiskinan, Departemen Sosial adalah pakarnya tetapi mereka keliru ketika menyamakan biaya pakan sapi impor penggemukan dengan biaya hidup fakir miskin yang bisa bertahan nafas hanya dengan Rp. 1.000,- (seribu rupiah) per-hari.

Selain ketidakwajaran dalam menganggarkan jatah pakan, pihak Departemen Sosial pun ternyata tidak tahu kalau yang namanya fakir miskin di Kabupaten itu benar-benar miskin, bukan mereka yang ngotot mendapatkan jatah berobat gratis JPSBK padahal nyetir mobil pribadi. Menggemukan sapi potong, apapun jenisnya, seperti diuraikan di atas sangat mudah. Tetapi ada catatan untuk sapi impor yang biasanya digembalakan di padang rumput, tenaganya luar biasa besar dan juga liar. Oleh karena itu perlu perkandangan yang relatif kuat dan permanen. Bagaimana mereka bisa menyiapkan kandang yang representatif ?

Dua faktor itu adalah sisi lemah analisis Departemen Sosial yang mudah terlihat. Bila dana ini dipaksakan untuk diterima Kabupaten Indramayu maka beberapa gelintir orang akan sangat diuntungkan atas insentif yang terselip sementara para fakir miskin makin merana.

Peternak Truwali dan Haurkolot adalah sekolahan khusus penggemukan sapi potong. Selama ini mereka terlupakan atau sengaja dilupakan. Belajar sukses sapi potong tidak harus pergi jauh-jauh dengan hamburan dana yang tidak sedikit, ilmu itu sudah di tangan. Tinggal pilihan pertanyaan yang harus dijawab, “Apakah kita mau berbuat dengan ilmu itu ?” atau “Apakah kita terus berbuat tanpa ilmu ?”

Kalau pertanyaan pertama yang dipilih, Yahudilah jadinya. Tidak berbeda dengan Nasrani pula bila alternatif kedua dilakukan tanpa koreksi sama sekali.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar