Senin, 10 Mei 2010

MINYAK

Suatu saat, negeri kaya raya dengan hasil alam melimpah ini pernah harus mengimpor minyak goreng untuk masyarakatnya yang sebagian besar harus hidup di bawah garis kemiskinan ....

Yang dibaca seorang sarjana baru pertama kali yang baru lulus dari almamater tercintanya koran atau tabloid atau majalah setebal apapun tidak lain kecuali salah satu kata kunci ”lowongan”.
Entah makna apa yang lebih jauh menusuk nurani dan menjadi sangat berarti dari makna literlijk yang dikandungnya sehingga rangkaian delapan huruf tersebut sangat menentukan masa depan seorang intelektual muda. Sehingga berbingar-bingarlah hati ketika saat disibukkan membolak-balik halaman mencari judul iklan tersebut, ada yang menawarkan lowongan sebuah pekerjaan yang sangat menantang. Di pertamina pula.
Namun apa daya, tidak semua sarjana dapat diterima di perusahaan BUMN itu. Tetapi tawaran kali itu ternyata lain dari biasanya, semua jurusan bisa diterima. Akan ditraining sebagai tenaga pemasaran. Marketing executive, sebuah posisi ujung tombak bagi setiap perusahaan yang sangat menggelitik semua insan muda yang menyukai tantangan.
Tenaga marketing memang sangat menjanjikan. Bukan hanya penghasilan lebih yang dapat dicapai (tentu saja tergantung prestasi) tetapi juga sarana yang diberikan perusahaan biasanya maksimal. Anak emas perusahaan. Apalagi produk pertamina adalah kebutuhan yang sangat diperlukan masyarakat secara keseluruhan, tentu akan sangat mudah memasarkannya. Soal fasilitas, tentu saja lebih baik dari pada perusahaan BUMN lain yang bila dikalkulasikan dari tahun ke tahun hanya menggerogoti uang negara yang sudah kelewat baik.
Ternyata bukan hanya sarjana, bahkan yang tidak pernah menginjak bangku sekolahan pun dapat ikut meperebutkan tantangan itu. Bukan hanya yang pandai berdiplomasi dalam meyakinkan konsumen, karena produk perusahaan ini dapat dipasarkan siapa saja. Sampai yang gagap atau bisu sekalipun, sebab yang diperlukan hanya meneriakkan satu kata atau menuliskannya besar-besaran, ’Minyak !’.
Terlepas dari rumor yang menggelitik tentang sarjana baru di atas, kehidupan manusia memang tidak bisa lepas dari benda bernama ’minyak’.
Plastik tipis yang digunakan sehari-hari untuk membunkus ikan asin sekalipun berasal dari minyak bumi yang diolah dengan teknologi modern, demikian juga aspal yang menguatkan ataupun hanya mengotori jalan adalah bagian dari minyak bumi yang telah lama digali dan diolah di negeri kita. Sekarang bahkan minyak bumi dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga residunya pun dapat digunakan untuk memperindah wajah yang sudah cantik, padahal selama ini terbuang atau bahkan mengotori produk yang dihasilkan.
Melirik masa lalu, nenek moyang kita pun sudah telah mewariskan berbagai macam minyak. Minyak kelapa yang diolah dari kopra dengan cara yang sangat sederhana tetapi sangat besar manfaatnya sampai minyak untuk kepentingan tertentu seperti minyak nyong-nyong untuk mendekatkan satu hati ke hati lain yang menghendaki. Ada juga minyak landak untuk mengobati luka dan borok yang tidak dapat disembuhkan dokter karena jaman mereka memang belum ada dokter. Selain itu ada lagi minyak binatang yang lain seperti minyak lintah dan minyak kecoa untuk kepentingan calon ibu dan bapak.
Sesuai dengan perkembangan teknologi, maka minyak yang dikenal masyarakat pun sudah dalam berbagai bentuk dan dari berbagai negara. Sejak bayi merah baru lahir paraji yang menanganinya sudah mengenalkan mereka dengan minyak bayi atau yang lebih populer dengan baby oil. Anak kecil pun sekarang bisa menikmati ekstrak penghuni laut raksaksa yang ganas cukup dengan menelan butiran bening minyak ikan. Yang dewasa lagi dapat memperindah rambutnya dengan minyak rambut.
Bau khas yang menjadi ciri manusia hidup warisan leluhur yang melekat dengan keringat pun dapat berubah setelah hidung menciumnya, dikelabui minyak wangi ekstra melekat dan sebangsanya. Ketika ada yang tidak sadarkan diri untuk sementara maka minyak kolonyo mengambil peranan. Bahkan saat jasad melepas dari alam kehidupan untu selama-lamanya pun kepergiannya masih di iringi dengan minyak wangi air mata duyung.
Ternyata manusia semenjak hadir ke permukaan dunia menjemput hayat sambai akhirnya disholatkan sebelum ditinggalkan sendirian di liang lahat tidak pernah terlepas dari benda ajaib bernama ’minyak’.
Berbicara tentang minyak dan teknologi, maka entah hanya sekedar rumor atau ejekan bahwa negara kita ternyata beberapa langkah lebih maju. Bukan hanya mengolah minyak bumi yang makin maksimal ataupun pemanfaatan sumber daya hayati sebagai bahan ekstarak yang makin meluas tetapi juga penggunaan bahan baku non hayati yang sudah dari dulu ada.
Minyak angin adalah bagian kehidupan penghuni pertiwi. Menurut sumber yang dapat dipercaya, selama perjalanan keliling dunia, seorang pejabat mendapat kesulitan bahkan tertawaan ketika berusaha membeli untuk bahan yang namanya air oil di apotik. Tidak pernah ada. Apalgi tejual bebas di warung-warung kecil seperti disini.
Di tengah kencangnya promosi untuk mencintai produk dalam negeri ternyata justru makin banyak beredar minyak import. Setidak-tidaknya import numpang nama semata. Minyak lintah dan minyak kecoa misalnya, keduanya lebih dikenal para bapak dan ibu sebagai minyak Cina. Padahal sama sekali bukan produk asal impor dari negeri Ho Chi Min tetapi hanya buatan lokal. Seratus prosen produk lokal, karena di Indonesiapun banyak kampung Cina, bahkan tidak jauh dari Batusangkar ada juga Guguak Cino yang dilafalkan dengan bahasa Indonesia sebagai Guguk Cina.
Sampai sekarang, kehidupan manusia tidak dapat terlepas dari minyak. Mungkin karena menurut perhitungan yang menuturkan bahwa keberadaan manusia itu sendiri tidak pernah lepas dari minyak! Itu hanya cerita, entah siapa narasumber utama cerita itu, mungkin dari si Parni Hastjuti atau pun Parno Gentolet bin Porno Amat.
Oleh karena itu betapa keras jeritan ketika harga minyak naik, sebagai dampak hukum pasar ataupun karena standar harga disesuaikan oleh pemerintah. Tak sedikit mengundang protes. Tentu saja teriaknya akan lebih garang dan lantang lagi. Apalagi minyak sempat menghilang di pasaran.
Dari sekian banyak yang menjadi jalan hidup ataupun melengkapi kehidupan manusia, maka minyak goreng merupakan minyak yang paling dibutuhkan sekaligus paling gampang naik. Sebagaimana minyak lainnya, minyak goreng pun selalu mendapat kesulitan menurunkan harga dirinya.
Minyak goreng atau orang Batusangkar dan masyarakat Minangkabau menyebutnya sebagai minyak makan, sekitar dua atau tiga tahun lalu menjadi pembicaraan yang sangat hangat karena harganya yang semakin menanjak. Bahkan beberapa waktu yang lalu saat krismon menjadi bagian latah lidah nenek-nenek sekalipun. Cairan pengisi penggorengan ini sempat sembunyi dari bisingnya teriakkan ibu-ibu di pasar, kalau tidak dibilang lenyap dari pasar dan disertai harga yang melambung tinggi, kalaupun ada.
Problematika kenaikan harga minyak goreng sebenarnya dari tahun ke tahun sama saja alias sama mawon. Harga bahan baku Crude Palm Oil atawa minyak kelapa sawit yang merupakan bahan baku minyak goreng sangat banyak diproduksi di Indonesia, mencapai 4,5 juta ton per tahun. Kemudian kapasitas produksi pabrik minyak goreng juga tidak sedikit, mencapai 4,0 juta ton per-tahun. Belum lagi minyak goreng yang diimpor atau berbahan lain selain CPO itu, seperti minyak jagung, minyak zaitu, minyak kedelai dan sebagainya.
CPO yang dihasilkan perkebunan tanah negeri ini, 1,9 juta ton diantaranya diizinkan untuk diekspor yang berarti kebutuhan untuk dalam negeri berkurang. Jangan harap kapasitas produksi pabrik minyak goreng yang kekurangan bahan baku itu dimaksimalkan dengan CPO impor. Soalnya harga CPO di pasar internasional jauh lebih tinggi daripada minyak goreng yang dihasilkan dalam negeri sekalipun.
Sebagai bandingan, sekalipun pada dua tahun terakhir sempat dikenakan pajak ekspor sebesar 40 hingga 70 prosen, pengusaha tetap meraih keuntungan yang menggiurkan dengan mengalirkan CPO ke negeri seberang. Nah, kalau demikian, tentu bisa saja bukan hanya 1,9 juta ton jatah ekspor itu saja yang keluar. Maklum, namanya minyak, daya kohesinya cukup tinggi. Apalagi ditambah gaya tarik yang membengkakkan kocek.
Kalau dipikir balik, dua tahun lalu, dimana uang mata uang Monica baru beberapa ribu lebih sedikit saja pengusaha lebih memilih mengekspor CPO-nya yang notabene disubsidi dengan pajak rakyat. Apalagi saat sekarang, ketika reformasi bergulir dan kurs dollar setinggi Monica dan berbanding terbalik dengan Ateng yang makin jungkir balik. Tidakmengherankan apabila minyak goreng makin hengkang dari pasaran dalam negeri. Sekalipun ada, harganya susah direm seperti halnya ibu-ibu yang sangat sulit mengurangi laju keinginannya menggunakan minyak goreng diantara kepul dapurnya.
Minyak goreng bersama saudara lain pabriknya, mentega, merupakan salah satu bahan pokok yang sangat diperlukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan ditetapkan dengan keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998, minyak gorang dan mentega sebagai salah dua bahan pokok dari sembilan bahan pokok setelah beras dan gula pasir. Kemudian baru disusul daging sapi dan ayam, telur ayam, susu, jagung, minyak tanah dan garam beryodium.
Di tengah krisis yang terus membuntuti, harga minyak goreng juga bervariasi menyesuaikan dengan keadaan. Sungguh bertolak-belakang dengan penghasilan masyarakat yang relatif tetap atau bahkan makin berkurang, kecuali bagi sebagian petani yang disaat seperti ini justeru sedang menikmati harga produk perkebunannya yang sangat melambung. Tidak ada kata yang lebih tepat kecuali berhemat !
Menghemat minyak goreng berarti menghemat dalam banyak hal. Bukan hanya minnyak goreng cair yang dapat dibeli saat pasar murah dan disimpan lamadalam drum sampai tengik. Tetapi juga harus memikirkan masa depan, menghemat biaya kesehatan akibat mengkonsumsi lemak tak jenuh. Mulai dari obesitas yang membuat badan semakin gembul dan berat, jerawat yang ringan sehingga dengan mudahnya menempel di hidung remaja, sampai beberapa gangguan kesehatan lainnya yang berhubungan langsung dan tak langsung dengan konsumsi minyak goreng.
Mengurangi pemakaian minyak goreng tanpa mengurangi nikmat masakan memang tidak mudah tetapi akan sangat banyak manfaatnya untuk meningkatkan nikmat sehat. Menggunakan minyak goreng secara berulang-ulang juga bukan bukan cara penghematan yang tepat. Bahaya kanker mengincar konsumen yang umumnya tidak tahu pasti kalau minyak goreng yang digunakan adalah jelantah.
Kalau upaya yang ditempuh untuk menghemat tidak tepat dan menjadi rawan kanker maka buka lagi menghemat namanya. Apalagi kalau tidak ada usaha untuk melakukan penghematan, apalagi disaat sulit seperti sekarang ini. Kanker ganas yang lebih ganas dari yang paling ganas siap mengintai.
Bisa-bisa kantong kering atau kata Dewi Sukarno, ”Saku rata !” alias indak bapitih ....

PESAN SPONSOR======================================================

Banyak tawaran meraup penghasilan dari internet,
gratis awalnya tetapi ujung-ujungnya bayar juga karena memang
mereka jualan barang atau jasa.
Tetapi untuk yang satu ini benar-benar GRATIS, makanya saya gabung.
Silakan buktikan sendiri dengan mengklik :

http://www.tantangan50juta.com/?r=dinoto

========================================================TERIMAKASIH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar