Selasa, 11 Mei 2010

URANG AYU

Sepuluh tahun lalu kejadian ini sangat nyata terjadi, sekarang tidak. Tidak jauh, hanya bergeser. Di beberapa area pertambakan udang yang tenang, banyak Urang Ayu asyik masyuk bersama pasangannya. Tanpa malu, bahkan bergiming sedikit ketika ada yang lewat. Tidak sedikit diantara mereka masih berseragam sekolah.
Sebuah peluang usaha baru, Beternak Urang Ayu !



Ketika masyarakat dihebohkan oleh goyangan Inul Daratista yang sekali geol honornya setara dengan kilau berlian di giginya, maka Warna (nama sembarang, 37 tahun) berujar dengan ringannya, “Yang lebih wah dari Inul, banyak. Murah-meriah, paling-paling cuma 3 kilo !”

Jawaban Warna memang neko-neko, sepintas jauh dari permasalahan yang dibicarakan. Tapi begitulah kenyataan yang dialami petambak udang itu awal krisis sekitar lima tahun lalu. Udang di Indramayu benar-benar boom, hasil perhektarnya tinggi dengan kualitas bagus, sedangkan harganya menembus Rp. 100.000,-/kg. Dan, yang dibicarakan Warna adalah kesetaraan antara harga udang itu dengan service full body contact Urang Ayu di Warung 5 Watt.

Warna adalah pribadi sukses yang polos, sukses ketika masih sangat muda dan mau mengutarakan pengalaman makmurnya yang bergelimang banyak godaan. Tentu hal ini menjadi rahasia tersendiri bagi yang lain.

Rupanya Allah murka dengan perilaku insan pertambakan rekan se-hobby Warna, harga menjulang itu hanya dapat dinikmati sesaat. Sedangkan kutukan-Nya tidak berhenti sampai disitu, white spot menyerang habis-habisan.

Benur yang baru disebar banyak yang tidak pernah muncul lagi, yang umur satu-dua bulan mati drastis dalam waktu sangat singkat, udang yang selamat harganya sangat rendah dan rentan permainan tengkulak.

Petambak udang mati klesek ! Keadaan ini bukan baru satu dua kali, tetapi sudah mencapai 4 tahunan. Tambak udang di Indramayu selalu mengorot keuangan masyarakat milyaran rupiah setiap tahun, hanyut bersama air payau menuju laut. Kebangkrutan ini pula yang mengakibatkan munculnya lahan-lahan kritis baru.

Bila kita sedikit merenung, maka budidaya udang di Indramayu selama ini identik dengan budidaya nafsu !

Kaya mendadak para petambak telah membuat mereka lupa sehingga harus merambah sawah-sawah produktif secara membabi-buta. Nafsu untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak lagi juga menyebabkan mereka terus menambah jumlah benur dalam petakannya, dari dua puluh ribuan sampai sangat padat di atas enam puluh ribu ! Dalam kerugian yang beruntun pun mereka masih dipenuhi dengan nafsu, selalu setia pada prinsip, “Sekali udang tetap udang !”

Nafsu, nafsu, nafsu yang lain banyak mengikuti kisah sukses mereka sampai akhirnya kebangkrutan beruntun dialami setiap periode.

Kalaulah mereka sedikit meredam nafsu, terutama yang mengelola tambak milik pribadi, maka kerugian beruntun tidak perlu dialami. Tambak bukanlah lahan hidup monopoli udang. Spesies lain pun bisa hidup di sana. Bandeng, misalnya. Keuntungan bandeng memang tidak akan sanggup menjadi pelipur, sangat rendah. Namun pasti !

Itu pula yang mengakibatkan para petambak tidak melirik Si Sisik Perak itu. Banyak anekdot lahir, misalnya, “Daripada panen 3 ton bandeng lebih baik panen se-kuintal udang !”, “Lebih baik udang terus, soalnya, biar tujuh kali gagal sekali sukses juga tetap untung !”, “Lebih baik kosong daripada bendeng !” Dan banyak alagi anekdot yang menyepelekan bandeng sebagai makhluk Allah yang bisa memberi manfaat.

Anekdot ini terus dianut sekalipun kejatuhan beruntun udang terus dialami.

Kalaulah kita tengok ke belakang, maka kalau menanam nafsu maka yang akan ditunai pun pastilah nafsu atawa nothing kecuali kerugian yang makin beruntun.

Sedikit petambak berlapang dada mencoba mengahragai bandeng, ribuan benih ditebar dalam hamparan. Dibiarkan hidup dengan pakan alami, ada juga yang melengkapinya dengan pakan pabrik dan juga sumber pakan alami bauatan. Beda keuntungan keduanya lebih condong ke arah waktu, alternatif kedua tentu lebih unggul.

Ada juga yang justeru menjadikan udang sebagai pelengkap. Bandeng ditebar sebagai penghuni utama yang sudah tentu diberi pakan pabrik, dua puluh ribu benur dibiarkan meratap atau terpaksa menyantap pakan bandeng yang tersisa. Hasilnya ..........

Petambak yang mempraktekan cara di atas tidak lain tetangga Warna, sama-sama warga Luwunggeusik Kecamatan Krangkeng, ditemui ketika menjual hasil panennya di rumah H. Kamsudi Desa Bungko Kecamatan Kapetakan Kabupaten Cirebon. Dengan rasa bangga dia mengungkapkan bahwa perolehannya hanya 3 ton bendeng dan beberapa blong penuh udang size 27.

Bila dihitung-hitung nilai rupiahnya, maka tetangga Warna memperoleh Rp. 16.500.000,- dari bandeng (3.000 kg X Rp. 5.500,0/kg) dan dari penjualan udang yang dijadikan usaha sampingan sungguh luar biasa, Rp. 25.000.000,-. Dengan budidaya bandeng berseling udang yang diusahakannya maka tetangga Warna itu mengantongi hasil lebih dari Rp. 40 juta.

Tentu hasil sebesar itu belum bisa menembus keuntungan fantastis bila diisi udang secara keseluruhan, bila sukses atau setidaknya dalam perhitungan. Namun ada sesuatu yang secara sederhana bisa diambil dari cara budidaya tetangga Warna, ternyata ada semacam simbiosa mutualisme antara bandeng dan udang yang akhirnya menguntungkan petambak itu sendiri.

Hal ini senada dengan saran para pakar budidaya air payau dari Balai Besar Air Payau Jepara yang menyarankan agar petani tambak Kabupaten Indramayu memutuskan siklus white spot, dengan cara secara bersama-sama mebudidayakan bandeng. Dengan demikian siklus hidup virus tersebut terputus dan budidaya udang selanjutnya mudah-mudahan aman.

Pemutusan siklus bibit penyakit sudah lama dilakukan oleh petani sayur Pangalengan Kabupaten Bandung. Setelah panen kubis mereka tanam kentang dan berikutnya tidak akan ditanami tomat atau jenis tanaman sayuran lainnya tetapi dapat dipastikan jagung jadi pilihan. Pola yang sudah tercipta adalah sayur-sayur-jagung. Kalau dihitung secara ekonomis maka jagung ibarat bandeng di tambak, secara langsung sungguh relatif tak menguntungkan.

Itulah sebabnya setelah manja benih jagung, para juragan sayur itu tidak pernah menengok tanamannya lagi. Bahkan sampai panen pada umum 100 – 115 hari pun seringkali tidak tahu menahu wujud jagungnya, hanya tengkulak yang memanen dan membawa jagung mudanya ke pasar serta daun dan batang jagungnya diikat untuk dijual kepada bandar rumput yang menyediakan pakan hijau untuk sapi perah.

Sekali lagi, secara langsung jagung sungguh tidak berarti secara ekonomis. Namun berdasarkan pengalaman mereka selama puluhan tahun, justeru manfaat tidak langsungnya yang menyembulkan keuntungan luar biasa. Tanaman sayur seperti kubis, tomat, wortel dan lain-lain yang dibudidayakan aman setelah siklus bibit penyakitnya terputus oleh jagung.

Mungkin ada persamaan dua makhluk yang dianggap tidak berharga (karena nilai langsung ekonomisnya) itu, bandeng dan jagung. Peran penting jagung sudah terbukti lama dipraktekan petani sayur sedangkan bandeng baru saran Balai Besar Air Payau Jepara dan sedikit bukti praktek budidaya kombinasi yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Bukti real di lapangan kadang berbeda, beberapa orang petani tambak di Karanganyar Ilir Kecamatan Sindang juga mencoba mengkombinasikan bandeng dengan selingan udang. Nmun ketika dipanen udangnya entah kemana. Mati dalam perjalanan menuju dewasa.

Pertanyaan yang masih belum terjawab adalah, apakah kita akan terus menjadikan udang sebagai suatu usaha penuh nafsu atau mau membudidayakan udang untuk memperoleh manfaat secara ekonomi yang rasional ?

Pilihan pertama seperti dikemukakan terdahulu hanya akan menghasilkan nafsu-nafsu baru, seperti halnya pepatah “Siapa menabur angin maka akan menuai badai !” Sebaliknya apabila pilihan kedua digunakan disepakati, maka pola budidaya pun perlu disusun secara realistis.

Upaya mengembalikan udang ditambak sebagai usaha yang sangat menguntungkan tentu perlu waktu dan kekonsistenan para petambak. Arahan Dinas Perikanan dan Kelautan sebagai perpanjangan tangan Pemerintah Daerah tentu sangat diperlukan agar petambak tidak terus menggali sumur kerugian yang makin dalam.

Adalah kesalahan luar biasa menjadikan derita dan kerugian beruntun petambak ini sebagai bahan anekdot dan debat publik yang tiada ujung. Kecuali mereka mengharapkan olok-olok dari masyarakat petambak udang yang makin merugi.

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar